Ironi
Korupsi di Zona Antikorupsi Ade Irawan ; Direktur Visi Integritas, Pengasuh
Akademi Antikorupsi |
KOMPAS,
23 Maret
2021
Pemerintah daerah masih menjadi tempat
paling rawan korupsi. Sebagian besar kasus yang ditangani penegak hukum
terkait dengan kepala daerah, pegawai dinas, dan anggota DPRD. Jika tidak ada
upaya serius membenahi integritas pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat
akan terus memburuk dan makin banyak penyelenggara daerah yang terjerat
hukum. Kasus korupsi daerah yang terbaru menyeret
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, salah satu kepala daerah terbaik
yang memiliki reputasi dan rekam jejak cemerlang. Sang professor identik
dengan integritas dan kualitas. Penerima Bung Hatta Anti Corruption Award
(BHACA) dan sukses membenahi Kabupaten Bantaeng. Tata kelola pemerintah,
kualitas pelayanan publik, dan ekonomi daerah berkembang pesat di tangannya.
Nurdin Abdullah telah menjadi asa di tengah karut marut masalah pemerintahan
daerah. Tapi sayang, Nurdin Abdullah gagal menjaga
harapan dan mengecewakan banyak orang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menangkapnya atas dugaan suap proyek infrastruktur. Reputasi yang sudah lama
dibangun runtuh seketika ditambah ancaman hukuman berat. Tidak hanya itu,
perbuatannya pun mencederai hak masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan
negara. Pengembangan kasus oleh KPK akan membuat lebih terang latar belakang
dan penyebab Nurdin berani menyalahgunakan kewenangannya. Sebenarnya bukan hanya Nurdin Abdullah yang
menggaungkan antikorupsi dalam pemerintahannya. Dalam beberapa tahun terakhir
banyak pemerintah daerah yang ‘berlomba’ menyatakan diri memiliki komitmen
antikorupsi. Mereka mendeklarasikan berbagai program seperti menetapkan
wilayah bebas korupsi, menandatangani pakta integritas, dan membuat zona
integritas. Tapi sayangnya sebagian besar tidak
menindaklanjuti dengan aksi lebih nyata. Deklarasi antikorupsi hanya menjadi
ritual tahunan dan berhenti di seremoni. Tidak ada dampaknya pada peningkatan
tata kelola, kinerja, dan integritas penyelenggara pemerintahan. Deklarasi
dan pemasangan banyak spanduk tidak membuat korupsi hilang dari pemerintah
daerah. Ironisnya korupsi kerap terjadi di
zona-zona antikorupsi. Paling terlihat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, praktik suap dan pemerasan dilakukan berdekatan dengan spanduk
antikorupsi. Tidak hanya itu, mantan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
pernah mengungkapkan ada dua gubernur yang terjaring operasi tangkap tangan
KPK sehari setelah menandatangani deklarasi antikorupsi di depan ketua KPK
(https://www.kemendagri.go.id/kisah-mendagri-tentang-dua-gubernur-yang-kena-jerat-kpk). Jebakan
korupsi Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan
program antikorupsi pemerintah daerah. Paling utama adalah minimnya komitmen
kepala daerah. Penguatan tata kelola dan pelembagaan integritas butuh proses,
bukan kegiatan sekali jadi. Karena itu harus serius dikawal dan didukung. Tapi sayang yang terjadi sebaliknya.
Alih-alih mendukung, program antikorupsi hanya jadi ajang pencitraan.
Deklarasi menjadi kegiatan awal sekaligus akhir untuk menunjukan kepada
publik bahwa kepala daerah dan pemerintah daerah memiliki komitmen
antikorupsi. Selain itu, ada pula yang sekedar
menjalankan kewajiban dari pemerintah. Sebab beberapa lembaga seperti
kementerian dalam negeri (Kemendagri) dan kementerian pemberdayaan aparatur
sipil negara dan reformasi birokrasi (Kemen PAN RB) mendorong pemerintah
daerah menjalankan program antikorupsi. Mereka yang mampu memenuhi indikator akan
mendapat predikat seperti wilayah bebas korupsi. Biasanya pemerintah daerah
hanya fokus pada pemenuhan administrasi, tapi melupakan tujuan membangun
akuntabilitas dan integritas pemerintahan. Padahal sangat penting bagi gubernur,
walikota, atau bupati serius membangun integritas pemerintahannya. Belajar
dari kasus Nurdin Abdullah atau kasus di daerah lainnya, kepala daerah mesti
memiliki ketahanan yang kokoh dalam menghadapi godaan, tekanan, dan jebakan
korupsi. Kewenangan yang besar dalam membuat
kebijakan dan anggaran sangat menggoda untuk disalahgunakan. Tidak hanya itu,
mereka pun akan menghadapi tekanan dari orang-orang di sekeliling yang ingin
mendapat keuntungan dari kewenangannya. Mulai dari permintaan ‘jatah’ atau imbal
balik dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), para penyumbang
kampanye, partai pendukung, dan tim sukses. Bisa pula jebakan administrasi
dari birokrasi dan perdagangan pengaruh (Trading in Influence) oleh anggota
keluarga. Semua itu bisa mengantarkan kepala daerah berurusan dengan aparat
penegak hukum dan merusak kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat. Melembagakan
integritas Membangun integritas berarti membuat sistem
yang bisa memunculkan ‘kekebalan kelompok’ terhadap korupsi di lingkungan
pemerintah daerah. Semua pihak, mulai dari kepala daerah hingga jajaran
birokrasi terus menerus diperkuat integritasnya melalui pelatihan, penguatan
aturan main, dan kelembagaan yang bisa membuat mereka saling mengontrol. Secara umum ada tiga langkah dalam
membangun integritas di pemerintahan daerah, ketiganya saling berkaitan.
Pertama, menanamkan nilai-nilai dalam diri kepala daerah dan jajaran
penyelenggara pemerintahan seperti jujur, adil, amanah, tanggungjawab, kerja
keras. Juga pemahaman mengenai korupsi, dampak buruk, dan konsekuensi dari
sisi aturan negara maupun agama. Memang banyak faktor yang mempengaruhi
integritas individu seperti keluarga dan lingkungan. Tapi pemerintah daerah
tetap berkewajiban untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada semua
jajarannya melalui berbagai pelatihan, penyuluhan, dan sosialisasi rutin. Kedua, melembagakan integritas. Berbagai
nilai kebaikan dalam diri kepala daerah dan birokrasi harus dijaga dan
diperkuat melalui kode etik, Standard Operating Procedure (SOP), serta aturan
organisasi. Agar semua pihak mematuhi aturan, perlu
dukungan dibentuk atau diberdayakan unit-unit seperti whistle blowing system
(WBS), unit pengendalian gratifikasi (UPG), hingga unit pengawasan. Aturan
internal dan unit-unit tersebut akan memudahkan pelaporan penyimpangan atau
pelanggaran. Termasuk melindungi para pegawai dinas yang kerap dipaksa untuk
melakukan praktik korupsi. Selain itu, penting juga untuk memetakan
risiko korupsi di pemerintah daerah. Tujuannya agar titik-titik rawan
terindentifikasi sehingga bisa segera disiapkan mitigasinya. Hasil pemetaan
ini pun bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan dan program antikorupsi. Ketiga mengembangkan integritas. Pemerintah
daerah harus menyosialisasikan sistem yang telah mereka bentuk kepada para
pemangku kepentingan terutama masyarakat, DPRD, dan rekanan. Mereka pun bisa
mendeklarasikannya kepada publik untuk menegaskan bahwa sudah ada sistem dan
komitmen antikorupsi. Selain itu, sistem juga harus terus dievaluasi dan
dikembangkan. Melembagakan integritas pemerintah daerah
mestinya sudah menjadi kebutuhan mendesak. Tidak hanya dalam rangka
menghindari jerat hukum karena korupsi, tapi juga yang terpenting menjadi
bagian dari upaya meningkatkan kinerja, mendorong efesiensi, dan kualitas
pelayanan pemerintah kepada masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar