Selasa, 30 Maret 2021

 

Sastra Hijau Sastra Berpihak

 Ranang Aji SP ;  Penulis fiksi dan nonfiksi. Esainya Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern-Pascamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya menjadi nomine dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 Badan Bahasa

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada tahun 1962, di bulan Juni, The New Yorker mulai menerbitkan tulisan secara serial dari buku berjudul Silent Spring karya Rachel Carson. Buku ini menyuarakan ketertindasan alam dari kaum kapitalis yang mengeksploitasi alam. Terutama berkenaan penggunaan pestisida berlebihan yang digunakan untuk sasaran hama di Amerika.

 

Penggunaan pestisida itu berakibat pada kerusakan ekosistem dan hancurnya ekologi. Banyak burung didapati mati atau menghilang, mata rantai ekosistem terputus, dan manusia sendiri terdampak kanker. Buku itu selanjutnya memberikan pengaruh besar terhadap regulasi di Amerika. Beberapa negara bagian kemudian melarang penggunaan bahan kimia tertenu untuk melindungi alam dari kehancuran.

 

Silent Spring akhirnya juga memengaruhi gerakan literasi hijau yang berwawasan lingkungan hidup. Di tahun 1992, di Amerika kemudian berdiri sebuah lembaga yang bergerak pada literasi yang mencakup isu lingkungan, Association for the Study of Literature and Environment (ASLE). Cheryll Glotfelty dan Michael P Branch adalah tokoh pertama dan utamanya. ASLE kemudian mempromosikan setiap karya baik humaniora, sastra, seni, dan lainnya yang mengangkat isu lingkungan hidup.

 

Gerakan ini juga kemudian mempromosikan sastra hijau di dunia. Sebuah gerakan sadar lingkungan yang disuarakan melalui sastra hijau atau environment literature. Melalui ekokritisisme, sebuah metode kritis yang menelisik sastra dan lingkungan, kemudian mencoba merangsang tumbuhnya minat para pengarang untuk peduli terhadap lingkungan hidup melalui karya mereka.

 

Hanya saja, sastra hijau bukan semata sastra yang bercorak romantisisme yang sekadar memuja keindahan. Namun, sastra hijau menuntut lebih dari sekadar pemujaan terhadap senja (misalnya). Jenis apokaliptis dan precautionary tale dipandang memiliki efektivitas fungsi dari tujuan yang hendak dicapai. Dalam gerakan ini, ASLE meyakini bahwa sastra, baik puisi atau prosa dinilai memiliki suara yang mampu membawa kesadaran karena bersifat lembut dan imajinatif.

 

Sayangnya di Indonesia sendiri, di mana kondisi kerusakan lingkungan sudah dinilai sangat parah, belum banyak media dan pengarang yang berpihak pada isu lingkungan. Dalam catatan riset Prof Novita Dewi dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (misalnya), pengarang di Indonesia yang cenderung tertarik pada tema-tema sosial-politik dan budaya masih dominan.

 

Sementara pengarang yang menulis karya sastra dengan perspektif lingkungan hidup masih sangat minim. Dewi hanya mencatat beberapa novel yang terbit dalam tema ini, di antaranya karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982), dan novel karya Martin Alieda berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis (2004). Sementara cerpen yang diteliti dari 2010 hingga 2015 hanya ditemukan 25 cerpen yang bertema lingkungan (Dewi, 2015).

 

Sastra berpihak

 

Gambaran tersebut pada dasarnya memberikan kesadaran bahwa sastra setidaknya memang harus berpihak. Meskipun secara sadar atau tidak, seluruh karya sastra yang dianggap bernilai menyuarakan keberpihakan pada sesuatu yang bernilai etis dan ideologis.

 

Jean-Paul Sartre (misalnya) di tahun 1948 menerbitkan buku tipisnya berjudul What’s Literature? yang memberikan pengertiannya bahwa sastra harus berpihak pada kemanusiaan, harus menjadi saksi bagi proses dehumanisasi. Sartre pada saat itu tengah melawan para penulis yang ia sebut melayani tradisi kaum borjuis yang hanya semata menyuarakan ”rasa” ala kaum borjuis.

 

Demikian pula Marxim Gorky dengan gagasan realisme sosialisnya di Rusia. Di Amerika Latin, realisme magis adalah jenis sastra yang juga berpihak secara jelas. Basis perlawanannya adalah bentuk estetika yang harus lepas dari kebudayaan Eropa yang semata berangkat dari rasionalisme. Dalam sebuah wawancara, di tahun 1980-an Octavia Paz menolak realisme magis sebagai bagian dari sastra posmodern karena dinilai bukan dari kebudayaan Amerika Latin.

 

Dus, di sini, pada dasarnya, Silent Spring kemudian memberikan gambaran yang optimis bahwa suara dalam literasi memiliki potensi besar di dalam gerakan perubahan. Seperti juga novel One Hundred Solided karya Gabriel Gracia Marquez yang mampu memberikan perubahan pandangan Barat terhadap sastra dan kebudayaan Amerika Latin.

 

Perubahan demikian juga kita dapatkan setelah Simone de Beauvoir menulis The Second Sex (1949) atau Gayatri Spivak menulis esai Can The Subaltern Speak? (1988). Kedua karya itu memberikan inspirasi secara luas bagi gerakan feminisme yang mengubah pandangan dunia terhadap posisi perempuan.

 

Maka, demikian pula dengan posisi sastra hijau yang tak antroposentris, kesediaan atau keberpihakan pengarang pada isu lingkungan hidup diharapkan akan membawa perubahan pada apa saja yang diharapkan, seperti keasadaran masyarakat luas, kebijakan dan regulasi pemerintah yang melindungi alam lingkungan, dan akhirnya, semoga mampu menyelamatkan lingkungan hidup yang saat ini sudah semakin mengkhawatirkan. Semoga pula, para pengarang di Indonesia bersedia menjadi bagian dari gerakan ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar