Kamis, 25 Maret 2021

 

UU Proteksi Media, Babak Baru di Panggung Digital

 Jusman Dalle ;  Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital

                                                        KOMPAS, 24 Maret 2021

 

 

                                                           

Keputusan Facebook menandatangani perjanjian membayar royalti berita untuk News Corp di Australia menandai babak baru relasi media dengan platform digital. Sebelumnya, raksasa mesin pencari Google juga telah meluncurkan program inisiatif untuk mendukung lisensi media. Hubungan industri media dengan dua titan digital ini memang sempat mengalami ketegangan. Penayangan konten berita dari media massa di platform milik Facebook dan Google dinilai merugikan industri media.

 

Pemerintah Australia lantas memprakarsai News Media Bargaining Code, sebuah undang-undang yang memaksa platform digital membayar royalti kepada media karena menampilkan dan menautkan berita ke etalase mesin pencari dan aplikasi media sosial. Undang-undang proteksi media ini merupakan yang pertama di dunia.

 

Tidak cuma menguntungkan media secara finansial berdasarkan royalti yang diterima, UU itu juga menguntungkan ekosistem digital secara keseluruhan. Termasuk platform medsos dan mesin pencari. Lantaran aturan tersebut, kualitas konten di platform-platform digital menjadi lebih tersaring. Kesepakatan ini menjadi momentum awal yang amat penting bagi upaya pemulihan ekosistem digital secara keseluruhan.

 

Lalu lintas informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, diharapkan mengurangi peredaran informasi liar di media sosial yang selama ini identik dengan medium penyebaran berita palsu hingga ujaran kebencian. Temuan Reuters Institute dan Universitas Oxford bertajuk Digital News Report 2020 mencatat, 29 persen misinformasi beredar di Facebook. Diikuti Whatsapp dan Facebook Messenger (14 persen), Google (10 persen), serta Youtube (6 persen) dan Twitter (6 persen).

 

Dari perspektif perlindungan eksistensi media, UU itu memberi angin segar di tengah tekanan disrupsi teknologi informasi. Kebijakan perlindungan terhadap industri media diharapkan diadopsi oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia.

 

Fenomena bisnis media yang runtuh cukup mengkhawatirkan. Bisnis media berjatuhan. Gulung tikar seiring ledakan platform digital yang kemudian menjelma menjadi arena penyebaran informasi.

 

Laporan lembaga riset PwC bertajuk Perspective From The Global Entertainment and Media Outlook 2017, menyinyalir 8,3 persen media cetak koran tutup setiap tahun hingga 2022. Di Indonesia, dalam rentang 2013 sampai 2017, rata-rata 80 media cetak tutup. Semakin tersisihnya media berimplikasi pada distribusi kabar liar di kanal-kanal digital. Warga net leluasa membagikan informasi. Meski tak terverifikasi.

 

Sialnya, peran platform digital seperti medsos dan layanan berbagi foto dan berbagi video sebagai etalase informasi semakin dominan. Menggeser positioning media massa. Medsos menjelma bak sumber berita. Dirujuk laiknya media massa.

 

Pergeseran fungsi medsos menjadi sumber berita bukan pepesan kosong. Dilansir oleh Statista, 48 persen pengguna memanfaatkan medsos di AS sebagai sumber berita. Senada, di Turki, 58 persen pengguna menjadikan medsos sebagai referensi informasi. Bahkan di Yunani, 71 persen pengguna merujuk informasi dari medsos.

 

Kecenderungan memanfaatkan medsos sebagai sumber informasi, diametral dengan menguatnya distrust terhadap media massa. Di Turki, hanya 55 persen responden yang menyatakan percaya media massa. Di AS, tingkat kepercayaan kepada media massa cuma 29 persen. Bahkan di Yunani, hanya 27 persen responden yang menyatakan percaya kepada media massa.

 

Fakta-fakta di atas menjadi masalah yang mencemaskan. Tsunami informasi. Informasi datang dari berbagai arah, tapi kualitasnya jauh di bawah standar berita.

 

Eksodus warga net mencari berita di medsos tak diiringi inovasi oleh platform untuk memperkuat konten.

 

Eksistensi, dominasi, dan hegemoni medsos sebagai corong dan etalase informasi kadung di luar kendali. Informasi serampangan berkelindan. Tanpa proses verifikasi. Juga tak digaransi akurasi, kesahihan, dan faktualitasnya. Nilai dari sebuah berita tereduksi akibat paparan informasi receh. Celakanya, hal itu tidak diimbangi tingkat literasi memadai.

 

Konten berita milik media massa diandalkan untuk mewarnai peredaran informasi di kanal-kanal digital. Namun, tanpa komitmen royalti, hal itu merugikan industri media. Di kancah bisnis, kompetisi dengan berbagai platform informasi digital sudah sangat melelahkan.

 

Platform digital unggul dalam memperebutkan kue iklan. Implikasinya, industri media kian tersisih. Terutama yang mengandalkan model bisnis revenue stream dari oplah dan iklan.

 

Eksistensi medsos tentu tidak sepenuhnya jadi penyebab industri media ambruk. Sebab, di level pasar, terjadi kecenderungan pergeseran kebiasaan mengakses informasi. Hijrah dari media konvensional ke media berbasis digital. Namun, harus pula diakui, jika hegemoni platform informasi digital yang tak terkontrol berdampak langsung pada industri media.

 

Bagai buah simalakama. Perusahaan media kadung terpukul. Bangkrut. Yang survive berjalan tertatih. Mencoba bertahan dengan eksaminasi model bisnis baru. Seperti inovasi berlangganan (subscription). Menawarkan konten eksklusif sebagai keunggulan komparatif.

 

Di saat bersamaan, informasi alternatif yang ditagih dari platform digital, jauh panggang dari api. Kini, platform digital diadang oleh tuntutan supremasi konten. Semakin menguat dengan regulasi anyar yang dirilis Pemerintah Australia, dan bisa jadi mengilhami pemerintah di banyak negara.

 

Khitah platform digital

 

Platform informasi digital adalah medium komunikasi untuk saling terhubung dan berbagi informasi. Platform digital lantas bertransformasi memainkan peran signifikan memacu tumbuhnya aneka potensi ekonomi digital. Memperkaya lanskap ecommerce. Menjelma jadi pasar yang menawarkan aneka peluang bisnis menggiurkan. Bertumpu pada basis komunitas berjumlah miliaran.

 

Fungsi platform digital sebagai lokomotif ekonomi menuai atensi. Pelaku UMKM antusias bergabung menggelar bisnis. Bagi UMKM, platform digital mangkus dan sangkil menopang promosi. Target pasar dapat dijangkau dengan anggaran iklan yang murah meriah.

 

Di tengah berbagai pesonanya, platform digital yang memang jadi panggung bebas harus menghadapi risiko. Miliaran pengguna dengan intensi beragam, menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Terutama dalam persoalan filter informasi yang beredar bebas nyaris tak terbendung.

 

Problem pelik itu juga terjadi di jagat digital Indonesia. Pengguna jumbo media sosial tidak diikuti literasi memadai. Sehingga menjadi sasaran empuk para petualang politik dalam menggalang dukungan. Termasuk bekerja sama dengan firma-firma komunikasi (digital agency) yang mengoordinir aktivitas pendengung (buzzer) politik. Tujuannya menggiring dan membentuk opini publik.

 

Penggunaan jasa buzzer di kancah digital tentu saja bukan sesuatu yang haram. Lumrah dalam strategi komunikasi. Juga legal sebagai kegiatan bisnis. Buzz marketing merupakan strategi yang lahir dan diadopsi sebagai satu siasat bisnis.

 

Persoalannya, keberadaan buzzer kerap menimbulkan keresahan. Bahkan memicu kegaduhan. Pendekatan komunikasi yang dilakukan adalah strategi perang yang sarat propaganda. Bertabur agitasi. Tak jarang dipoles dengan praktik manipulasi informasi. Menjejali medsos dengan hoaks dan misinformasi.

 

Buzzer semestinya menerapkan pendekatan ”jualan” agar mendapat sambutan. Mengedepankan muatan-muatan positif, edukatif, dan inspiratif. Taktik komunikasi untuk menarik audiens secara afirmatif.

 

Sayangnya, strategi ala seteru justru mendominasi. Sehingga bukannya menuai atensi, malah disahuti caci maki. Membentuk kebatinan media sosial dan platform digital yang tadinya kita harapkan menjadi alternatif menyuguhkan informasi yang jernih, malah berubah keruh.

 

Platform digital menjadi ruang virtual yang semakin tidak nyaman. Pamornya sebagai penggerak ekonomi digital dengan segala kontribusi yang telah disemai, ikut dipertaruhkan. Mahkota platform digital pudar. Terutama platform yang dinilai tidak punya komitmen kuat terhadap pemberantasan hoaks, ujaran kebencian, hingga pencurian data pribadi.

 

Beberapa platform digital akhirnya menghadapi mimpi buruk akibat peredaran konten-konten yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Sepanjang Juli tahun 2020 misalnya, lebih dari 1.000 pengiklan bergabung dalam gerakan boikot Facebook. Tahun 2017, bencana serupa mendera Google akibat penayangan iklan kebencian di Youtube.

 

Akhirnya, kesepakatan tentang royalti jadi angin segar bagi kedua belah pihak. Industri media punya ruang gerak yang lebih lega secara finansial. Pada saat yang sama, primadona platform informasi digital bisa diselamatkan dengan suplai konten dari media massa. Kesepakatan ini menjadi momentum awal yang amat penting bagi upaya pemulihan ekosistem digital secara keseluruhan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar