Kamis, 25 Maret 2021

 

Respons Cepat Varian Baru Virus Korona

 Yordan Khaedir ;  Dosen dan Peneliti Departemen Histologi Fakultas Kedokteran UI, Dokter Covid-19 RS Duren Sawit Jakarta

                                                        KOMPAS, 25 Maret 2021

 

 

                                                           

Tepat satu tahun sejak pandemi Covid-19 melanda, Pemerintah Indonesia mendeteksi untuk pertama kalinya  keberadaan varian baru virus korona yang berasal dari Inggris, yakni varian B.1.1.7.

 

Kasus baru yang pertama kali diumumkan oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono berasal dari dua pekerja migran dari Arab Saudi  yang terpapar varian baru virus korona B.1.1.7 ”UK Variant”, Selasa (2/3/2021).

 

Kemudian, Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin mengumumkan kembali empat kasus baru varian B.1.1.7 yang tersebar di empat provinsi berbeda di Indonesia,  Senin (8/3/2021).

 

Masih belum jelas apakah kasus baru ini merupakan kasus impor atau timbul akibat transmisi lokal. Sejumlah temuan kasus varian baru virus korona ini sudah seharusnya menjadi peringatan dini (early warning) yang memicu respons cepat bagi Indonesia untuk mencegah terjadinya penyebaran lebih luas virus korona.

 

Banyak yang beranggapan, kekhawatiran munculnya varian B.1.1.7 terkait karakteristik varian baru yang lebih mudah menular dan akan memperburuk pandemi hanya spekulasi belaka. Mungkin benar, tetapi lagi-lagi belum ada bukti ilmiah mengenai hal tersebut.

 

Mutasi dan varian B.1.1.7

 

Sebuah studi di Inggris mengungkapkan, varian B.1.1.7 virus korona memiliki kemampuan transmisi 50-70 persen lebih besar dibandingkan dengan varian alami virus (original variant). Secara terminologi, mutasi dapat diartikan adanya perubahan materi genetik dari organisme (DNA/RNA) yang permanen pada level gen atau kromosom.

 

Mutasi tidak selalu bersifat negatif. Dalam teori evolusi, mutasi memiliki peran penting sebagai bahan utama variasi genetik. Munculnya mutasi pada virus juga bukan hal yang baru dan tidak terduga sebelumnya. Ini terjadi sebagai proses alami adaptasi virus terhadap inangnya. Sederhananya, semakin banyak individu terinfeksi, semakin banyak peluang virus untuk berkembang dan berubah.

 

Sampai saat ini, sekitar 100 juta orang di dunia telah terinfeksi Covid-19 (jumlah yang sebenarnya mungkin lebih tinggi karena infeksi asimptomatik). Setiap individu yang terinfeksi akan memberikan peluang bagi virus untuk bermutasi.

 

Pada varian B.1.1.7 terdapat beberapa mutasi pada bagian virus yang disebut dengan protein spike. Protein spike ini adalah kunci yang digunakan oleh virus untuk membuka pintu ke sel-sel tubuh manusia melalui apa yang disebut dengan receptor binding domain (RBD) ACE2.

 

Selain varian B.1.1.7 yang banyak terdeteksi di Inggris dan AS, masih terdapat varian lain yang diduga berpotensi memiliki efek biologis yang signifikan setelah mengalami mutasi.

 

Beberapa di antaranya adalah varian B.1.351 yang terdeteksi di Afrika Selatan pada Desember 2020 dan varian P.1 yang baru-baru ini ditemukan di Brasil. Meskipun mutasi virus ini terlihat sederhana, tetapi terbukti penting.

 

Beberapa peneliti percaya munculnya mutasi virus yang kemudian berkembang menjadi varian virus baru menjadi salah satu alasan kuat bagi virus korona untuk menjadi resisten dan akan memengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia.

 

Hipotesis ini kemudian akan berujung pada hilangnya efektivitas vaksin Covid-19.

 

Merujuk hasil studi yang dilakukan Ravindra Gupta, virolog Universitas Cambridge, salah satu alasan munculnya mutasi pada varian virus diduga kuat akibat ketidakmampuan sistem imun tubuh pada pasien yang memiliki kerusakan sistem imun (imunokompromais) untuk merangsang respons imun yang adekuat terhadap SARS-CoV-2.

 

Meski demikian, hasil studi genomik lain menyebutkan, varian baru tersebut juga banyak dideteksi pada usia muda non-imunokompromais (Rambaut A dkk, 2020).

 

Singkatnya, varian baru virus korona akan signifikan dan bermakna jika varian baru yang muncul ini memengaruhi transmisibilitas virus, pada efektivitas tes Covid-19, respons imun atau kekebalan tubuh kita terhadap virus, dan kemungkinan untuk berkembang menjadi lebih parah/mematikan.

 

Jika lebih mudah ditransmisikan, artinya virus lebih berhasil menginfeksi orang. Diperlukan kewaspadaan lebih jika varian virus sudah mampu menghindari respons imun tubuh karena kemungkinan virus juga akan berpeluang untuk bisa menginfeksi lagi penyintas (re-infection) dan bagi mereka yang sudah divaksinasi.

 

Implikasi medis

 

Kemampuan menginfeksi varian B.1.1.7 memang diduga meningkat dua kali lipat, tetapi tidak berarti lebih mematikan (Kemp SA, 2021).

 

Hingga kini, belum ada bukti ilmiah dan klinis yang kuat untuk menyimpulkan bahwa varian baru berpengaruh signifikan pada derajat keparahan (severity) dan perlakuan berbeda lain seperti terapi pengobatan Covid-19 pada varian baru virus korona.

 

Hanya saja, dengan kecepatan dan kemampuan lebih mudah menginfeksi yang melekat pada karakteristik mutasi varian B.1.1.7, akan berimplikasi pada peningkatan jumlah kasus baru yang terkonfirmasi.

 

Dengan prediksi kasus meningkat, sistem pelayanan kesehatan akan terganggu. Bed occupancy ratio (BOR) atau tingkat keterisian ruang isolasi rumah sakit, terutama intensive care unit (ICU) atau unit gawat darurat (UGD) juga cenderung akan meningkat. Terlebih, pelayanan ICU rumah sakit lebih banyak tersedia di kota-kota besar di Indonesia.

 

Protokolkesehatan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan) masih relevan dalam usaha mencegah terinfeksinya varian baru virus.

 

Yang perlu diperhatikan adalah peningkatan disiplin menjalankan prokes dari masyarakat. Mengingat kondisi geografis dan sosial Indonesia, kemungkinan varian baru virus untuk menyebar lebih luas dan cepat di seluruh wilayah Indonesia sangat besar.

 

Kebijakan dan strategi

 

Pemerintah sudah selayaknya memberikan perhatian pada munculnya varian baru B.1.1.7 di Indonesia. Ini sangat bergantung pada kemauan politik (political will) para pemangku kebijakan. Publik masih menunggu kebijakan dan strategi baru pemerintah terkait hal tersebut.

 

Bahkan, terkait varian baru virus korona, Presiden Amerika Joe Biden telah mengumumkan kebijakan prioritas dengan meningkatkan kapasitas pengetesan (testing) dan pelacakan (tracking) bagi warganya.

 

Strategi respons cepat

 

Ada beberapa strategi respons cepat yang ditujukan, terutama untuk mencegah penyebaran varian B.1.1.7.

 

Yang pertama adalah dengan melakukan pengawasan dan kontrol ketat terhadap warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA) di pintu masuk wilayah RI seperti bandar udara dan pelabuhan, mengingat varian ini merupakan kasus impor.

 

Investigasi pada warga pendatang berupa pencatatan dan screening test bagi kedatangan WNI/WNA lebih ditingkatkan. Karantina selama 14 hari juga layak dipertimbangkan oleh pemerintah untuk meminimalkan penyebaran.

 

Kedua adalah dengan meningkatkan kapasitas pemeriksaan diagnostik varian baru. Saat ini identifikasi varian B.1.1.7 hanya mampu dilakukan dengan metode sekuensing yang berbeda dengan pemeriksaan rapid antigen/antibodi dan RT PCR.

 

Dengan demikian, dibutuhkan peningkatan standardisasi alat diagnostik di laboratorium (terutama di ibu kota provinsi) sebagai upaya untuk mengakselerasi pemeriksaan sampel Covid-19.

 

Strategi ketiga adalah menyediakan akses informasi seluas-luasnya dan komunikasi terbuka  pemerintah, otoritas kesehatan (satgas Covid-19) dengan masyarakat, epidemiologi, peneliti, dan kalangan akademisi terkait varian baru. Dengan adanya informasi yang benar dan valid akan mencegah beredarnya hoaks dan disinformasi lebih lanjut terkait virus korona.

 

Strategi vaksinasi

 

Ketersediaan vaksin vital untuk mengontrol pandemi. Namun, adanya anggapan yang muncul terkait efektivitas vaksin terhadap varian baru masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli.

 

Sampai dengan saat ini, beberapa vaksin Covid-19 yang sudah mendapatkan otorisasi penggunaannya di dunia, termasuk Coronavac (Sinovac) di Indonesia, dianggap masih cukup efektif terhadap varian B.1.1.7. Jika vaksin Covid-19 kurang kuat terhadap varian baru, setidaknya masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya keparahan penyakit dan kematian akibat Covid-19.

 

Beberapa negara yang telah melakukan vaksinasi secara besar-besaran, seperti Israel dan Inggris, mencatat ada kecenderungan penurunan kasus Covid-19. Akan tetapi, korelasi langsung pemberian vaksin dengan penurunan infeksi Covid-19 masih perlu pengkajian lebih lanjut.

 

Program percepatan vaksinasi nasional Covid-19 yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo agar cakupan vaksin terpenuhi layak diapresiasi. Bahkan, Indonesia tercatat menjadi negara tercepat kedua di ASEAN dalam pelaksanaan program vaksinasi.

 

Kita berharap angka kekebalan kelompok (herd immunity) sebesar 60-70 persen mampu tercapai lebih cepat.

 

Munculnya varian baru di Indonesia mengingatkan kita akan perlunya kampanye dan komunikasi nasional yang akan meningkatkan kepercayaan publik pada vaksin dan sains.

 

Kita tidak dapat mengulangi kesalahan ketika pejabat publik terlambat merespons dan gagal menjelaskan hal baru terkait pandemi. Alhasil, kebingungan dan ketidakpercayaan masyarakat akan meluas.

 

Ketika kita berjuang untuk lebih gesit dalam melacak dan mengurangi varian baru virus korona, kita perlu berkomunikasi jauh lebih jelas dan efektif kepada publik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar