Rabu, 24 Maret 2021

 

Ironi Korupsi di Zona Antikorupsi

 Ade Irawan  ;  Direktur Visi Integritas, Pengasuh Akademi Antikorupsi

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Pemerintah daerah masih menjadi tempat paling rawan korupsi. Sebagian besar kasus yang ditangani penegak hukum terkait dengan kepala daerah, pegawai dinas, dan anggota DPRD. Jika tidak ada upaya serius membenahi integritas pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat akan terus memburuk dan makin banyak penyelenggara daerah yang terjerat hukum.

 

Kasus korupsi daerah yang terbaru menyeret Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, salah satu kepala daerah terbaik yang memiliki reputasi dan rekam jejak cemerlang. Sang professor identik dengan integritas dan kualitas. Penerima Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) dan sukses membenahi Kabupaten Bantaeng. Tata kelola pemerintah, kualitas pelayanan publik, dan ekonomi daerah berkembang pesat di tangannya. Nurdin Abdullah telah menjadi asa di tengah karut marut masalah pemerintahan daerah.

 

Tapi sayang, Nurdin Abdullah gagal menjaga harapan dan mengecewakan banyak orang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya atas dugaan suap proyek infrastruktur. Reputasi yang sudah lama dibangun runtuh seketika ditambah ancaman hukuman berat. Tidak hanya itu, perbuatannya pun mencederai hak masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan negara. Pengembangan kasus oleh KPK akan membuat lebih terang latar belakang dan penyebab Nurdin berani menyalahgunakan kewenangannya.

 

Sebenarnya bukan hanya Nurdin Abdullah yang menggaungkan antikorupsi dalam pemerintahannya. Dalam beberapa tahun terakhir banyak pemerintah daerah yang ‘berlomba’ menyatakan diri memiliki komitmen antikorupsi. Mereka mendeklarasikan berbagai program seperti menetapkan wilayah bebas korupsi, menandatangani pakta integritas, dan membuat zona integritas.

 

Tapi sayangnya sebagian besar tidak menindaklanjuti dengan aksi lebih nyata. Deklarasi antikorupsi hanya menjadi ritual tahunan dan berhenti di seremoni. Tidak ada dampaknya pada peningkatan tata kelola, kinerja, dan integritas penyelenggara pemerintahan. Deklarasi dan pemasangan banyak spanduk tidak membuat korupsi hilang dari pemerintah daerah.

 

Ironisnya korupsi kerap terjadi di zona-zona antikorupsi. Paling terlihat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, praktik suap dan pemerasan dilakukan berdekatan dengan spanduk antikorupsi. Tidak hanya itu, mantan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengungkapkan ada dua gubernur yang terjaring operasi tangkap tangan KPK sehari setelah menandatangani deklarasi antikorupsi di depan ketua KPK (https://www.kemendagri.go.id/kisah-mendagri-tentang-dua-gubernur-yang-kena-jerat-kpk).

 

Jebakan korupsi

 

Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program antikorupsi pemerintah daerah. Paling utama adalah minimnya komitmen kepala daerah. Penguatan tata kelola dan pelembagaan integritas butuh proses, bukan kegiatan sekali jadi. Karena itu harus serius dikawal dan didukung.

 

Tapi sayang yang terjadi sebaliknya. Alih-alih mendukung, program antikorupsi hanya jadi ajang pencitraan. Deklarasi menjadi kegiatan awal sekaligus akhir untuk menunjukan kepada publik bahwa kepala daerah dan pemerintah daerah memiliki komitmen antikorupsi.

 

Selain itu, ada pula yang sekedar menjalankan kewajiban dari pemerintah. Sebab beberapa lembaga seperti kementerian dalam negeri (Kemendagri) dan kementerian pemberdayaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi (Kemen PAN RB) mendorong pemerintah daerah menjalankan program antikorupsi.

 

Mereka yang mampu memenuhi indikator akan mendapat predikat seperti wilayah bebas korupsi. Biasanya pemerintah daerah hanya fokus pada pemenuhan administrasi, tapi melupakan tujuan membangun akuntabilitas dan integritas pemerintahan.

 

Padahal sangat penting bagi gubernur, walikota, atau bupati serius membangun integritas pemerintahannya. Belajar dari kasus Nurdin Abdullah atau kasus di daerah lainnya, kepala daerah mesti memiliki ketahanan yang kokoh dalam menghadapi godaan, tekanan, dan jebakan korupsi.

 

Kewenangan yang besar dalam membuat kebijakan dan anggaran sangat menggoda untuk disalahgunakan. Tidak hanya itu, mereka pun akan menghadapi tekanan dari orang-orang di sekeliling yang ingin mendapat keuntungan dari kewenangannya.

 

Mulai dari permintaan ‘jatah’ atau imbal balik dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), para penyumbang kampanye, partai pendukung, dan tim sukses. Bisa pula jebakan administrasi dari birokrasi dan perdagangan pengaruh (Trading in Influence) oleh anggota keluarga. Semua itu bisa mengantarkan kepala daerah berurusan dengan aparat penegak hukum dan merusak kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat.

 

Melembagakan integritas

 

Membangun integritas berarti membuat sistem yang bisa memunculkan ‘kekebalan kelompok’ terhadap korupsi di lingkungan pemerintah daerah. Semua pihak, mulai dari kepala daerah hingga jajaran birokrasi terus menerus diperkuat integritasnya melalui pelatihan, penguatan aturan main, dan kelembagaan yang bisa membuat mereka saling mengontrol.

 

Secara umum ada tiga langkah dalam membangun integritas di pemerintahan daerah, ketiganya saling berkaitan. Pertama, menanamkan nilai-nilai dalam diri kepala daerah dan jajaran penyelenggara pemerintahan seperti jujur, adil, amanah, tanggungjawab, kerja keras. Juga pemahaman mengenai korupsi, dampak buruk, dan konsekuensi dari sisi aturan negara maupun agama.

 

Memang banyak faktor yang mempengaruhi integritas individu seperti keluarga dan lingkungan. Tapi pemerintah daerah tetap berkewajiban untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada semua jajarannya melalui berbagai pelatihan, penyuluhan, dan sosialisasi rutin.

 

Kedua, melembagakan integritas. Berbagai nilai kebaikan dalam diri kepala daerah dan birokrasi harus dijaga dan diperkuat melalui kode etik, Standard Operating Procedure (SOP), serta aturan organisasi.

 

Agar semua pihak mematuhi aturan, perlu dukungan dibentuk atau diberdayakan unit-unit seperti whistle blowing system (WBS), unit pengendalian gratifikasi (UPG), hingga unit pengawasan. Aturan internal dan unit-unit tersebut akan memudahkan pelaporan penyimpangan atau pelanggaran. Termasuk melindungi para pegawai dinas yang kerap dipaksa untuk melakukan praktik korupsi.

 

Selain itu, penting juga untuk memetakan risiko korupsi di pemerintah daerah. Tujuannya agar titik-titik rawan terindentifikasi sehingga bisa segera disiapkan mitigasinya. Hasil pemetaan ini pun bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan dan program antikorupsi.

 

Ketiga mengembangkan integritas. Pemerintah daerah harus menyosialisasikan sistem yang telah mereka bentuk kepada para pemangku kepentingan terutama masyarakat, DPRD, dan rekanan. Mereka pun bisa mendeklarasikannya kepada publik untuk menegaskan bahwa sudah ada sistem dan komitmen antikorupsi. Selain itu, sistem juga harus terus dievaluasi dan dikembangkan.

 

Melembagakan integritas pemerintah daerah mestinya sudah menjadi kebutuhan mendesak. Tidak hanya dalam rangka menghindari jerat hukum karena korupsi, tapi juga yang terpenting menjadi bagian dari upaya meningkatkan kinerja, mendorong efesiensi, dan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar