Herman
Lantang: Politikus Kampus dan Saksi Kematian Gie di Semeru Petrik Matanasi ; Wartawan Tirto |
TIRTO,
23 Maret
2021
Herman Onesimus Lantang lahir pada 2 Juli
1940 di Tomohon, Sulawesi Utara. Menurut salah seorang kawannya, Soe Hok Gie,
ayah Herman mantan serdadu KNIL. Waktu kecil, ia sekolah di Europe Lager
School (ELS). Menjelang Perang Dunia II, di kota kelahirannya sekolah warisan
kolonial itu masih ada, termasuk yang di bawah Gereja Masehi Injili di
Minahasa (GMIM). Tak heran jika orang Minahasa sejak lama sangat peduli pada
pendidikan. Kemampuan Herman dalam berbahasa Belanda belakangan membuat
terpana kawan-kawannya. Sejak 1957 Herman bersekolah di SMA 1 Budi
Utomo, Jakarta. Saat Permesta pecah di Sulawesi Utara, ia tak bisa jadi
kombatan seperti Jopie Lasut, kawannya. Maka itu, Herman bisa lulus SMA dan
masuk Universitas Indonesia (UI) Jurusan Antropologi pada 1960. Di Fakultas Sastra UI, Herman berkenalan
dengan Soe Hok Gie. Mereka biasa naik gunung dan tergabung dalam Mahasiswa
Pecinta Alam (Mapala) Prajnaparamita Universitas Indonesia, yang ikut
didirikannya pada 1964. Nomor urut Gie 7 dan Herman 16. Jelang peristiwa
G30S, Herman menjadi Ketua Senat Mahasiswa Sastra UI, padahal organisasi
mahasiswa dalam kampus kala itu dikuasai oleh organisasi mahasiswa yang
terkait dengan partai politik. “Bayangkan saja, pada masa organisasi
ekstra menguasai kehidupan mahasiswa, Herman bisa menang mutlak,” tulis Rudy
Badil dalam Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2010:191). Herman bukan anggota Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Bukan pula anggota Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Naiknya Herman sebagai
ketua senat, menurut Badil, adalah gagasan dari Soe Hok Gie dan Parsudi
Suparlan. Herman mengaku, ketika dia memimpin senat, Gie menjadi think
thank-nya. Kala itu, organisasi ekstra kerap
menekankan perpolitikan ke dalam kampus. Maka itu, Gie dan Herman membuat
kelompok tandingan, yakni penggemar mendaki gunung. Menurut Badil,
pengikutnya cukup banyak. Saat masih menjadi ketua senat, sekitar
bulan Januari 1966, datang surat dari Menteri Koordinator Pendidikan dan
Kebudayaan Profesor Prijono, yang isinya meminta agar Fakultas Sastra UI mengirimkan
20 orang mahasiswi untuk menonton wayang di Istana. Herman dan Gie amat
tersinggung atas undangan tersebut karena Fakultas Sastra UI seolah
"tempat supply wanita” untuk istana. “Herman rupa-rupanya sangat tersinggung
dengan cara ini. Dia katakan padaku bahwa apapun yang terjadi tidak akan
menggunakan 'wewenangnya' untuk memenuhi permintaan ini,” tulis Gie dalam
Catatan Seorang Demonstran (1983:162). Herman tidak takut dengan langkahnya itu.
Dan para mahasiswi yang diundang pun akhirnya tidak ada yang mau datang.
Menteri marah, namun saat dipanggil, dia dan Soe Hok Gie tengah berada di
tempat lain. Akhirnya kawan perempuan mereka yang datang menemui menteri dan
dimarahi. Kawannya itu memberikan alasan bahwa saat itu bulan puasa hingga
tak ada yang bisa hadir. Mendaki
Semeru Herman menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra
UI hingga 1966, tahun ketika kekuasaan Presiden Sukarno mulai melemah. Tahun
berikutnya, Herman berada di Lembah Baliem, Irian Jaya (sekarang Papua),
selama sektiar dua tahun dalam rangka penelitian skripsinya. Kala itu, Soe
Hok Gie, seperti dicatat Tempo (10/10/2016), pernah berkirim surat kepadanya.
Tahun 1969, Herman Lantang kembali ke Jakarta. Pada Desember tahun tersebut,
Herman, Gie, dan kawan-kawannya yang lain mendaki Gunung Semeru. Soe Hok Gie dan Aristides Katoppo sempat
membaca buku kecil milik Herman soal pendakian Gunung Semeru, yang berjudul
Gids voor Bertochten op Java (1930) karangan Dr Stehn. “Menurut Herman
Lantang, saat itu dia juga membekali tim dengan buku tambahan Bergenweelde
(1928) karangan CW Wormster,” ungkap Rudi Badil. Peta lawas dari buku berbahasa Belanda
tersebut jadi acuan. Sore hari, biasanya tim pendaki Semeru itu berkumpul dan
mendengar “kuliah” Herman serta Aristides yang kadang menyelipkan kata-kata
dalam bahasa Belanda. Seiring waktu, mereka pun akhirnya berangkat ke Jawa
Timur. Dalam perjalanan, seperti dicatat Rudi
Badil dalam dalam Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2010:13), tim sempat terpecah
menjadi dua, yakni kelompok Soe Hok Gie dan kelompok Herman Lantang. Gie
disebut Cina Kecil dan Herman disebut Jenderal Batu. Mereka sempat berkemah
di Ranu Kumbolo. Sehari sebelum hari ulang tahun Gie yang
jatuh pada 16 Desember 1969, puncak Mahameru sudah mereka capai. Namun, hari
itu nahas bagi Gie dan Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis. Mereka menghirup
gas beracun. Idhan dan Gie kala itu bersama Freddy Lasut dan Herman Lantang.
Keduanya kemudian turun ke perkemahan untuk memberi tahu kawan-kawannya yang
lain. “Hok Gie dan Idhan so (sudah) meninggal.
Mereka tiba-tiba kejang-kejang dan kemudian tidak bergerak,” kata Herman
seperti diingat Rudi Badil. Anggota tim kaget. Mulanya mereka berharap Herman
sedang ngaco. Kemudian tim berbagi tugas, yang turun untuk melapor soal Gie
dan Idhan adalah Aristides dan Wijana alias Wiwiek, sementara yang lainnya
menjaga Maman yang tengah sakit. Herman menurunkan jenazah Gie dan Idhan ke
Recopodo. Saat itu, Rudi Badil mencium bau tak sedap dari Herman, lalu
menyuruhnya membuka celana. Herman pun melepas celana gaul zaman itu, merek
Lee, yang ternyata milik Gie. Ada luka bernanah pada pantat Herman. Obat
serbuk sulfanilamit pun diberikan kepadanya. Ketika menunggu bantuan dari bawah untuk
menggotong Gie dan Idhan, seingat Rudi, Herman kerap berdoa. Mereka yakin
bantuan yang diusahakan Wiwiek dan Aristides akan datang. Setelah empat hari,
bantuan dari orang kampung yang dipimpin Mulyadi--guru SD di Gubug
Klakah--akhirnya datang. Namun jenazah Gie dan Idhan tak bisa segera
diturunkan. Berhari-hari kemudian barulah jenazah Gie dan Idhan akhirnya bisa
turun. Setelah masa-masa itu, Herman Lantang
kemudian bekerja di perusahaan pengeboran minyak asing. Di masa tuanya,
kerabat mantan Gubernur Jakarta Henk Ngantung ini masih terus mendekatkan
diri dengan alam. Dia mengelola tempat perkemahan Herman Lantang Camp di
Bogor. Herman Lantang akhirnya menyusul Soe Hok Gie dan Idhan Loebis pada
Senin, 22 Maret 2021. ● |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar