Sabtu, 27 Maret 2021

 

”Quo Vadis” Gerakan Literasi Digital

 Haryadi Baskoro ;  Tenaga Ahli Jogja Smart Province (2018-2019); Antropolog-Teolog

                                                        KOMPAS, 27 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada Oktober 2017, Kemenkominfo RI yang waktu itu dipimpin Rudiantara bersama berbagai pemangku kepentingan (multistakeholder) meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) “Siberkreasi”.

 

GNLD ini akan naik kelas jika berfokus untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Menurut buku profilnya, GNLD didesain dengan peta jalan (roadmap) periode 2017-2020. Gerakan ini cepat direspons dan didukung sehingga dalam setahun saja sudah ada 75 institusi menjadi mitra gerakan. Pengakuan internasional pun datang, sebagai Champion pada WSIS Prizes – PBB pada Maret 2018 di Jenewa.

 

Di satu sisi, GNLD didesain untuk percepatan pembangunan digital. Sebagai upaya literasi berskala nasional, kegiatan-kegiatannya mencakup pengembangan kurikulum (curriculum development), collaborative engagement, pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dan tata kelola dunia maya (cyber governance).

 

Kemenkominfo saat itu juga menyinergikan gerakan ini dengan proyek-proyek percepatan pembangunan kota-kota cerdas (smart cities) dalam rangka merespons revolusi industri 4.0 yang bergulir cepat di Indonesia.

 

Di sisi lain, GNLD nampak didesain untuk memperkuat dan menstabilkan kekuasaan pemerintah Presiden Joko Widodo. Hal itu terjadi karena karut-marutnya jagat digital dan juga gencarnya serangan siber: hoaks, fake news, ujaran kebencian, perundungan, cyber radicalism, cyber terrorism, dan sebagainya.

 

Sebetulnya pemerintah cukup kreatif, serangan siber tidak dilawan dengan serangan siber, tetapi dilawan dengan kreativitas sehingga GNLD diberi nama “Siberkreasi”.

 

Gejala penurunan

 

Serangan siber dilawan dengan “Siberkreasi”, itu seperti etika melawan kejahatan dengan kebaikan. Di masa-masa itu Presiden Jokowi juga pernah mengumandangkan ungkapan “surodiro jayaningrat, lebur dening pangastuti”. Artinya, semua kekuatan manusia yang destruktif (arogansi, angkara murka, kelicikan, kejahatan, pengrusakan) harus dikalahkan oleh kebijaksanaan, kasih sayang, dan kebaikan yang konstruktif.

 

Meskipun dicitrakan sebagai gerakan etis, GNLD dan kolaborasinya pada dasarnya merupakan upaya melakukan serangan balik. Hal itu terlihat dari isu-isu yang digulirkan seperti konten negatif versus konten positif, radikalisme versus deradikalisme, dan hoaks versus konten kreatif. Yang terjadi tetaplah perang siber antar para pemengaruh (influencer) dan akhirnya perang siber antar para pendengung (buzzer).

 

Pemerintah, bertolak dari logika GNLD yang diklaim serba positif itu, jadi punya alasan untuk mengerahkan para pemengaruh untuk memberi pengaruh positif, dan mungkin juga para pendengung untuk mendengungkan hal positif.

 

Menurut buku profilnya yang lama, peta jalan GNLD “Siberkreasi” direncanakan untuk periode 2017-2020. Di awal 2021, meskipun tidak menyerang langsung ke GNLD, mulailah muncul beberapa keberatan. Muncul kekhawatiran untuk mengemukakan pendapat yang berbeda, karena adanya serangan balik buzzer.

 

Secara umum, gerakan-gerakan sosial (social movement) cenderung menurun (decline) setelah mencapai kesuksesan besar. Gerakan sosial biasa dimulai dari fase kemunculannya (emerge) yang inspiratif, lalu berkembang dalam sinergi dan kolaborasi (coalesce), dan keterlibatan aktif pemerintah (bureaucratize).

 

Ketika kemudian bola gerakan beralih dari masyarakat (rakyat) ke pemerintah, di satu sisi akan cepat meraih sukses besar karena dukungan dan legitimasi. Namun di sisi lain berpotensi menurun (decline) karena kepentingan kekuasaan mulai mengedepan.

 

Naik kelas

 

Perang antar pemengaruh dan antar pendengung itu sudah biasa di jagat digital. Meskipun demikian perlu kita hormati pernyataan Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman yang menegaskan bahwa pemerintah tidak memakai pendengung (buzzer) untuk meredam dan melawan para pengkritik. Pemerintah hanya bekerjasama dengan para pemengaruh yang merupakan para KOL (key opinion leader) dalam sosialisasi program-program tertentu seperti promosi pariwisata dan kesehatan.

 

Namun pembelaan seperti itu tidak cukup dan sejatinya tidak perlu jika GNLD akan direvitalisasi. GNLD akan naik kelas jika ditingkatkan level target pencerdasannya. Dalam hal ini Jokowi sudah membuka kran pencerdasan tahap lanjut saat mendorong rakyat untuk mengkritik pemerintah. Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung bahkan mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari media. Menurutnya kritik semacam itu ibarat jamu yang pahit namun menyehatkan.

 

GNLD pada dasarnya adalah gerakan pencerdasan yang sudah sejalan dengan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (amanat Preambul UUD 1945).

 

GNLD “Siberkreasi” yang digawangi tokoh-tokoh muda seperti Dedi Permadi, Donny BU, dan kawan-kawan milenial kreatif telah sukses besar dalam memberi pencerdasan digital tahap awal.

 

Dalam taksonomi belajar Bloom (1964), tahap awal belajar adalah penguasaan pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), dan penerapan (application). GNLD periode 2017-2020 telah menyadarkan supaya kita semakin menguasai teknologi digital, memahaminya, tidak menyalahgunakannya, dan memanfaatkannya untuk kebaikan dan kemajuan peradaban.

 

Adapun tahap lanjut dalam proses belajar menurut Bloom adalah berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif. Di sinilah pemelajar dituntut untuk berpikir kritis, bisa dan berani berbeda pendapat, mendiskusikan titik temu, dan mengevaluasi pengetahuan untuk membarui teori.

 

Pendidikan tidak bisa hanya bersifat mencekoki dan mendiktekan pengetahuan. Proses belajar-mengajar harus progresif-transformatif dalam hal mana pemelajar bebas berpikir, bersikap kritis, mandiri dalam belajar, tidak dikekang dan ditindas.

 

Proses pencerdasan “heutagogis” inilah yang sebenarnya menjadi ruh dari revolusi industri 4.0. Sebab, teknologi digital memungkinkan semua pemelajar menjadi guru (learner as teacher) karena semua orang bisa memproduksi dan berbagi pengetahuan (learner as content producer and sharer).

 

Dalam proses belajar baru berbasis digital itu tetap diperlukan GNLD. Sebab, kemerdekaan belajar di era digital itu harus dikelola agar terarah, visioner, etis, dan konstruktif.

 

Dalam hal ini, platform filosofis pemerintah Joko Widodo perlu dinaikkan juga dari “surodiro jayaningrat, lebur dening pangastuti” menjadi “duphak bujang, esem bupati, sasmita narendra”. Ini adalah filosofi budaya kritis yang meningkat.

 

Istilah “duphak bujang” menunjuk pada cara mengkritik atau menegur keras, kasar, dan dengan hukuman fisik (duphak) karena yang disasar adalah orang yang tidak berpendidikan (bujang, kuli). Inilah yang terjadi sekarang, kritik bernuansa ujaran kebencian, perundungan, caci-maki, umpatan, dan angkara murka. Kaum buzzer adalah para pelaku budaya kritik level duphak bujang seperti itu.

 

Ketika masyarakat dan pemerintah lebih intelek, budaya kritiknya esem bupati (senyum sang bupati). Mengkritik tak harus anarkis namun santun, menyenangkan, simbolik termasuk dengan berkesenian.

 

Tetapi mekanisme kritik esem bupati ini baru berjalan jika sang bupati (pejabat, pemimpin, pemerintah) peka terhadap kritik. Jadi kalau sekarang rakyat sering men-duphak penguasa, mungkin hal itu terjadi karena rakyat sudah berulang kali memberi esem tetapi para bupati tidak peduli.

 

Di level pemimpin tinggi seperti raja (narendra), budaya kritiknya adalah “sasmita”. Ini berbicara tentang kecerdasan intrapersonal (interpersonal intelligence), yaitu pemimpin yang selalu introspektif, mawas diri, dan selalu mengevaluasi diri sehingga belum sampai dikritik sudah sadar, paham, dan berubah.

 

Pemimpin harus bisa “seprapat tamat”, meskipun masukan berupa kritik baru diterimanya 25 persen (seprapat) saja, ia sudah langsung tamat memahaminya dan bertindak memperbaiki diri. Dalam konteks kekinian hal itu berbicara tentang evaluasi diri berbasis riset.

 

Sayangnya, kekuatan digital sering hanya dipakai oleh penguasa atau kandidat penguasa untuk menyelidiki elektabilitasnya, serta menghitung peluang, dan ancaman terhadap keberlanjutan kekuasaannya.

 

GNLD harus dinaikkan kelasnya menjadi gerakan pencerdasan supaya masyarakat (rakyat) semakin kritis dan pemerintah semakin giat melakukan otokritik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar