Kamis, 18 Maret 2021

 

Memaksimalkan ”Liver”, Menyempurnakan Akhlak

 Zacky Khairul Umam  ;  Peneliti, Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia. Kandidat doktor di Frei University, Berlin, Jerman

                                                        KOMPAS, 18 Maret 2021

 

 

                                                           

What is life? It all depends on the liver. Dalam film India memikat buatan sutradara Sriram Raghavan, "Andhadhun" (2018), pertanyaan dan sekaligus jawaban yang dikemukakan oleh dokter Swami, sang lakon antagonis, muncul ketika berencana mencongkel organ hati si korban dengan jenis golongan darah B yang langka untuk dijual ke sebuah negeri teluk di Timur Tengah.

 

Kabarnya, dua kalimat itu adalah gubahan dari kutipan favorit filsuf Amerika William James (1842-1910). Dalam redaksi aslinya, James menulis Is life worth living? It all depends on the liver. Dalam bahasa kita, terjemahan tepatnya, “Apakah hidup layak diperjuangkan? Semuanya tergantung hati.”

 

Kata hati atau liver dalam ungkapan tersebut bermakna ganda. Pertama, seperti harfiah diucapkan oleh dokter Swami: organ hati manusia. Kedua, maknanya lebih dalam, yakni liver sebagai makhluk hidup atau manusia yang bernyawa. Sejauh manusia hidup dan bernyawa, maka kehidupan ini layak dijalani, diperjuangkan sungguh-sungguh.

 

Hidup yang teruji

 

Di tengah impitan hidup dan kekhawatiran karena pandemi korona, kedua makna tersebut saling terkait. Organ dalam yang berfungsi maksimal cenderung membuat semangat dan daya hidup optimal. Maka kesehatan itu memang sangat mahal, karena bukan hanya ia membuat roh tetap bersemayam di dalam tubuh tetapi juga karena ia membuat hidup lebih bermakna. Orang yang terganggu kesehatannya, daya hidupnya cenderung menurun, bisa enggan bersosialisasi, dan keterbatasan lainnya.

 

Saya jadi teringat kasus transplantasi hati Nurcholish Madjid (1939-2005) dan Dahlan Iskan. Madjid berhasil mengganti hatinya, tapi tidak bertahan lama. Sementara Iskan sampai sekarang terlihat segar bugar dan aktif sekali menulis esai DI’s way yang sewenang-wenang itu. Iskan merupakan contoh paripurna bahwa ungkapan James itu benar adanya. Hidup sang guru bangsa tak terlalu panjang, sementara sang wartawan senior itu bisa menikmati masa tuanya kini.

 

Persoalannya, apa betul selama nyawa ada di dalam tubuh kita dan selama hati kita berfungsi baik, maka hidup layak dijalani? Tapi sejauh mana hidup ini perlu diperjuangkan? Maka panduan terbaik ada di dalam pemikiran Aristoteles mengenai kehidupan yang tak teruji sebagai kehidupan yang tak layak dijalani. Makna sebaliknya: hidup yang teruji merupakah hidup yang paling layak dijalani. Artinya, manusia tidak harus menjalani kehidupan yang tak layak dijalani. Ia pantas memaksimalkan kehidupan terbaik, secara individu maupun kolektif.

 

Tentu, ‘teruji’ di situ tidak bermakna sembarangan. Orang misalnya tidak bisa dikatakan memiliki kehidupan yang terbaik manakala ia menghalalkan berbagai cara untuk taraf kehidupannya sendiri. Hidup yang teruji perlu dimakna sebagai hidup yang sarat dengan etika untuk menjalani hidup yang terbaik. Karena etika itulah, manusia tertuntun untuk berpegang pada kemaslahatan utama dalam hidup.

 

Tanpa kemaslahatan tersebut manusia akan mudah kehilangan makna. Kita misalnya bisa bertanya: apakah hidupku jenis kehidupan terbaik manakala aku memotong bantuan sosial di kala pandemi? Apakah penumpukan kekayaan itu bisa membuat orang menjalani kehidupan penuh makna bagi diri dan lingkungan sekitarnya?

 

Ungkapan Aristoteles itu punya pengertian tersirat bahwa hidup yang teruji ialah hidup penuh dengan pertanyaan untuk diri sendiri. Dalam bahasa Arab klasik, hal itu disebut dengan muhasabah ‘pemeriksaan hati nurani’. Kita didorong untuk menilik suara terdalam kita sebagai panduan batin pada apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang tidak layak kita lakukan.

 

Etika muncul dari pertimbangan terdalam yang software-nya sudah ada pada setiap individu. Suara terdalam ini tidak pernah berdusta, meski kita misalnya bertindak sebaliknya. Sehingga, kata liver dalam ungkapan James itu bisa pula dimaknai sebagai ‘orang yang menghidupi hati nuraninya’. Semakin dihidupkan hati nurani, akal budi bekerja dengan baik, lalu kita hidup dengan etis. Semakin manusia, sang liver, memaksimalkan ini, semakin hidupnya berada pada derajat tinggi.

 

Umat pertengahan

 

Dalam bahasa kebudayaan Islam, memaksimalkan liver sama dengan menyempurnakan akhlak. Berbeda dengan hati nurani dan sumber etika modern yang sekuler, dalam Islam—juga agama lain—dorongan pemaksimalan ini adalah fungsi etis manusia yang mengemban amanah kehidupan di dunia ini.

 

Dimaknai sebagai amanah, karena kehidupan ini titipan ilahi yang seharusnya dijaga sebaik-baiknya. Jika tidak dijaga, maka fungsi liver berkurang atau terkikis dan karena itu hidup tak layak lagi dijalani secara hakiki.

 

Kita ulangi teoremanya di sini, juga sebagai pengingat diri: semakin baik liver kita semakin dahsyat kualitas hidup. Tujuan dari pemaksimalan ini, dalam bahasa Aristoteles, disebut dengan eudaimonia atau suatu penjumlahan dari kebahagiaan, kesenangan, kebajikan dan moralitas dalam hidup manusia.

 

Filsafat Arab seperti dimulai dengan al-Farabi (w. 951) menerjemahkannya dengan sebutan sa’adah atau “kebahagiaan”, Latin dengan felicitas, dan seterusnya. Jadi, kebahagiaan tertinggi itu bisa terwujud manakala liver kita—biologis, psikologis, mental dan intelektual—berjalan dengan sangat baik.

 

QS Al-Baqarah ayat 143 menyebut ummatan wasatan atau “umat pertengahan” sebagai saksi bagi seluruh manusia. Apa kaitannya dengan bahasan kita? Pemikir Maroko kontemporer, Taha Abdurrahman, memaknai ayat ini dengan semangat memikat dalam buku apiknya yang bisa diterjemahkan sebagai Semangat Modernitas.

 

Menurut Abdurrahman, pewahyuan Islam ialah titik akumulasi moral masa silam yang diterima sebagai satu paket etis yang paripurna. Konsekuensinya, Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah untuk menyempurnakan akhlak mengandung maksud pembawa risalah akumulasi ajaran moral. Titik wasit atau titik pertengahan dari Islam karena itu mesti dimaknai sebagai titik konvergensi dari ajaran kebajikan kebudayaan sebelumnya.

 

Sayangnya, dalam kehidupan keberagamaan kita yang sangat kolektif ini, pengetian ummatan wasatan itu sering dimaknai sebagai umat yang harus memenangi pertarungan politik, tetapi tidak cukup dilandasi oleh ajaran kebajikan yang membumi.

 

Salah satu sebabnya ialah kita terlalu menempatkan perintah-perintah ilahi ini, yang sebetulnya sarat dengan anjuran untuk bertindak etis atau akhlaqi, dalam ruang identitas komunal, bukan pertama-tama dalam ruang individual kita masing-masing sebagai makhluk Tuhan yang punya tanggung jawab. Maka, perintah untuk membentuk moralitas di masyarakat kita lebih berjalan sebagai dorongan komunal, tetapi belum tentu mewakili dorongan hati nurani universal.

 

Filsafat Barat memiliki landasan pemikiran soal individu yang baik, seperti On Liberty karya John Stuart Mill yang mendorong pembudidayaan individualitas menuju kesejahteraan. Individu ditekankan punya tanggung jawab etis sekaligus hak yang harus dihormati. Sementara kita, dalam kehidupan beragama maupun berbangsa kita, sering kali individu terlupakan.

 

Suatu kali, ada kritik yang lumayan menggelitik: “Kita diwajibkan untuk berkorban demi kepentingan orang banyak, ketimbang diri sendiri.” Ada benarnya. Kita seolah terdidik untuk merangkul komunalisme kita, tapi lupa untuk membudidayakan individualitas kita: diri, jiwa, sekaligus liver kita. Individualitas di sini, perlu dicatat, bukan individualism. Pembudidayaan individualitas itu dalam bahasa filsafat Islam klasik disebut dengan tahdzib al-akhlaq alias penempaan jagat cilik yang berpusat pada puser etika.

 

Dari masa pasca-Reformasi hingga kini, misalnya, ruang pendidikan kita penuh dengan retorika akhlak, moralitas, dan kesalehan. Namun, yang terlalu ditekankan ialah seragam tertutup dari peserta didik, bahkan non-Muslim dalam beberapa kasus diwajibkan mengenakan jilbab, seperti kasus belakangan yang lumayan marak.

 

Sementara itu, penekanan pada pendidikan karakter, pembudidayaan individualitas, pemaksimalan tanggung jawab etis, dan penempaan untuk mencapai kesejahteraan lahir-batin belum menjadi kesadaran kolektif kita, baik di ruang pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

 

It all depends on the liver. Manakah yang ideal: liver biologis rusak tapi liver spiritual luar biasa dahsyat; ataukah liver biologis berfungsi normal tapi liver spiritual lemah; ataukah kedua aspek liver itu sama-sama berfungsi maksimal? Tentu kita memilih yang ketiga. Hanya saja, kita tidak boleh lupa untuk mempertanyakan diri sendiri soal kebajikan, sebelum misalnya menyuruh orang lain dengan ungkapan “moralitas” tapi kita sendiri tidak paham apa yang kita perjuangkan. Kita cenderung kuat membentuk komunalisme, tapi lemah dalam penguatan individu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar