Selasa, 30 Maret 2021

 

Reforma Agraria Hijau di Perkotaan

 Ahmad Nashih Luthfi ;  Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

                                                        KOMPAS, 29 Maret 2021

 

 

                                                           

Pemerintah Indonesia telah menetapkan reforma agraria (RA) sebagai program strategis nasional yang langsung dimonitor oleh Presiden Joko Widodo. Akan tetapi agenda reforma agraria jarang sekali didesain untuk dilaksanakan di wilayah perkotaan.

 

Pemahaman utama bahwa reforma agraria adalah untuk mengatasi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah serta memberikan hak atas tanah utamanya pada masyarakat tani, tidaklah berarti mengecilkan pentingnya penataan pertanahan di perkotaan dengan konteks permasalahannya yang kompleks.

 

Hal ini mengingat bahwa persentase penduduk Indonesia di perkotaan semakin meningkat. Dalam satu dekade terakhir naik 6,9%, atau dari 49,8% (2010) menjadi 56,7% (2020). Pada 2030 diperkirakan 63,4%. Lima daerah dengan jumlah populasi terbesar di perkotaan adalah DKI Jakarta (100%), Kepulauan Riau (83,3%), Jawa Barat (78,7%), DI. Yogyakarta (74,6%), Bali (70,2%) (BPS 2020).

 

Reforma Agraria perkotaan

 

Reforma agraria di perkotaan dapat diwujudkan dalam bentuk alokasi tanah pemukiman untuk kelompok rentan secara sosial-ekonomi, penataan kawasan kumuh perkotaan, konsolidasi tanah, penyediaan tanah untuk lingkungan bersih dan pengelolaan sampah publik atau komunitas yang memang benar-benar menjadi masalah utama di perkotaan.

 

Secara normatif, reforma agraria untuk perkotaan dan penggunaan non-pertanian telah terbuka ruangnya melalui Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pasal 8 (b) berisi tentang redistribusi tanah untuk non-pertanian, dan Pasal 12 (b) tentang Hak Milik Bersama.

 

Kajian terhadap reforma agraria perkotaan juga telah dilakukan. Urgensitas reforma agraria di wilayah metropolitan berangkat dari fenomena persaingan yang tidak adil antara alokasi tanah untuk pemukiman warga mayoritas kelas bawah dengan alokasi tanah yang bersifat akumulatif dan pencadangan (land banking) oleh para pengembang properti.

 

Penguasaan cadangan tanah di Jakarta oleh 35 perusahaan pengembang swasta saat ini seluas 35.468,06 hektar, setara dengan 53,55 persen wilayah kota Jakarta atau hampir dua kali luas Kota Depok. Diperkirakan di atas tanah tersebut dapat dibangun 1.773.402 rumah, dan menampung 7.625.630 orang atau seperempat populasi di DKI Jakarta (Winarso 2017); Winarso dan Kartiwa 2020).

 

Pemerintah DKI Jakarta telah dan sedang melaksanakan reforma agraria perkotaan yang desainnya dilakukan bersama dengan Universitas Indonesia (RISPRO UI 2020).

 

Program Pembaruan Agraria Nasional di Surakarta, sebagai contoh dari pelaksanaan reforma agraria perkotaan. Kegiatan berupa penataan aset (tanah dan bangunan) dan akses masyarakat miskin di Kampung Kragilan, Ketelan, dan Setabelan Banjarsari, Kota Surakarta (Mulyani [ed.] 2012; Mulyani 2015).

 

Dalam konteks sekarang penting kiranya memikirkan lebih serius reforma agraria perkotaan melalui kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA): desain kegiatan dalam merespon permasalahan perkotaan utamanya kampung kumuh, lingkungan dan pengelolaan sampah; dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendukung serta memperlambat implementasinya.

 

Secara hipotetis faktor-faktor yang turut memengaruhi kinerja reforma agraria adalah faktor pengetahuan, kelembagaan, dan kekuasaan (Luthfi 2019). Dari sisi pengetahuan, pemahaman dan desain kegiatan reforma agraria harus menghindari klise, kontekstual dan sesuai dengan tujuan dasarnya.

 

Secara politik kegiatan reforma agraria sebetulnya dapat lebih bersifat full power sebab melibatkan kekuatan pemerintah pusat-daerah. Asalkan, kekuatan itu tidak malah menjadi kontra-reforma bagi agenda tersebut. Pemerintah juga bukan entitas yang tunggal, sehingga tantangannya secara kelembagaan adalah menjalin koordinasi produktif sehingga lahir kesepakatan dan desain bersama (road map).

 

Masyarakat juga tidak boleh tinggal diam sebab kini dibuka secara partisipatif pelaporan usulan tanah obyek reforma agraria melalui website SIGTORA Kementerian ATR/BPN.

 

Greening agrarian reform

 

Dalam rapat kerja teknis reforma agraria 25 Maret 2021 yang lalu, dinyatakan bahwa salah satu tujuan reforma agaria adalah memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Ini dapat disebut sebagai greening agrarian reform.

 

Secara lebih luas konsep ini adalah menjadikan tanah-tanah yang dijadikan sebagai obyek reforma agraria tidak melulu “dikapitalisasi” secara ekonomi, namun mengedepankan peran dan fungsi ekologisnya secara berkelanjutan.

 

Tidak tepat misalnya tanah yang telah diberikan kemudian dijadikan lahan ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan monokultur, atau industri yang polutif yang kesemuanya merusak ekosistem. Perspektif lingkungan dan ekologis menjadi filter yang berada di garda depan dan bukan ditempatkan sebagai dampak atau resultan.

 

Menghijaukan reforma agraria dapat diwujudkan dalam bentuk penyelesiaan permasalahan lingkungan di perkotaan, di antaranya adalah masalah sampah. Ia menjadi masalah publik lintas spasial dan kelompok. Masalah sampah memiliki dampak turunan seperti kesehatan, disfungsi drainase dan aliran sungai, banjir yang mengakibatkan kerugian besar, hilangnya keindahan dan kenyamanan. Masalah itu dapat mengarah pada keresahan sosial yang meluas.

 

Menumpuknya sampah disebabkan ketidakseimbangan antara populasi tinggi sebagai produsen sampah dengan kemampuan dan kemauan mereka mengelolanya sejak dari rumah tangga, ditambah dengan sampah pabrik yang massif. Suburnya kebiasaan keliru mengumpulkan dan membuang sampah sembarangan tanpa adanya pemilahan dan pengelolaan (low of environmental literacy and waste management), serta minimnya ketersediaan tanah dan ruang pengolahan alami (composting), menjadi faktor utama.

 

Jika di desa masih ada tanah untuk dijadikan lobang sampah (jogangan), tidak demikian halnya di kota. Daur perjalanan sampah dari rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir melintasi wilayah administratif dan keruangan. Singkatnya, permasalahan sampah bersifat individual dan struktural.

 

UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sebetulnya memerintahkan agar pemerintah daerah memiliki Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) serta melarang penimbunan sampah secara terbuka (open dumping). Lagi-lagi problemnya adalah ketersediaan tanah pengolahan.

 

GTRA perlu mengambil peran dalam menghadapi masalah tersebut. Penyediaan tanah untuk pengelolaan lingkungan dapat diperoleh dari tanah terlantar yang telah diidentifikasi Kementerian ATR/BPN, atau dari sumber-sumber lain. Sampai dengan 2021 terdapat 5217 bidang tanah terlantar di Indonesia (Direktorat Jenderal Penataan Agraria 2021).

 

Pemberian hak atas tanah untuk pengelolaan sampah dapat diberikan dalam bentuk hak milik bersama kepada badan usaha komunitas, koperasi, yayasan sosial, atau BUMDes, disertai dengan pemberdayaan melalui kegiatan reforma akses yakni permodalan, pendampingan, dan keterampilan pengolahan. Sampah akan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat.

 

Dengan dikembangkan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha Masyarakat (KPBUM), diharapkan sistem penataan agraria dapat berkelanjutan. Diperlukan persebaran Tempat Penampungan Sementara (TPS) di berbagai kampung, dukuh atau bahkan RT. Pemilahan dan pengolahan dapat dilakukan di level TPS (menengah). Perjalanan sampah dapat diurai sampai di situ sehingga tidak menumpuk hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

 

Melalui kelembagaan GTRA sebagai lembaga lintas-sektor yang dipimpin oleh kepala daerah dengan pelaksana harian dari kantor pertanahan serta dengan dukungan SKPD yang ada, maka penyediaan tanah serta penataan akses untuk pengelolaan sampah idealnya dapat mudah dilakukan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar