Senin, 22 Maret 2021

 

Pentingnya Membangun Gerakan Sosial PPKM Terpadu

 Martani Huseini  ;  Guru Besar FIA UI, Ketua CIGO-FIA UI, dan Ketua Stikom-Interstudi

                                                        KOMPAS, 19 Maret 2021

 

 

                                                           

Paling tidak ada lima pesan utama Presiden Jokowi untuk mengefektifkan pelaksanaan PPKM dan PSBB.

 

Pesan itu ialah libatkan pakar epidemiologi, awasi dan monitoring pelaksanaan di lapangan, libatkan tokoh-tokoh masyarakat, berikan teguran dan bimbingan di lapangan. Optimalkan kegiatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) agar bisa meredam dan mengurangi laju pertumbuhan penyebaran korona di Indonesia.

 

Arahan itu tampaknya mudah dilaksanakan, tetapi tak semudah itu di lapangan. Pilihan sebaiknya PPKM dimulai dari skala mikro (komunitas RT/RW, kelurahan/kecamatan) atau skala makro (provinsi, kabupaten/kota) masih dipertanyakan efektivitasnya.

 

Intinya, jika PPKM dari skala mikro bisa dipertemukan dengan gerakan sosial pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dari skala makro ini tak dipijakkan pada landasan teori yang relevan sebagaimana konsep social mobility/movement ataupun konsep manajemen perubahan, jaminan kesuksesannya sebagai gerakan sosial diragukan keberhasilannya.

 

Pelibatan tokoh atau pakar epidemiologi saja tak cukup. Pakar sosiologi dan antropologi, komunikasi dan kebijakan publik, juga harus dilibatkan. Sosialisasi PPKM dan monitoring berjenjang dari tingkat komunitas, kelurahan, hingga kementerian perlu diintegrasikan dengan desain PSBB tata kelola makro dengan sistem terpadu, terstruktur, dan terukur.

 

Gerakan Saemaul Undong (Memerangi Kemiskinan dimulai dari Desa) di Korsel yang diluncurkan tahun 1960-an menunjukkan keberhasilan setelah 1970-an. Bahkan gerakan sosial ini sudah direplikasi di beberapa negara Afrika dan Asia Tenggara. Demikian juga gerakan OVOP (One Village One Product, ’Isson Ippin Undo’) yang digagas di Jepang.

 

Awal mulanya gerakan sosial ini digagas dan dijalankan Gubernur Oita Morihiko Hiramatsu tahun 1979. Kemudian diadopsi dan dikembangkan di Thailand. Hasilnya sudah menunjukkan keberhasilan. Di 1980-an dicoba diterapkan di Indonesia di bawah arahan Departemen Perindustrian. Telah dipraktikkan di Sidoarjo, Jawa Timur, tetapi terhenti setelah Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman tak menjabat lagi.

 

Gerakan sosial semacam ini tak hanya diperlukan untuk industri dan ekonomi, tetapi juga bisa dipakai untuk menanggulangi tengkes ataupun gerakan Keluarga Berencana (KB).

 

Di era Orde Baru, gerakan KB yang dipandu BKKBN cukup berhasil, tetapi terhenti sejak kepemimpinan BKKBN berganti. Gerakan serupa pernah dilakukan ketika Indonesia ingin memerangi pandemi virus dengue. Namun, pengusiran nyamuk Aedes aegypti yang bisa menyebabkan penularan demam berdarah belum tampak keberhasilannya.

 

Membangun fondasi

 

Pemanfaatan konsep social movement/mobilization (John Kelly, 2018) dan manajemen perubahan (John Kotter, 2007) tampaknya perlu dijajaki sebagai rujukan untuk mengefektifkan gerakan memerangi Covid-19 di masyarakat.

 

Strategi dan siasat perang sebagai gerakan sosial tampaknya sangat dibutuhkan supaya keberhasilannya bisa diwujudkan. Dalam bangunan gerakan sosial diperlukan pemetaan awal semacam pra-tes dengan menggunakan formula sebelum melakukan gerakan sosial.

 

Pemetaan kondisi awal dengan menggunakan formula D x V x F > R. Artinya, kalau mau membangun gerakan sosial yang baik, harus dimulai dari menciptakan Dissatisfaction (D), yakni tentang situasi ketidakpuasan akibat kegagalan dalam mengusir wabah Covid-19. Karena itu, supaya aman, ke mana-mana harus memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak (menaati protokol tetap era normal baru).

 

Bahkan, saat ini, dari protokol tetap 3M dinaikkan lagi menjadi 5M plus 3T. Rasa ketidaknyamanan ini harus ditekankan. Kemudian penyampaian V (Vision) yang kedua, yakni masyarakat luas harus diberi penjelasan, kita sekarang ada di posisi mana dan hendak dibawa ke mana, dengan memakai bahasa yang mudah dipahami.

 

Dan F yang ketiga merupakan First Action, yakni awal dikumandangkannya program sosial PPKM harus melihat momen dan prosesnya, agar langkah perdana bisa mengindikasikan kesuksesan untuk tahapan berikutnya.

 

Secara keseluruhan perkalian atas D x V x F harus lebih besar dari R (Resistensi Komunitas yang melakukan penolakan). Jika R-nya lebih besar, artinya peta kelompok yang cenderung menolak cukup besar sehingga probabilitas akan kesuksesan sangat kecil.

 

Dari referensi dua ahli yang disebut di atas, disarankan untuk melakukan langkah-langkah berikut.

 

Pertama, menciptakan rasa keterdesakan melakukan sesuatu (sense of urgency), agar masyarakat segera bergegas mau mengusir korona dengan mematuhi anjuran pemerintah melakukan 3M/5M serta menaati instruksi 3T.

 

Kedua, perlunya membangun koalisi yang kuat lintas institusi, bidang, dan lintas komunitas. Ketiga, visi dan arah tujuan program harus dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Keempat, pemberdayaan secara berjenjang hingga tingkat komunitas terkecil di masyarakat.

 

Kelima, jika terdapat masalah dalam implementasi, segera lakukan kaji ulang dan konsolidasi. Keenam, umumkan kesuksesan di setiap tahapan. Ketujuh, bangun semangat untuk selalu bersedia melakukan perubahan. Kedelapan, turunkan jangkar di tempat yang strategis agar gerakan ini bisa bergaung lebih besar.

 

Apabila dua gerakan sosial dari skala makro dan mikro bisa dipertemukan, niat pemerintah mengefektifkan gerakan PPKM dan PSBB bisa diwujudkan.

 

Sudah banyak cerita sukses di banyak negara, seperti Saemaul Undong di Korsel. Gerakan memerangi kemiskinan yang dimulai dari desa-desa terlebih dahulu dan gerakan ini dipimpin langsung Presiden Park Cung-hee di zamannya.

 

Demikian pula gerakan OVOP di Jepang dipimpin Gubernur Oita dan di Thailand kegiatan serupa OVOP dipimpin langsung oleh raja pada masa itu.

 

Di Indonesia pun gerakan KB, walaupun dikoordinasikan oleh BKKBN, lembaga ini diawasi langsung Presiden Soeharto pada zaman Orde Baru.

 

Gerakan memerangi pandemi Covid-19, walaupun sudah dikoordinasikan oleh Satgas Covid-19, tampaknya perlu mempelajari kembali fondasinya dalam penerapan konsep mobilisasi sosial dan manajemen perubahan secara sistematis.

 

Orkestrasi permainan level mikro dan makro memerlukan ”partitur” dan pemilihan dirigen yang tepat, agar keinginan Presiden Jokowi dalam mengusir pandemi korona kali ini dapat diwujudkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar