Selasa, 30 Maret 2021

 

RUU BPIP dan Institusionalisasi Pancasila

 Guntur Soekarno ;  Putra Sulung Presiden Soekarno dan Pemerhati Sosial

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Syaiful Arif, di harian Kompas (16/2/2021), menulis artikel berjudul ”RUU BPIP dan Institusionalisasi Pancasila”. Dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila merupakan unit kerja Presiden yang bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.

 

Karena terkait Pancasila yang digali Bung Karno, saya terpanggil untuk memberikan beberapa pandangan. Hal itu karena saya sering berdiskusi tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang saya lakukan bersama Bapak sejak di Sekolah Menengah Atas Perguruan Cikini, Jakarta.

 

Sebelum mengupas pandangan dan komentar Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila Syaiful Arif, saya bertanya, apakah Pancasila yang digali Bung Karno dikemukakan pada 1 Juni 1945 masih perlu diotak-atik dan diperdebatkan?

 

Apakah pikiran, artikel-artikel, pidato-pidato di mana-mana, dan tulisan Bung Karno yang bertebaran di buku-buku, antara lain Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila sebagai Dasar Negara, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I, Jilid II, bahkan otobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, belum cukup menjelaskan serta menegaskan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

 

Menurut hemat saya, di mana pun Pancasila itu berada, selama Pancasila tak dilepaskan dari sumber dan asal-muasalnya, yaitu Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, tentu tidak akan ada masalah dan menimbulkan perdebatan.

 

Sebagaimana kita tahu, hari lahir Pancasila telah ditetapkan dan diakui sebagai hari libur nasional. Dalam hal ini, tentu, konteks Pancasila yang mendasari lahirnya Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dan institusionalisasi seperti dimaksud Syaiful Arif mengacu pada Pancasila 1 Juni 1945.

 

Namun, persoalannya, hingga kini masih banyak kalangan, terutama para elite, pakar politik dan ideologi yang meminjam istilah Bung Karno ”Mahawikan-mahawikan”, yang menulis dan mengupas Pancasila terlepas dari sumber aslinya, yaitu Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.

 

Dalam artikelnya, Syaiful Arif menulis, ”Ketika pemerintahan Presiden Jokowi mengajukan RUU ini tahun lalu, beberapa kalangan menolak. Alasannya, RUU tersebut dinilai sama dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diajukan sebelumnya dan dinilai kontroversial. Padahal, dua RUU ini sangat berbeda.

 

Pertama, karena RUU HIP berhasrat menyusun tafsir tentang Pancasila dengan menentukan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila. Sendi pokoknya merujuk pada keadilan sosial. Kedua, RUU BPIP tak akan mengacaukan hierarki sistem hukum nasional karena ia tak mengatur hakikat Pancasila, tetapi mengenai upaya pembinaan ideologi Pancasila.

 

Selanjutnya, dalam uraiannya terkait RUU HIP yang berhasrat menyusun tafsir Pancasila dengan menentukan sendi pokok dan ciri pokok Pancasila, dengan sendi pokoknya yang merujuk pada keadilan sosial, Syaiful Arif mengutip tulisan Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila (1977). ”Misalnya, menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya”.

 

Jika dikatakan bahwa Bung Hatta dalam penjelasannya mengenai pengertian Pancasila pada 1977, misalnya menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar yang memimpin dan membimbing sila-sila lainnya, kita perlu menyimak surat wasiat Bung Hatta kepada penulis pada 16 Juni 1978.

 

Inti isi surat wasiat Bung Hatta tersebut tidak mempermasalahkan kedudukan sila-sila Pancasila dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Bung Hatta hanya menyatakan bahwa berdasarkan keputusan Panitia 9, yang dipimpin Bung Karno sebagai ketua, sila-sila pada Pancasila 1 Juni 1945 disempurnakan dan diubah susunannya sehingga Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama. Jadi, hal ini berarti kelima sila dari Pancasila, setiap sila-silanya saling mengisi dan tak terpisahkan satu sama lain.

 

Kini , pertanyaan lain, mengapa Bung Karno mengatakan dalam pidatonya 1 Juni 1945 bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa? Kemudian, dari Trisila dapat diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu Gotong Royong, yang menurut Bung Karno adalah satu perkataan Indonesia yang tulen ”Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong!” (Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)

 

Sejatinya, apa yang Bung Karno maksud dengan peras-memeras dari Trisila menjadi Ekasila adalah sekadar menawarkan kepada publik.

 

Siapa yang tidak senang dengan simbolik angka lima, boleh diperas tinggal tiga atau satu saja. Lalu, bagi mereka yang tidak senang atau tidak setuju dengan simbolik angka tiga dan minta satu dasar saja, maka ambillah Dasar Negara Gotong Royong. Karena itu, tak berarti—walaupun dalam Sila Gotong Royong—tak terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lainnya. Dalam Sila Gotong Royong itu, semua sila dari Pancasila ”dikumpulkan” jadi satu dalam Sila Gotong Royong.

 

Selanjutnya, untuk mereka yang tak setuju adanya perasan-perasan Trisila dan Ekasila, menurut saya, hal itu dapat berarti tidak setuju kepada Pancasila itu sendiri.

 

Jika konteks ini dihubungkan dengan RUU BPIP, sejauh ini Pancasila dalam RUU tersebut adalah Pancasila yang berasal dari Pidato Bung Karno Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Dengan demikian, tidak ada masalah dan sah-sah saja untuk diundangkan oleh DPR.

 

Empat pilar

 

Terkait dengan Empat Pilar NKRI, yang disosialisasikan oleh Ketua MPR almarhum Taufiq Kiemas, menurut penulis, jika ditinjau dari kacamata ajaran-ajaran dan pikiran-pikiran Bung Karno, maka Pancasila yang menurut Bung Karno adalah Dasar Negara dalam Empat Pilar itu hanya dinilai sebagai satu pilar atau sekadar tiang berbangsa dan bernegara sehingga jelas tidak tepat.

 

Dalam teori ideologi, Bung Karno menyatakan, Pancasila adalah suatu meja statis di mana NKRI diletakkan di atasnya. Selain itu, Pancasila juga satu leitstar atau bintang penuntun dinamis yang menunjukkan ke mana arah NKRI harus dibawa. Arah itu ialah mendirikan suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sosialistis, modern, tetapi bersifat religius dan Berketuhanan Yang Maha Esa.

 

Hal ini berarti, Pancasila tak dapat diposisikan sekadar menjadi pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Harusnya lebih dari pemahaman sebatas pilar semata. Seseorang yang menyetujui Pancasila adalah salah satu pilar berbangsa dan bernegara, maka orang tersebut masih tetap dapat dikatakan sebagai seorang yang Pancasilais, akan tetapi, yang ”Pancasila-nya sudah tidak prinsipiil lagi”.

 

Institusionalisasi Pancasila

 

Menurut Syaiful Arif, penting dalam pembinaan Pancasila ialah institusionalisasi atau pelembagaan Pancasila itu sendiri. Disebutkan, internalisasi itu mengacu pada ”penyuntikan” Pancasila ke dalam individu manusia atau institusionalisasi dapat mengacu pada ”pembenaman” Pancasila dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan publik, serta tata kelola lembaga negara.

 

Inilah yang menjadi sasaran utama dari RUU BPIP sebagai UU penguatan Pancasila dalam struktur kenegaraan.

 

Namun, menurut Syaiful Arif, kendala terbesar untuk melaksanakan institusionalisasi Pancasila adalah belum dijadikannya Pancasila sebagai dasar bagi penyusunan naskah akademik dari sebuah UU. Pasalnya, karena adanya faktor yang lebih mendasar lagi, yakni belum disusunnya ”Pedoman Teoretik Pancasila” bagi naskah akademik lainnya.

 

Di samping itu, Pancasila juga belum dijadikan ”batu uji” dalam judicial review saat ini. Menurut hemat saya, belum adanya naskah akademik ataupun ”batu uji” dalam judicial review, hal itu hanyalah menyangkut masalah yuridis formal yang menyangkut hukum ketatanegaraan.

 

Menjadi pertanyaan, mengapa kita selalu berpikir bahwa semua hal harus ada landasan hukum dan pasal-pasalnya? Jika seperti itu, hal ini akan dapat membuat kita menjadi suatu bangsa yang terlalu legalistik dan lupa bahwa banyak hal penting, bahkan amat penting, tidak ada dasar dan pasal-pasal hukumnya.

 

Salah satu contohnya, apa dasar hukum Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan Indonesia menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945? Soekarno dan Hatta justru melanggar, bahkan merobek-robek hukum kolonial yang mengekang kemerdekaan Indonesia saat itu.

 

Lalu apa dasar hukum Bung Karno menyelundupkan senjata ke Aljazair dengan kapal selam untuk pejuang-pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam FNPA pada 1960-an? Bukankah dengan tindakannya itu justru Bung Karno melanggar hukum internasional?

 

Jadi, landasan hukum apa yang digunakan Bung Karno untuk meluluskan permintaan dari sahabat-sahabatnya di Aljazair?

 

Dalam hal ini, Bung Karno menggunakan landasan kearifan Indonesia, Indonesian wisdom! Dalam Pancasila 1 Juni- lah terdapat ”kearifan Indonesia; Indonesian wisdom”.

 

Karena itu, kembali ke soal RUU BPIP dan institusionalisasi Pancasila, jika didasarkan pada Pancasila 1 Juni 1945, seharusnya tak ada lagi kendala-kendala yang dapat menghalangi pelembagaan Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, serta tidak lagi ada hal-hal yang perlu diperdebatkan sekarang dan masa datang! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar