Sastra
Hijau Sastra Berpihak Ranang Aji SP ; Penulis fiksi dan nonfiksi. Esainya Sepotong Senja untuk
Pacarku: Antara Sastra Modern-Pascamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya
menjadi nomine dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 Badan Bahasa |
KOMPAS,
30 Maret
2021
Pada tahun 1962, di bulan Juni, The New
Yorker mulai menerbitkan tulisan secara serial dari buku berjudul Silent
Spring karya Rachel Carson. Buku ini menyuarakan ketertindasan alam dari kaum
kapitalis yang mengeksploitasi alam. Terutama berkenaan penggunaan pestisida
berlebihan yang digunakan untuk sasaran hama di Amerika. Penggunaan pestisida itu berakibat pada
kerusakan ekosistem dan hancurnya ekologi. Banyak burung didapati mati atau
menghilang, mata rantai ekosistem terputus, dan manusia sendiri terdampak
kanker. Buku itu selanjutnya memberikan pengaruh besar terhadap regulasi di
Amerika. Beberapa negara bagian kemudian melarang penggunaan bahan kimia
tertenu untuk melindungi alam dari kehancuran. Silent Spring akhirnya juga memengaruhi
gerakan literasi hijau yang berwawasan lingkungan hidup. Di tahun 1992, di
Amerika kemudian berdiri sebuah lembaga yang bergerak pada literasi yang
mencakup isu lingkungan, Association for the Study of Literature and
Environment (ASLE). Cheryll Glotfelty dan Michael P Branch adalah tokoh
pertama dan utamanya. ASLE kemudian mempromosikan setiap karya baik
humaniora, sastra, seni, dan lainnya yang mengangkat isu lingkungan hidup. Gerakan ini juga kemudian mempromosikan
sastra hijau di dunia. Sebuah gerakan sadar lingkungan yang disuarakan
melalui sastra hijau atau environment literature. Melalui ekokritisisme,
sebuah metode kritis yang menelisik sastra dan lingkungan, kemudian mencoba
merangsang tumbuhnya minat para pengarang untuk peduli terhadap lingkungan
hidup melalui karya mereka. Hanya saja, sastra hijau bukan semata
sastra yang bercorak romantisisme yang sekadar memuja keindahan. Namun,
sastra hijau menuntut lebih dari sekadar pemujaan terhadap senja (misalnya).
Jenis apokaliptis dan precautionary tale dipandang memiliki efektivitas
fungsi dari tujuan yang hendak dicapai. Dalam gerakan ini, ASLE meyakini
bahwa sastra, baik puisi atau prosa dinilai memiliki suara yang mampu membawa
kesadaran karena bersifat lembut dan imajinatif. Sayangnya di Indonesia sendiri, di mana
kondisi kerusakan lingkungan sudah dinilai sangat parah, belum banyak media
dan pengarang yang berpihak pada isu lingkungan. Dalam catatan riset Prof
Novita Dewi dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (misalnya), pengarang
di Indonesia yang cenderung tertarik pada tema-tema sosial-politik dan budaya
masih dominan. Sementara pengarang yang menulis karya
sastra dengan perspektif lingkungan hidup masih sangat minim. Dewi hanya
mencatat beberapa novel yang terbit dalam tema ini, di antaranya karya Ahmad
Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982), dan novel karya Martin Alieda
berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis (2004). Sementara cerpen yang
diteliti dari 2010 hingga 2015 hanya ditemukan 25 cerpen yang bertema
lingkungan (Dewi, 2015). Sastra
berpihak Gambaran tersebut pada dasarnya memberikan
kesadaran bahwa sastra setidaknya memang harus berpihak. Meskipun secara
sadar atau tidak, seluruh karya sastra yang dianggap bernilai menyuarakan
keberpihakan pada sesuatu yang bernilai etis dan ideologis. Jean-Paul Sartre (misalnya) di tahun 1948
menerbitkan buku tipisnya berjudul What’s Literature? yang memberikan
pengertiannya bahwa sastra harus berpihak pada kemanusiaan, harus menjadi
saksi bagi proses dehumanisasi. Sartre pada saat itu tengah melawan para
penulis yang ia sebut melayani tradisi kaum borjuis yang hanya semata
menyuarakan ”rasa” ala kaum borjuis. Demikian pula Marxim Gorky dengan gagasan
realisme sosialisnya di Rusia. Di Amerika Latin, realisme magis adalah jenis
sastra yang juga berpihak secara jelas. Basis perlawanannya adalah bentuk
estetika yang harus lepas dari kebudayaan Eropa yang semata berangkat dari
rasionalisme. Dalam sebuah wawancara, di tahun 1980-an Octavia Paz menolak
realisme magis sebagai bagian dari sastra posmodern karena dinilai bukan dari
kebudayaan Amerika Latin. Dus, di sini, pada dasarnya, Silent Spring
kemudian memberikan gambaran yang optimis bahwa suara dalam literasi memiliki
potensi besar di dalam gerakan perubahan. Seperti juga novel One Hundred
Solided karya Gabriel Gracia Marquez yang mampu memberikan perubahan
pandangan Barat terhadap sastra dan kebudayaan Amerika Latin. Perubahan demikian juga kita dapatkan setelah
Simone de Beauvoir menulis The Second Sex (1949) atau Gayatri Spivak menulis
esai Can The Subaltern Speak? (1988). Kedua karya itu memberikan inspirasi
secara luas bagi gerakan feminisme yang mengubah pandangan dunia terhadap
posisi perempuan. Maka, demikian pula dengan posisi sastra
hijau yang tak antroposentris, kesediaan atau keberpihakan pengarang pada isu
lingkungan hidup diharapkan akan membawa perubahan pada apa saja yang
diharapkan, seperti keasadaran masyarakat luas, kebijakan dan regulasi pemerintah
yang melindungi alam lingkungan, dan akhirnya, semoga mampu menyelamatkan
lingkungan hidup yang saat ini sudah semakin mengkhawatirkan. Semoga pula,
para pengarang di Indonesia bersedia menjadi bagian dari gerakan ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar