Pudarnya
Peran Intelektual Pembela Masyarakat Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga |
KOMPAS,
15 Maret
2021
Mendiskusikan peran sosial intelektual di
Indonesia pasca-otoritarianisme ibarat menceritakan kisah tragedi tak
berkesudahan. Disebut tragedi, karena dalam kisah peran sosial intelektual,
kita menyaksikan gambaran pahit ketundukan pengetahuan berhadapan dengan
tebalnya dinding kekuasaan dan ketidakberdayaan ilmu jadi suluh bagi
pemenuhan kebaikan publik. Apalagi semua itu bermula dari harapan tumbuh
berseminya budaya demokrasi dan suara kritis di masyarakat sipil. Salah satu rumah terpenting bagi kalangan
intelektual adalah universitas. Saat ini tendensi utama aktivitas keseharian
kalangan cendekia di kampus terbagi atas dua hal. Pertama, menyelami karier
birokratik dan membantu memperkuat kuasa negara dengan menghubungkan diri
dalam lingkaran politik di dalamnya. Kedua, kecenderungan terbaru,
terintegrasinya universitas dalam semesta kosmopolitanisme pendidikan global.
Fenomena yang menyertainya, kian banyak insan akademik menulis karya-karya
akademik dalam komunitas internasional yang terdistribusi di antara mereka
saja. Konsekuensi dari dua kecenderungan itu
adalah berkurangnya advokasi pengetahuan pada ranah kuasa masyarakat sipil.
Tepat di wilayah inilah peran sosial intelektual sangat dibutuhkan. Beberapa waktu terakhir kita menyaksikan
kembalinya dunia intelektual tercoreng oleh kontroversi yang menandai
melemahnya integritas dari pilar penjaga akal sehat republik ini. Hal ini
terkait kontroversi atas indikasi plagiasi yang dilakukan para petinggi
kampus. Selanjutnya peristiwa pemberian gelar
publik terhormat doctor honoris causa oleh pihak kampus kepada petinggi
kekuasaan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan sumbangan kemanusiaan luar
biasa yang diberikan para penerima gelar itu bagi kemanusiaan. Suatu
prasyarat etik yang jadi syarat utama pemberian gelar itu. Intelektual
dan kekuasaan Kedua kasus itu, baik dugaan plagiasi oleh
elite kampus maupun pemberian gelar doctor honoris causa, adalah problem
etika publik yang merupakan lapisan gunung es dari problem struktural terkait
pertalian antara kecendekiaan dan kekuasaan di Indonesia. Pada 2010 di Manila, Filipina, mendiang
Benedict R’OG Anderson melontarkan orasi tajam soal problem intelektual-
akademisi di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Ben Anderson, akibat
warisan buruk pengapnya tatanan otoritarianisme di Asia Tenggara—termasuk
Indonesia—menjadikan orientasi utama dari kiprah kaum akademisi adalah meniti
karier birokrasi untuk meninggikan status sosial, kemakmuran, dan kekuasaan. Dan itu membutuhkan restu dari negara
ataupun membangun aliansi dengan elite politik. Relasi struktural itu menjadi
pedoman utama bagi kalangan intelektual menjalankan peran-peran sosialnya. Akibat tendensi utama aktivitas kaum
cendekia itu, maka ruang publik—termasuk dalam ranah virtual—kehilangan
sumbangan intelektual yang dapat membantu warga mengartikulasikan pembelaan
kritis atas pelumpuhan hidupnya oleh kekuasaan. Sementara itu, laporan Freedom House yang
menempatkan Indonesia dalam kategori demokrasi mengambang (flawed democracy)
membuktikan tumpulnya kuasa pengetahuan memajukan demokrasi kita. Hilangnya peran kaum intelektual publik
bukan berarti tidak ada suara-suara intelektual yang mewarnai berita-berita
di media massa. Namun seperti diutarakan Ben Anderson, sebagian besar
gelombang argumentasi intelektual kita bias artikulasi kepentingan elite
oligarki daripada perwujudan nalar publik. Selain problem laten silang sengkarutnya
relasi intelektual dan kekuasaan, dunia akademik kita juga menghadapi
persoalan yang tak bermuara pada masalah etik dan moral sosial. Persoalan ini
berangkat dari perubahan orientasi kelembagaan di pendidikan tinggi untuk
mengejar world class university. Kebijakan yang sebetulnya memiliki orientasi
meninggikan kualitas dari kalangan akademisi di ruang akademik dunia. Dimensi positifnya, kebijakan ini membantu
kalangan intelektual Indonesia keluar dari mentalitas insuler, mentalitas
seperti katak dalam tempurung yang minim wawasan internasional. Namun,
seperti setiap tindakan agensi menghasilkan konsekuensi yang tak dibayangkan. Situasi dalam dunia pendidikan saat ini
mengingatkan pada keresahan yang mulai digemakan oleh kalangan intelektual
publik di AS pada paruh akhir abad ke-20: dunia kampus dan produksi
karya-karyanya hanya berkomunikasi di antara kalangan akademisi itu sendiri. Dengan berseloroh, intelektual AS, Lynne
Cheney, menyindir getir bahwa tak masalah apabila tulisan jurnal kita hanya
dibaca oleh segelintir akademisi dan orangtua kita, selama itu memenuhi
kriteria universitas untuk meraih gelar profesor. Masyarakat
harus dibela Ada hal yang hilang, seperti diingatkan C
Wright Mills (1963) dalam On Knowledge and Power. Kalangan intelektual,
khususnya kalangan kampus, berhenti menjadi penjaga kesadaran moral-etik
masyarakatnya (moral-ethic conscience of society) ketika mereka mengabdi pada
kekuasaan atau sibuk mereproduksi pengetahuan di kalangan akademisi saja. Padahal, bukankah para kalangan akademisi
sendiri berutang besar terhadap kalangan masyarakat secara luas? Utang itu
adalah berbagai pertanyaan fundamental yang akademisi rumuskan sebagai sumber
penelitian, semuanya berakar dari persoalan-persoalan yang tumbuh di
masyarakat. Momen saat ini mengingatkan kita pada
sebuah judul kuliah dari Michel Foucault tahun 1975-1976 di College de
France, Society Must Be Defended (Masyarakat Harus Dibela). Peran intelektual
dibutuhkan untuk membongkar berbagai operasi kuasa dan narasi yang bekerja
dalam sistem sosial yang bercorak mendominasi, mengeksklusi, dan meminggirkan
mereka yang lemah. Peran kepublikan dari intelektual adalah
memberikan sumbangan pengetahuan kritis bagi warga negara yang butuh
orientasi perluasan khalayak publik yang lebih luas di luar bangku
universitas. Lebih dari itu, keberpihakan untuk
memberikan advokasi dan pemajuan pengetahuan atas perjuangan subyek-subyek
kewargaan yang selama ini terpinggirkan dari proses politik kekuasaan
semestinya menjadi orientasi utama perjuangannya. Saya mengenang figur pendiri FISIP
Universitas Airlangga, Profesor Soetandyo Wignyosoebroto. Sekitar 2008, tak
lama setelah pulang dari konferensi internasional, bersama koleganya
akademisi muda Herlambang Perdana Wiratraman dan Joeni Arianto, ia
mengunjungi pengungsi korban kasus Lumpur Lapindo di Pasar Porong Sidoarjo. Mereka memberikan kesadaran hukum kritis
kepada warga untuk menghadapi tembok besar kekuasaan. Itulah contoh nyata
yang berjalan, tentang aksi intelektual publik yang kita semua butuhkan, dan
untuk itulah tujuan pendidikan menciptakan sosok intelektual. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar