Selasa, 30 Maret 2021

 

Terorisme yang Bermain di Dua Kaki

 Sarie Febriane ;  Wartawan Kompas

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Pagi itu, 1 Februari 2019, langit Jakarta membentang biru cerah. Matahari menyeruak menyinari senyum anak-anak yang asyik berjoget senam pagi di lapangan luas sebuah panti sosial di Bambu Apus, Jakarta Timur. Salah satu anak di barisan terdepan asyik mengikuti gerakan instruktur senam. Kerudung hitam panjangnya terayun-ayun ketika tubuhnya bergoyang. Tujuh bulan sebelumnya, gadis kecil itu mendadak jadi yatim piatu ketika kedua orangtua dan dua kakaknya yang remaja meledakkan diri di Markas Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, 14 Mei 2018.

 

Sesekali senyum gadis kecil berusia delapan tahun itu tersungging saat mengikuti irama lagu. Pagi itu, sang instruktur senam menyetel lagu dari Ratih Purwasih berjudul ”Kau Tercipta Bukan Untukku” yang mengalun dalam irama dangdut. ”Dia mau joget seperti itu sudah suatu pencapaian luar biasa,” bisik salah seorang kakak pendamping di panti itu.

 

Di panti sosial tersebut, sang gadis kecil menjalani program rehabilitasi bersama anak-anak lain dengan beragam latar belakang masalah, selain terorisme. Seorang psikolog secara khusus membantunya menjalani terapi, terutama untuk mengatasi trauma berat yang dialami si gadis kecil. Bagaimana tidak, ia kehilangan keluarganya secara tragis di depan matanya sendiri. Dirinya selamat dari ledakan itu ketika seorang polisi dengan cukup nekat membopong tubuhnya keluar dari titik ledakan.

 

Selama tujuh bulan pertama di panti itu, kemajuan pada si gadis kecil cukup signifikan. Sebelumnya, akibat indoktrinasi kedua orangtuanya, si gadis meyakini bahwa musik adalah sesuatu yang haram, apalagi berjoget-joget mengikuti alunan musik. Tak hanya itu, ia juga sempat menolak berkawan campur dengan teman-teman lainnya di panti, apalagi yang berbeda agama. Ia bahkan juga menolak memakan ayam yang tidak ia ketahui bagaimana disembelihnya. Namun, setelah tujuh bulan menjalani terapi, ketika itu, saat ditanya apa makanan favoritnya, dengan malu-malu ia menjawab, ”ayam goreng”. Apalagi ayam goreng dari suatu restoran waralaba terkenal asal ”Negeri Paman Sam” yang berlogo kakek-kakek itu.

 

Proses melunakkan "ideologi" yang telanjur terbentuk kuat di kepala si gadis kecil tentulah tak mudah. Terlebih lagi ia sosok yang amat pendiam dan tertutup. Perlahan terkuak dari pengakuannya kepada psikolog pendamping, proses indoktrinasi dari kedua orang tuanya cukup intens. Ia hidup dalam isolasi keluarga yang amat ketat, tak boleh berbaur dengan anak-anak lain. Kedua orangtuanya secara intensif terus-menerus mencekokinya dengan ajaran-ajaran ekstrem, menciptakan imaji perjuangan suci yang sedang mereka jalani sekeluarga.

 

Di garis depan

 

Potret radikalisasi atau ekstremisme di keluarga seperti yang dialami dalam kasus Bom Surabaya di atas boleh dibilang secara dramatik menandai gejala kemunculan sel keluarga dalam peta gerakan terorisme di Indonesia belakangan ini. Disebut "sel keluarga" dalam hal ini yakni ketika lingkup satu keluarga berperan langsung di garis depan serangan teror. Seperti juga yang terjadi dalam peristiwa bom di gereja di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). Pelaku bisa disebut sel keluarga, yakni sepasang suami istri yang baru menikah.

 

Ketika sel teror yang bermain di garis depan aksi berupa keluarga, manajemen persiapan serangan menjadi lebih mudah dan tak perlu sering-sering menggunakan perangkat telekomunikasi yang berisiko disadap polisi.

 

Feomena keterlibatan keluarga sendiri sebenarnya juga bukan sesuatu yang benar-benar baru. Kristalisasi paham ekstremisme di lingkup keluarga sudah terjadi sejak era Jamaah Islamiyah di masa lampau, yakni ketika kerap terjadi kawin-mawin di antara anggota jejaring. Hanya saja, peran keluarga inti tidak benar-benar aktif di garis depan serangan teror. Keluarga, seperti pihak istri, misalnya, kalau toh terlibat, sebatas di lini belakang secara tak langsung.

 

Kemudian di era Negara Islam  di Irak dan Suriah (NIIS), gambaran peran keluarga  juga kuat ketika banyak keluarga yang ”hijrah” ke Suriah untuk bergabung dengan NIIS. Kini, ketika pamor NIIS meredup, gejala sel keluarga tersebut mewujud untuk proyek serangan teror di dalam negeri.

 

Organisasi-organisasi teror boleh saja sudah lewat masanya akibat dihabisi. Namun, residu ideologi ekstrem (atau biasanya disebut radikal) tak berarti ikut habis begitu saja. Laporan IPAC yang dirilis 21 Januari 2021 sebenarnya telah cukup terang memberi isyarat. Laporan itu berjudul ”The Decline of ISIS in Indonesia and The Emergence of New Cells”, memaparkan berbagai kelompok-kelompok dalam gerakan esktrem, juga yang saling-silang (crossover) di antara mereka, termasuk yang beririsan dengan ormas.

 

Laporan tersebut juga menyorot pentingnya tetap mewaspadai sel-sel yang dormant alias tidur. Meskipun tidak secara khusus mengulas gejala sel keluarga, salah satu kesimpulan laporan menggarisbawahi pentingnya aparat menyimak dan mengikuti perkembangan ceramah-ceramah (agama) ataupun webinar di kalangan masyarakat. Kegiatan-kegiatan semacam itu yang juga jamak diikuti oleh keluarga-keluarga.

 

Ansyaad Mbai, pemerhati terorisme yang juga mantan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga mengamini gejala sel keluarga tersebut. Internalisasi doktrin pro-ekstremisme justru solid ketika mewujud di level keluarga sepenuhnya. Imaji tentang surga yang bisa dicapai oleh seluruh anggota keluarga—lewat aksi jihad bersama—menjadi gambaran kebahagiaan yang sempurna.

 

Di level elite

 

Walaupun begitu, Ansyaad mengingatkan juga, bagaimanapun potret keluarga yang terjerat paham ekstrem demikian sejatinya mereka adalah korban. Mereka menjadi korban dari penyesatan dalam memahami ajaran agama. Di sinilah ia menyoroti pentingnya negara atau pemerintah memberikan perhatian yang lebih penuh pada pihak-pihak di level elite yang berperan dalam menyebarkan, mendukung, ataupun bersimpati pada pemahaman-pemahaman ekstrem tersebut.  Pihak-pihak di level elite yang ia maksud itu, termasuk di lingkup parpol ataupun ormas.

 

Berbeda dengan mereka yang bermain kotor di lapangan bergumul dengan bahan peledak dan bom, pihak-pihak di level elite yang berpengaruh dalam mematangkan narasi pro-ekstremisme ini ”bermain tangan bersih”. Dalam artian, secara sadar tidak menceburkan diri dalam kegiatan yang semata-mata mudah dijerat secara pidana.

 

Secara singkat, Ansyaad menyimpulkan, gerakan ekstremisme saat ini bermain di dua kaki. Keduanya yaitu jalan kekerasan, yakni terorisme, dan jalan politis lewat seruan atau narasi yang pro-ekstremisme. Ia menyebut contoh seperti gerakan politik yang digelorakan kelompok 212, yang menjadi bagian dari dinamika politik praktis sejak beberapa tahun lalu.

 

Menurut Ansyaad, narasi turunan pro-ekstremisme yang mudah dideteksi paling tidak ada empat parameter, yakni narasi khilafah, konsep hukum Tuhan, takfiri atau pengafiran, jihad (dalam arti kekerasan), serta ”hijrah”—yang dahulu dimaksudkan pergi ke Suriah bergabung dengan NIIS.

 

Narasi-narasi turunan itulah yang tak hanya kerap dikobarkan oleh pihak-pihak di level elite, tetapi juga menyusup hingga ke dalam berbagai kelompok-kelompok kecil kajian keagamaan  yang berhaluan puritanisme, yang jamak diikuti keluarga-keluarga. Apalagi di tengah tren ”hijrah” di keluarga muda di kawasan urban saat ini.

 

Tanpa mengatasi diseminasi ideologi pro-ekstremisme oleh pihak-pihak elite tersebut, sel-sel keluarga bisa terus bermunculan. Awalnya sekadar teradikalisasi sekeluarga, lama-lama sekeluarga bermain di garis depan aksi teror. Di level keluarga inilah instrumentalisasi agama dalam  gerakan terorisme menjadi lebih solid.

 

Lantas bagaimana bisa dalam negara yang mengusung demokrasi, narasi demikian bisa dihadang? Konsep kebebasan dalam demokrasi, menurut Ansyaad, memang menemui ujian krusial. Gerakan ekstremisme, termasuk yang mengusung jalan teror, selama ini justru sukses berkembang biak di suatu negeri dengan memanfaatkan iklim demokrasi yang memberi pengakuan universal yang setara akan eksistensi semua manusia dengan latar belakang apa pun.

 

Sementara, bagi kelompok ekstrem demokrasi itu sendiri serupa jalan setan, yang tak dikehendaki Tuhan. Ansyaad berargumen, apakah adil membiarkan diseminasi narasi pro-ekstremisme yang ternyata terbukti berakibat pada terampasnya kemanusiaan dan terancamnya koeksistensi sesama manusia?

 

Tuntutan atas martabat

 

Francis Fukuyama dalam bukunya, Identity: The Demand for Dignity and The Politics of Resentment (2018), mengulas soal bagaimana pengakuan universal dalam konsep demokrasi (liberal) saat ini memang sedang ditantang oleh bentuk pengakuan yang lebih sempit berdasarkan, misalnya, ras, agama, sekte, etnis, yang mengakibatkan populisme anti-imigran hingga kebangkitan Islam yang terpolitisasi.

 

Fukuyama bertolak dari pemikiran bahwa manusia tak melulu termotivasi oleh kebutuhan rasional (ekonomi) dan keinginan atau hasrat (desire) semata, tetapi juga oleh thymos, yakni bagian ketiga (setelah akal/rasio dan desire) dari jiwa yang mendamba pengakuan dan penghormatan atas martabatnya. Konsep itu merujuk pada pemikiran dalam karya Plato, Republic, yang memuat dialog  antara filsuf Socrates dengan dua aristokrat muda Athena, Adeimantus dan Glaucon, tentang kondisi kota yang adil.

 

Yang dimaksud dengan thymos itu sendiri kemudian mewujud menjadi dua, yakni isothymia dan megalothymia. Isothymia yakni ketika orang ingin diakui setara dengan manusia lainnya. Sementara megalothymia justru sebaliknya, ingin diakui lebih superior dibandingkan (kelompok) manusia lainnya. Di situlah Fukuyama menyatakan, thymos adalah pusat dari politik identitas masa sekarang. Dan di situlah pula terjadi kontestasi yang sengit antara isothymia dan megalothymia.

 

Dalam kaitannya memahami fenomena ekstremisme di tengah kaum Muslimin, Fukuyama membedah pandangan dua pemikir yang saling beradu argumen, yakni sarjana Timur Tengah dari Perancis, Oliver Roy, dan cendekiawan Islam dari Perancis, Gilles Kepel.

 

Menurut Roy, yang terjadi dalam fenomena terorisme saat ini bukanlah radikalisme Islam, melainkan Islamisasi radikalisme, yang mana anak-anak muda yang terlibat di dalamnya mendapatkan komunitas, penerimaan dan martabat. Menurut dia, motif di balik terorisme jihadis lebih pribadi dan bersifat psikologis daripada agama. Pandangan Roy akan jihadisme kontemporer yang meremehkan dimensi religius itu yang lalu dikritik oleh Kepel.

 

Menurut Kepel, peralihan ke jalan kekerasan dan ekstremisme itu tidak dapat dipahami terpisah dari doktrin agama yang dikumandangkan ke seluruh dunia dan khususnya paham ultrakonservatif yang diekspor Arab Saudi. Fukuyama lantas mengajukan salah satu pertanyaan penting berdasarkan perdebatan tersebut, yakni apakah kebangkitan radikalisme Islam lebih baik dipahami sebagai masalah identitas atau pada dasarnya murni merupakan fenomena religius?

 

Menurut Fukuyama, pandangan kedua cendekia tersebut bisa saling melengkapi. Baginya, baik fenomena nasionalisme (sempit) maupun islamisme dapat dilihat sebagai jenis politik identitas. Kedua fenomena itu memiliki kesamaan, salah satunya menuntut pengakuan martabat dengan cara yang terbatas: tidak untuk semua manusia, tetapi untuk anggota kelompok nasional atau agama tertentu.

 

Oleh karena itu, tak mengherankan kita menyaksikan soal menguatnya gejala "permainan di dua kaki” yang dicermati oleh Ansyaad Mbai tadi. Instrumentalisasi agama dalam permainan politik identitas saat ini tak malu-malu lagi untuk mewajah dalam dua outlet, yaitu melalui jalan kekerasan, yakni terorisme, dan jalan politis lewat retorika narasi pro-ekstremisme di elite parpol dan ormas.

 

Siapa yang menjadi korbannya? Tak hanya orang-orang tak berdosa yang tewas dalam serangan teror, tetapi juga si gadis kecil tadi yang mendadak harus menjadi sebatang kara. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar