Minggu, 28 Maret 2021

 

Masjid dan Ajaran Toleransi yang Terlupakan

 Idham Cholid ;  Ketua Umum Jayanusa; Pembina Gerakan Towel Indonesia

                                                         TEMPO, 17 Maret 2021

 

 

                                                           

“Kita tunjukkan umat muslim Indonesia adalah muslim yang toleran dengan seluruh umat beragama.”

 

Pesan Ketua DPR-RI, Puan Maharani, tersebut cukup menarik. Apalagi dia sampaikan itu di Masjid Istiqlal, saat memberi sambutan pada acara Gerakan Nasional Mengisi Masjid dengan Satu Juta Sajadah, 11 Maret lalu, bahkan ditegaskan pula agar tidak hanya umat muslim yang dibolehkan datang ke masjid tersebut.

 

“Semua umat beragama harus boleh datang ke Istiqlal untuk melihat bahwa Indonesia mempunyai masjid indah dan terisi dengan kajian Islam yang moderat,” tegasnya.

 

Menjadikan masjid sebagai ruang “terbuka” bagi seluruh umat beragama, tentu menarik dikaji. Di satu sisi, ini tak lepas kaitannya dengan kedudukan masjid itu sendiri, serta kebutuhan menghadirkan Islam ramah di mana masjid menjadi centrum pembudayaan nilai-nilai beradab, pada sisi yang lain.

 

Tiga Pandangan

 

Tentang kedudukan masjid sebagai area suci, kita semua tentu sepakat. Masjid adalah baitulLah, rumah Tuhan, yang memang harus dijaga kesuciannya. Bahwa boleh tidaknya nonmuslim memasuki area suci tersebut, tak lepas dari berbagai pandangan berdasarkan dalil berikut:

 

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (Qs.9:28).

 

Terkait hal itu, ada tiga pandangan yang menjadi pegangan umat Muslim selama ini.

 

Pertama, pandangan yang melarang secara mutlak. Pandangan ini terutama dari kalangan madzhab Maliki dan sebagian kalangan madzhab Hambali. Lebih-lebih memasuki Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, seluruh masjid juga dilarang.

 

Selain dalil di atas, pandangan dari kalangan ini juga mendasarkan pada “perintah” supaya mengagungkan dan menyebut nama-Nya di rumah Allah (Qs.24:36). Sementara masuknya nonmuslim ke sana, telah dianggap, bertentangan dengan perintah tersebut. Dalil-dalil lain bersumber dari atsar para sahabat Nabi Saw.

 

Kedua, pandangan madzhab Hanafi yang justru sebaliknya, membolehkan secara mutlak. Tidak hanya masjid pada umumnya, bahkan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi juga diperbolehkan.

 

“Tidak ada di atas bumi ini bekas najis manusia, sesungguhnya najis manusia itu adanya di dalam diri mereka sendiri.” (Hr. Imam Bukhari).

 

Atas dasar itu, kalangan ini menafsirkan ayat tentang “najisnya orang musyrik” tersebut secara esensial sebagaimana pandangan Ibnu Abidin (w.1836 M), ulama terkemuka madzhab Hanafi.

 

Menurutnya, najisnya itu jika mereka masuk masjid dengan sikap sombong, bermaksud menguasai, dan atau bertelanjang seperti tradisi pada masa jahiliyah atau pra Islam. “Jika tidak, maka tidak ada larangan bagi mereka,” tegasnya.

 

Ketiga, pandangan yang membolehkan dengan “catatan”, atau ada syarat dan ketentuan yang diberlakukan, baik adab, kesantunan maupun soal pakaian. Pandangan yang dianut kalangan madzhab Syafi'i dan sebagian kalangan madzhab Hambali ini dinilai lebih moderat.

 

Pandangan tersebut mendasarkan pada pendapat Abu Abdullah Muhammad bin Idris as-Syafi'i al-Mutthalibi al-Qurasyi yang lebih masyhur dengan Imam Syafi'i (w.820 M). Menurutnya, “Tidak apa-apa orang musyrik masuk seluruh masjid, kecuali Masjidil Haram.”

 

Sekali lagi, pandangan yang ketiga itu dinilai lebih kompromistik, antara yang melarang secara mutlak, atau sebaliknya. Secara elaboratif, sebagaimana Abu Zakaria Muhyidin an-Nawawi, yang masyhur dengan Imam Nawawi (w.1277 M), menegaskan: “Orang kafir tidak diperbolehkan memasuki tanah haram Makkah dalam keadaan apapun, baik pada masjid maupun lainnya. Namun, bagi mereka, boleh memasuki masjid lainnya dengan izin orang Islam.”

 

Pandangan itulah yang banyak dianut kalangan Muslim di seluruh dunia, tanpa kecuali Indonesia.

 

Pesan Toleransi

 

Memasuki masjid dengan protokol khusus (ijin dan ketentuan berpakaian, misalnya), terutama bagi nonmuslim, selama ini telah berlaku. Bahkan tidak hanya di masjid Istiqlal.

 

Mungkin, jika masih ada, hanya beberapa masjid saja yang pengelolaannya memang eksklusif. Jangankan untuk nonmuslim, sesama Muslim pun malah dicurigai.

 

Di masjid Istiqlal sendiri sebenarnya tidak sedikit dari kalangan nonmuslim yang telah mengunjungi. Tercatat beberapa tokoh penting dunia, antara lain: Bill Clinton (1994), Pangeran Charles (2008), Barack dan Michelle Obama (2010), Angela Merkel dari Jerman (2012), Mike Pence Wapres USA saat itu (2017), juga Presiden Austria Heinz Fisher pada akhir 2017.

 

Dalam kapasitas tugas kenegaraan, tentu kunjungannya itu membawa dampak yang tak sederhana. Tidak hanya menyangkut penilaian tentang keberadaan masjid Istiqlal saja, namun berkaitan juga pandangan terhadap relasi keberagamaan di Indonesia pada umumnya. Karena, bagaimanapun, masjid Istiqlal telah menjadi simbol bagi bangsa Indonesia.

 

Masjid terbesar di Asia Tenggara dan Asia Timur itu, sebagaimana kita tahu, sejatinya membawa pesan toleransi yang sangat mendalam. Ini tak semata karena letaknya berdampingan dengan Gereja Katedral. Namun proses pembangunan masjid yang dimulai pada 1961 itu, desain arsitekturnya dibuat oleh seorang Nasrani, yaitu Frederich Silaban (w.1984). Dia juga yang mendesain Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) dan Monumen Nasional (Monas).

 

Yang menarik, sang arsitek itu mengerjakan tugasnya bukan karena ditunjuk oleh Presiden yang juga Ketua Dewan Juri Sayembara Maket Masjid Istiqlal saat itu. Tetapi dia mengikuti lomba yang diadakan secara terbuka, diikuti oleh banyak peserta baik perorangan maupun kelembagaan.

 

Motif apa lagi selain kesadaran toleransi yang telah nyata diteladankan arsitek Nasrani itu. Kesadaran yang menurut saya penting digelorakan saat ini di saat bangsa kita tengah mengalami defisit kerukunan dan persaudaraan kebangsaan.

 

Sadar atau tidak, kesadaran untuk menghargai setiap perbedaan primordial semakin luntur akhir-akhir ini, justru karena “toleransi” berlebihan kita terhadap berbagai kepentingan pragmatis memenuhi ambisi kekuasaan. Lebih parah lagi, ketika masjid sebagai area suci pun dieksploitasi sedemikian rupa untuk memenuhi berbagai kepentingan itu.

 

Masjid pada akhirnya tidak lagi dipahami sebagai rumah Tuhan di mana kerukunan, kedamaian dan persaudaraan disemaikan. Ia hanya ditampilkan sebagai tempat “kebenaran” milik sebagian golongan, di mana caci maki dan kebencian seakan diabsahkan atas nama Tuhan.

 

Saatnya kita, umat Muslim, mengembalikan fungsi masjid dengan benar. Selain sebagai tempat ibadah dalam arti sempit, yakni ibadah mahdlah, yang telah ditetapkan syarat rukunnya; juga ibadah dalam arti luas. Ibadah dalam makna substansial, sebagai wujud penghambaan dan penyerahan kehambaan kepada Tuhan.

 

Memuliakan sesama adalah ibadah sangat nyata. Inilah sebenarnya inti ajaran toleransi yang diajarkan Islam itu sendiri. Dari masjid kita harus memulainya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar