Jumat, 26 Maret 2021

 

Herman Lantang: Politikus Kampus dan Saksi Kematian Gie di Semeru

 Petrik Matanasi ;  Wartawan Tirto

                                                          TIRTO, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Herman Onesimus Lantang lahir pada 2 Juli 1940 di Tomohon, Sulawesi Utara. Menurut salah seorang kawannya, Soe Hok Gie, ayah Herman mantan serdadu KNIL. Waktu kecil, ia sekolah di Europe Lager School (ELS). Menjelang Perang Dunia II, di kota kelahirannya sekolah warisan kolonial itu masih ada, termasuk yang di bawah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Tak heran jika orang Minahasa sejak lama sangat peduli pada pendidikan. Kemampuan Herman dalam berbahasa Belanda belakangan membuat terpana kawan-kawannya.

 

Sejak 1957 Herman bersekolah di SMA 1 Budi Utomo, Jakarta. Saat Permesta pecah di Sulawesi Utara, ia tak bisa jadi kombatan seperti Jopie Lasut, kawannya. Maka itu, Herman bisa lulus SMA dan masuk Universitas Indonesia (UI) Jurusan Antropologi pada 1960.

 

Di Fakultas Sastra UI, Herman berkenalan dengan Soe Hok Gie. Mereka biasa naik gunung dan tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Prajnaparamita Universitas Indonesia, yang ikut didirikannya pada 1964. Nomor urut Gie 7 dan Herman 16. Jelang peristiwa G30S, Herman menjadi Ketua Senat Mahasiswa Sastra UI, padahal organisasi mahasiswa dalam kampus kala itu dikuasai oleh organisasi mahasiswa yang terkait dengan partai politik.

 

“Bayangkan saja, pada masa organisasi ekstra menguasai kehidupan mahasiswa, Herman bisa menang mutlak,” tulis Rudy Badil dalam Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2010:191).

 

Herman bukan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bukan pula anggota Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Naiknya Herman sebagai ketua senat, menurut Badil, adalah gagasan dari Soe Hok Gie dan Parsudi Suparlan. Herman mengaku, ketika dia memimpin senat, Gie menjadi think thank-nya.

 

Kala itu, organisasi ekstra kerap menekankan perpolitikan ke dalam kampus. Maka itu, Gie dan Herman membuat kelompok tandingan, yakni penggemar mendaki gunung. Menurut Badil, pengikutnya cukup banyak.

 

Saat masih menjadi ketua senat, sekitar bulan Januari 1966, datang surat dari Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Prijono, yang isinya meminta agar Fakultas Sastra UI mengirimkan 20 orang mahasiswi untuk menonton wayang di Istana. Herman dan Gie amat tersinggung atas undangan tersebut karena Fakultas Sastra UI seolah "tempat supply wanita” untuk istana.

 

“Herman rupa-rupanya sangat tersinggung dengan cara ini. Dia katakan padaku bahwa apapun yang terjadi tidak akan menggunakan 'wewenangnya' untuk memenuhi permintaan ini,” tulis Gie dalam Catatan Seorang Demonstran (1983:162).

 

Herman tidak takut dengan langkahnya itu. Dan para mahasiswi yang diundang pun akhirnya tidak ada yang mau datang. Menteri marah, namun saat dipanggil, dia dan Soe Hok Gie tengah berada di tempat lain. Akhirnya kawan perempuan mereka yang datang menemui menteri dan dimarahi. Kawannya itu memberikan alasan bahwa saat itu bulan puasa hingga tak ada yang bisa hadir.

 

Mendaki Semeru

 

Herman menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra UI hingga 1966, tahun ketika kekuasaan Presiden Sukarno mulai melemah. Tahun berikutnya, Herman berada di Lembah Baliem, Irian Jaya (sekarang Papua), selama sektiar dua tahun dalam rangka penelitian skripsinya. Kala itu, Soe Hok Gie, seperti dicatat Tempo (10/10/2016), pernah berkirim surat kepadanya. Tahun 1969, Herman Lantang kembali ke Jakarta. Pada Desember tahun tersebut, Herman, Gie, dan kawan-kawannya yang lain mendaki Gunung Semeru.

 

Soe Hok Gie dan Aristides Katoppo sempat membaca buku kecil milik Herman soal pendakian Gunung Semeru, yang berjudul Gids voor Bertochten op Java (1930) karangan Dr Stehn. “Menurut Herman Lantang, saat itu dia juga membekali tim dengan buku tambahan Bergenweelde (1928) karangan CW Wormster,” ungkap Rudi Badil.

 

Peta lawas dari buku berbahasa Belanda tersebut jadi acuan. Sore hari, biasanya tim pendaki Semeru itu berkumpul dan mendengar “kuliah” Herman serta Aristides yang kadang menyelipkan kata-kata dalam bahasa Belanda. Seiring waktu, mereka pun akhirnya berangkat ke Jawa Timur.

 

Dalam perjalanan, seperti dicatat Rudi Badil dalam dalam Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2010:13), tim sempat terpecah menjadi dua, yakni kelompok Soe Hok Gie dan kelompok Herman Lantang. Gie disebut Cina Kecil dan Herman disebut Jenderal Batu. Mereka sempat berkemah di Ranu Kumbolo.

 

Sehari sebelum hari ulang tahun Gie yang jatuh pada 16 Desember 1969, puncak Mahameru sudah mereka capai. Namun, hari itu nahas bagi Gie dan Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis. Mereka menghirup gas beracun. Idhan dan Gie kala itu bersama Freddy Lasut dan Herman Lantang. Keduanya kemudian turun ke perkemahan untuk memberi tahu kawan-kawannya yang lain.

 

“Hok Gie dan Idhan so (sudah) meninggal. Mereka tiba-tiba kejang-kejang dan kemudian tidak bergerak,” kata Herman seperti diingat Rudi Badil. Anggota tim kaget. Mulanya mereka berharap Herman sedang ngaco. Kemudian tim berbagi tugas, yang turun untuk melapor soal Gie dan Idhan adalah Aristides dan Wijana alias Wiwiek, sementara yang lainnya menjaga Maman yang tengah sakit.

 

Herman menurunkan jenazah Gie dan Idhan ke Recopodo. Saat itu, Rudi Badil mencium bau tak sedap dari Herman, lalu menyuruhnya membuka celana. Herman pun melepas celana gaul zaman itu, merek Lee, yang ternyata milik Gie. Ada luka bernanah pada pantat Herman. Obat serbuk sulfanilamit pun diberikan kepadanya.

 

Ketika menunggu bantuan dari bawah untuk menggotong Gie dan Idhan, seingat Rudi, Herman kerap berdoa. Mereka yakin bantuan yang diusahakan Wiwiek dan Aristides akan datang. Setelah empat hari, bantuan dari orang kampung yang dipimpin Mulyadi--guru SD di Gubug Klakah--akhirnya datang. Namun jenazah Gie dan Idhan tak bisa segera diturunkan. Berhari-hari kemudian barulah jenazah Gie dan Idhan akhirnya bisa turun.

 

Setelah masa-masa itu, Herman Lantang kemudian bekerja di perusahaan pengeboran minyak asing. Di masa tuanya, kerabat mantan Gubernur Jakarta Henk Ngantung ini masih terus mendekatkan diri dengan alam. Dia mengelola tempat perkemahan Herman Lantang Camp di Bogor. Herman Lantang akhirnya menyusul Soe Hok Gie dan Idhan Loebis pada Senin, 22 Maret 2021. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar