Reforma
Agraria Hijau di Perkotaan Ahmad Nashih Luthfi ; Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional |
KOMPAS,
29 Maret
2021
Pemerintah Indonesia telah menetapkan
reforma agraria (RA) sebagai program strategis nasional yang langsung
dimonitor oleh Presiden Joko Widodo. Akan tetapi agenda reforma agraria
jarang sekali didesain untuk dilaksanakan di wilayah perkotaan. Pemahaman utama bahwa reforma agraria
adalah untuk mengatasi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah serta
memberikan hak atas tanah utamanya pada masyarakat tani, tidaklah berarti
mengecilkan pentingnya penataan pertanahan di perkotaan dengan konteks
permasalahannya yang kompleks. Hal ini mengingat bahwa persentase penduduk
Indonesia di perkotaan semakin meningkat. Dalam satu dekade terakhir naik
6,9%, atau dari 49,8% (2010) menjadi 56,7% (2020). Pada 2030 diperkirakan
63,4%. Lima daerah dengan jumlah populasi terbesar di perkotaan adalah DKI
Jakarta (100%), Kepulauan Riau (83,3%), Jawa Barat (78,7%), DI. Yogyakarta
(74,6%), Bali (70,2%) (BPS 2020). Reforma
Agraria perkotaan Reforma agraria di perkotaan dapat
diwujudkan dalam bentuk alokasi tanah pemukiman untuk kelompok rentan secara
sosial-ekonomi, penataan kawasan kumuh perkotaan, konsolidasi tanah,
penyediaan tanah untuk lingkungan bersih dan pengelolaan sampah publik atau
komunitas yang memang benar-benar menjadi masalah utama di perkotaan. Secara normatif, reforma agraria untuk
perkotaan dan penggunaan non-pertanian telah terbuka ruangnya melalui Perpres
86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pasal 8 (b) berisi tentang
redistribusi tanah untuk non-pertanian, dan Pasal 12 (b) tentang Hak Milik
Bersama. Kajian terhadap reforma agraria perkotaan
juga telah dilakukan. Urgensitas reforma agraria di wilayah metropolitan
berangkat dari fenomena persaingan yang tidak adil antara alokasi tanah untuk
pemukiman warga mayoritas kelas bawah dengan alokasi tanah yang bersifat
akumulatif dan pencadangan (land banking) oleh para pengembang properti. Penguasaan cadangan tanah di Jakarta oleh
35 perusahaan pengembang swasta saat ini seluas 35.468,06 hektar, setara
dengan 53,55 persen wilayah kota Jakarta atau hampir dua kali luas Kota
Depok. Diperkirakan di atas tanah tersebut dapat dibangun 1.773.402 rumah,
dan menampung 7.625.630 orang atau seperempat populasi di DKI Jakarta
(Winarso 2017); Winarso dan Kartiwa 2020). Pemerintah DKI Jakarta telah dan sedang
melaksanakan reforma agraria perkotaan yang desainnya dilakukan bersama dengan
Universitas Indonesia (RISPRO UI 2020). Program Pembaruan Agraria Nasional di
Surakarta, sebagai contoh dari pelaksanaan reforma agraria perkotaan.
Kegiatan berupa penataan aset (tanah dan bangunan) dan akses masyarakat
miskin di Kampung Kragilan, Ketelan, dan Setabelan Banjarsari, Kota Surakarta
(Mulyani [ed.] 2012; Mulyani 2015). Dalam konteks sekarang penting kiranya
memikirkan lebih serius reforma agraria perkotaan melalui kelembagaan Gugus
Tugas Reforma Agraria (GTRA): desain kegiatan dalam merespon permasalahan
perkotaan utamanya kampung kumuh, lingkungan dan pengelolaan sampah; dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mendukung serta memperlambat
implementasinya. Secara hipotetis faktor-faktor yang turut
memengaruhi kinerja reforma agraria adalah faktor pengetahuan, kelembagaan,
dan kekuasaan (Luthfi 2019). Dari sisi pengetahuan, pemahaman dan desain
kegiatan reforma agraria harus menghindari klise, kontekstual dan sesuai
dengan tujuan dasarnya. Secara politik kegiatan reforma agraria
sebetulnya dapat lebih bersifat full power sebab melibatkan kekuatan
pemerintah pusat-daerah. Asalkan, kekuatan itu tidak malah menjadi
kontra-reforma bagi agenda tersebut. Pemerintah juga bukan entitas yang
tunggal, sehingga tantangannya secara kelembagaan adalah menjalin koordinasi
produktif sehingga lahir kesepakatan dan desain bersama (road map). Masyarakat juga tidak boleh tinggal diam
sebab kini dibuka secara partisipatif pelaporan usulan tanah obyek reforma
agraria melalui website SIGTORA Kementerian ATR/BPN. Greening
agrarian reform Dalam rapat kerja teknis reforma agraria 25
Maret 2021 yang lalu, dinyatakan bahwa salah satu tujuan reforma agaria
adalah memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Ini dapat disebut
sebagai greening agrarian reform. Secara lebih luas konsep ini adalah
menjadikan tanah-tanah yang dijadikan sebagai obyek reforma agraria tidak
melulu “dikapitalisasi” secara ekonomi, namun mengedepankan peran dan fungsi
ekologisnya secara berkelanjutan. Tidak tepat misalnya tanah yang telah
diberikan kemudian dijadikan lahan ekstraktif seperti pertambangan,
perkebunan monokultur, atau industri yang polutif yang kesemuanya merusak
ekosistem. Perspektif lingkungan dan ekologis menjadi filter yang berada di
garda depan dan bukan ditempatkan sebagai dampak atau resultan. Menghijaukan reforma agraria dapat
diwujudkan dalam bentuk penyelesiaan permasalahan lingkungan di perkotaan, di
antaranya adalah masalah sampah. Ia menjadi masalah publik lintas spasial dan
kelompok. Masalah sampah memiliki dampak turunan seperti kesehatan, disfungsi
drainase dan aliran sungai, banjir yang mengakibatkan kerugian besar,
hilangnya keindahan dan kenyamanan. Masalah itu dapat mengarah pada keresahan
sosial yang meluas. Menumpuknya sampah disebabkan ketidakseimbangan
antara populasi tinggi sebagai produsen sampah dengan kemampuan dan kemauan
mereka mengelolanya sejak dari rumah tangga, ditambah dengan sampah pabrik
yang massif. Suburnya kebiasaan keliru mengumpulkan dan membuang sampah
sembarangan tanpa adanya pemilahan dan pengelolaan (low of environmental
literacy and waste management), serta minimnya ketersediaan tanah dan ruang
pengolahan alami (composting), menjadi faktor utama. Jika di desa masih ada tanah untuk
dijadikan lobang sampah (jogangan), tidak demikian halnya di kota. Daur
perjalanan sampah dari rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir melintasi
wilayah administratif dan keruangan. Singkatnya, permasalahan sampah bersifat
individual dan struktural. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
sebetulnya memerintahkan agar pemerintah daerah memiliki Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) serta melarang penimbunan sampah secara terbuka (open
dumping). Lagi-lagi problemnya adalah ketersediaan tanah pengolahan. GTRA perlu mengambil peran dalam menghadapi
masalah tersebut. Penyediaan tanah untuk pengelolaan lingkungan dapat
diperoleh dari tanah terlantar yang telah diidentifikasi Kementerian ATR/BPN,
atau dari sumber-sumber lain. Sampai dengan 2021 terdapat 5217 bidang tanah
terlantar di Indonesia (Direktorat Jenderal Penataan Agraria 2021). Pemberian hak atas tanah untuk pengelolaan
sampah dapat diberikan dalam bentuk hak milik bersama kepada badan usaha
komunitas, koperasi, yayasan sosial, atau BUMDes, disertai dengan
pemberdayaan melalui kegiatan reforma akses yakni permodalan, pendampingan,
dan keterampilan pengolahan. Sampah akan dapat menjadi sumber pendapatan
tambahan bagi masyarakat. Dengan dikembangkan Kerjasama Pemerintah
Badan Usaha Masyarakat (KPBUM), diharapkan sistem penataan agraria dapat
berkelanjutan. Diperlukan persebaran Tempat Penampungan Sementara (TPS) di
berbagai kampung, dukuh atau bahkan RT. Pemilahan dan pengolahan dapat
dilakukan di level TPS (menengah). Perjalanan sampah dapat diurai sampai di
situ sehingga tidak menumpuk hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Melalui kelembagaan GTRA sebagai lembaga
lintas-sektor yang dipimpin oleh kepala daerah dengan pelaksana harian dari
kantor pertanahan serta dengan dukungan SKPD yang ada, maka penyediaan tanah
serta penataan akses untuk pengelolaan sampah idealnya dapat mudah dilakukan.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar