Kamis, 25 Maret 2021

 

Peluang dan Tantangan Indonesia Mandiri Listrik Hijau

 Agus Djoko Ismanto ;  Senior Advisor on Environmental Sustainability

                                                        KOMPAS, 25 Maret 2021

 

 

                                                           

Sumber energi listrik Indonesia dapat sepenuhnya hijau. Kebutuhan Energi Terbarukan dapat dipenuhi dari hutan Indonesia yang terpelihara dengan baik. Pelajaran dapat diambil dari karya anak bangsa yang pada tahun 2012 dinyatakan sebagai Karya Inovasi Prospektif oleh Kemenristek. Sebuah inovasi yang mengubah keserakahan terhadap hutan menjadi kesejahteraan. Jika masyarakat pedalaman mampu mewujudkannya mengapa Pemerintah tidak mampu?

 

Kementerian ESDM melaporkan bahwa potensi Pembangkit Listrik Tenaga Air diseluruh Indonesia diperkirakan mendekati 75.000 MW, lebih dari dua kali lipat proyek strategis nasional pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW. Tiga wilayah terbesar pemilik potensi energi listrik terbarukan adalah Papua (30%), Kalimantan (28%) dan Sumatera (21%) dari total potensi nasional.

 

Ketiga pulau tersebut merupakan daerah yang masih memiliki kawasan hutan yang luas yang menjadi wewenang Kementerian LHK. Pertanyaannya adalah apakah dua kementerian ini sudah sepakat untuk menghijaukan sumber energi listrik Indonesia? Atau membiarkan potensi lenyap ditelan masa.

 

Luas lahan berhutan Indonesia adalah 94,1 juta ha setara dengan 50,1% luas daratan, sebagian besar (92.3%) merupakan hutan negara seluas 86.9 juta ha. Penguasaan oleh negara seharusnya dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menggerakkan potensi ini menjadikan Indonesia mandiri dalam sumber energi hijau yang tak pernah akan habis. PLTA dapat menjadi pilihan prioritas untuk kemandirian energi dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya yang mempunyai ketergantungan teknologi impor.

 

Penguasaan hutan oleh negara menyisakan persoalan yang menyebabkan status pengelolaan hutan negara menjadi lemah. Hal ini terjadi karena bersifat non-eksklusi, tidak ada pengecualian atas siapa yang berhak mengambil manfaat dari hutan, sehigga tidak ada insentif perilaku yang bertanggung jawab secara akuntabel maupun penegakan aturan atas penyimpangan akibat benturan kepentingan.

 

Konflik kepentingan

 

Persoalan terbesar adalah bagaimana konflik kepentingan dapat dikelola agar menjadi optimal. Konflik kepentingan terjadi bukan hanya antar kementerian yang sering disebut sebagai ego sectoral, tetapi juga kepentingan-kepentingan para penyelenggara negara, pengusaha dan aktor-aktor lain dalam industri energi, industri kehutanan, dan pangan, properti dan lainnya. Sulit tetapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.

 

Inovasi yang dipelopori oleh DR. Hunggul YSH Nugroho yang mengubah sikap negatif orang-orang terhadap hutan menjadi positif, sehingga menimbulkan kesadaran nyata tentang manfaat hutan untuk kesejahteraan. Orang-orang yang biasanya saling berkompetesi mengambil manfaat dari hutan dapat bersatu mewujudkan tujuan yang sama yaitu kemandirian energi listrik. Inovasi DR. Hunggul menggunakan listrik microhydro sampai dengan tahun 2020 telah diterapkan di 26 lokasi di tujuh provinsi di Indonesia.

 

Tantangan pertama bagi Indonesia adalah menyatukan tujuan, dapatkah pemerintah atau penyelenggara negara membulatkan tekad mewujudkan Indonesia mandiri energi bersih. Tarik-menarik kepentingan di sektor produsen energi, tarik-menarik kepentingan terhadap hutan, dan keberpihakan para penyelenggara negara terhadap kemandirian energi adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

 

Banyak pihak yang masih menginginkan energi fosil dipertahankan, banyak pihak yang menginginkan hutan terus dikonversi. Pekerjaan rumah harus diselesaikan secepatnya, terlambat mengambil keputusan maka hilanglah potensi untuk mandiri dan bersih.

 

Konflik kepentingan yang terjadi atas lahan hutan diberbagai lokasi, sedikit banyak menggambarkan konflik kepentingan atas hutan yang terjadi secara umum. Ada kepentingan menebang pohon, pertambangan, pembukaan lahan untuk pertanian, perambahan dan lain-lain, kecuali kepentingan untuk memproduksi listrik yang tidak terpikirkan.

 

Fenomena konflik kepentingan atas lahan hutan adalah nyata adanya. Diperlukan kemampuan untuk membangun kesadaran tentang adanya kepentingan bersama atas fungsi hutan, adanya ancaman bersama yang timbul dari perilaku kompetitif para pihak, dan kesadaran untuk mengubah ancaman menjadi perilaku kemanfaatan bersama.

 

Proses-proses negosiasi perlu dilakukan untuk menghasilkan penataan ruang untuk melayani kepentingan-kepentingan secara optimal. Sebuah pendekatan yang mengubah keserakahan (maksimalisasi) menjadi kesejahteraan bersama (optimalisasi).

 

Kelemahan karakter pengelolaan hutan negara disikapi dengan membuat peraturan desa yang mengatur hak-hak, kewajiban dan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam pemanfaatan ruang berupa lahan hutan di kampung. Sifat non-eksklusi yang melekat pada hutan negara diubah dan dilekatkan hak eksklusi, dengan mengatur mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

 

Model ini yang perlu diterapkan dalam manajemen hutan negara, baik hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, maupun konsep-konsep hutan kemasyarakatan.

 

Sudah sering diucapkan bahwa salah satu fungsi utama hutan adalah sebagai pengatur tata-air, tetapi adakah laporan-laporan pertanggung jawaban pemerintah atau para pengelola hutan yang menyampaikan capaian kinerja tata-air ini?

 

Tanpa menjadikan tata-air sebagai indikator kinerja, maka kata-kata itu hanya bujuk rayu semata, "PHP" belaka. Langkah besar pemerintah harus didahului dengan menjadikan tata-air sebagai indikator kinerja pengelolaan hutan dan indikator bagi pemangku wilayah baik Kabupaten, maupun Provinsi.

 

Penegakan hukum

 

Kesepakatan apapun, aturan apapun tidak akan bermanfaat jika tidak ada penegakan terhadap aturan itu sendiri. Masyarakat di kampung Sengang-Katimbang, Kayubiranga, dan Na’na membangun infrastruktur dan mekanisme penegakan aturan, dan secara konsisten dilaksanakan.

 

Penegakan hukum pada tingkat nasional perlu belajar dari kampung, sehingga tata ruang dapat diimplementasikan dengan konsisten, pengelolaan hutan dijalankan secara benar.

 

Pemerintah perlu membangun instrumen-instrumen penegakan hukum secara memadai, monitoring melalui satelit sudah bukan barang mahal lagi, terlebih lagi untuk kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia dalam mencapai kemandirian energi yang hijau bersih.

 

Lebih dari itu yang tidak boleh diabaikan, pentingnya membangun ruang komunikasi terbuka dengan para pihak, terutama masyarakat di sekitar lokasi pembangkit listrik terkait dengan bagaimana menjaga kelestarian ekosistem secara bersama-sama. Dengan demikian pilihan pada listrik microhydro sungguh berorientasi pada kesejahteraan bersama. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar