Minggu, 28 Maret 2021

 

Cendekiawan dan Keterlibatan Sosial

 Krispinus Ibu ;  Alumnus STFK Ledalero, Maumere Tinggal di Ledalero

                                                        KOMPAS, 27 Maret 2021

 

 

                                                           

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, dalam opininya di Kompas.id bertanggal 15 Maret 2021 memberikan  alarm dengan mengingatkan mereka yang tergolong intektualis (cendekiawan), atau yang mengecap diri sebagai intelektuali.

 

Airlangga menegaskan bahwa narasi peran sosial intelektual pasca-otoritarianisme adalah narasi tragedi. Hal ini ditandai dengan dua hal. Pertama, cendekiawan kita cenderung lebih tertarik menyelami karier birokratik dan membantu memperkuat kuasa negara dengan mencemplungkan diri di dalam lingkaran politik. Kedua, fenomena kecenderungan terintegrasinya kosmopolitanisme pendidikan global.

 

Pada akhirnya, ketika cendekiawan kita mencemplungkan diri dalam fenomena pilu ini, cendekiawan kita lupa akan advokasi pengetahuan kepada masyarakat publik.

 

Dengan menyitir orasi tajam Benedict Anderson di Manila, Airlangga menegaskan bahwa kaum intelektual (cendekiawan) kita kehilangan sumbangsihnya bagi masyarakat sipil demi perkembangan budaya kritis yang bisa berujung pada pengontrolan kekuasaan. Dengan itu, tidak heran apabila laporan Freedom House menempatkan demokrasi di Indonesia pada titik mengambang karena lemahnya kuasa pengetahuan masyarakat sipil kita.

 

Tulisan ini merupakan sebuah tanggapan atau yang lebih tepatnya sebuah bentuk partisipasi atas opini Airlangga Pribadi. Tujuannya jelas, demi perkembangan budaya advokasi masyarakat kita ke depan.

 

Perihal intelektual

 

Intelektual atau cendekiawan adalah orang-orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Tidak hanya sampai di situ, cendekiawan hendaknya melihat realitas, merasakannya, dan merefleksikan realitas dalam hidupnya sehari-hari.

 

Itu artinya, ketika realitas berbicara ketidakadilan, ketimpangan, dan penindasan oleh kekuasaan (kaum miskin ditindas oleh yang kuat dan berkuasa), cendekiawan tidak boleh diam dan bungkam. Cendekiawan mesti meninggalkan ”menara gading” kemapanan dirinya entah di universitas atau kamar-kamarnya, sembari membuka jendela, melihat realitas itu, dan terlibat mengontrol kebijakan publik yang sejatinya membawa bonum commune. Jika tidak, cendekiawan dan pengetahuannya hanyalah proyeksi dari masyarakat yang menyembunyikan ketidakadilan sosial.

 

Teladan budaya kritis

 

Cendekiawan adalah filsuf sejati. Filsuf sejati bukanlah orang yang menjual pengetahuannya untuk keuntungan pribadi. Filsuf sejati, seperti dicontohkan Sokrates di Yunani, adalah mereka yang berani ”pasang badan” mengobrak-abrik realitas sosial yang tidak adil, membongkar kemapanan kekuasaan yang cenderung menindas, meski itu harus dilalui dengan pengorbanan dirinya.

 

Ciri khas filsuf sejati adalah dia yang memberi teladan dan etika publik. Ia tidak hanya memperhatikan ritus dan dogma keilmuan yang terkurung dalam lorong-lorong sunyi. Ia sepatutnya menghasilkan buah refleksi kritis demi karya pelayanan praktis kepada mereka yang menderita.

 

Cendekiawan mesti berpihak pada orang-orang yang menderita dan yang tertindas (voice of the voiceless). Cendekiawan sejatinya adalah dia yang rela mengosongkan diri (kenosis) dan menjadi ”miskin” demi kekayaan pengetahuan publik. Dengan itu, cendekiawan menjadi kaya akan pengetahuan sosialnya. Ia menjadi kaya berkat keterlibatannya di tengah masyarakat. Akhirnya, pemberian diri cendekiawan adalah bukti bahwa ”yang miskin dan papa” adalah orang-orang yang diprioritaskan dalam pelayanannya.

 

Keterlibatan sosial

 

Perhatian dan keberpihakan cendekiawan merupakan suatu kepedulian universal bagi kaum terbelakang (miskin) dan terbuang. Ia harus menaruh perhatian khusus kepada orang miskin dan tertindas dalam tugas sehari-hari. cendekiawan mesti memproklamasikan dalam dirinya manifesto pelayanan ini: membalikkan nasib orang miskin.

 

Cendekiawan tidak hanya berkhotbah di mimbar-mimbar kuliah, serentak terkurung dalam ide-ide kreatifnya. Ia mesti ”turun dari atas gunung Tabor” untuk melihat dan mengalami realitas masyarakat secara langsung.

 

Cendekiawan mesti masuk ke dalam dunia dan sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah bagi dunia. Cendekiawan yang menawarkan diri demi kemaslahatan publik adalah dia yang melibatkan diri dalam nasib dan sejarah manusia. Artinya, ia terarah dan peduli pada kebaikan publik dengan kompleksitas hidup dan dinamika di dalamnya.

 

Kondisi demokrasi saat ini, seperti dilaporkan Freedom House di atas, sangat mencemaskan. Cendekiawan ditantang untuk terbuka; membuka diri terhadap realitas dunia. Cendekiawan pasca-otoritarianisme yang cenderung menonjolkan keegoisan, eksklusivitas dan konservatisme, harus dibarui. Cendekiawan harus membuka ”pintu dan jendela” bagi perubahan dunia. Ia tidak boleh hidup dengan dirinya sendiri. Ia mesti meleburkan diri dalam problem publik.

 

Perjuangan demi keadilan

 

Keprihatinan sosial cendekiawan sejatinya berpihak pada orang-orang yang sedang ”terkungkung” dalam situasi ketidakadilan. Situasi ketidakadilan ini membutuhkan sebuah pembebasan absolut. Mengapa? Orasi-orasi ilmiah dan sejenisnya tidak bisa diterima oleh masyarakat sipil apabila mereka sedang diterpa penyakit karena dampak tambang batubara, merajalelanya korupsi yang memiskinkan banyak orang, kelaparan karena pembabatan liar dari penguasa atas lahan dan ladang tempat mereka mencari nafkah, menderita sakit karena air yang tercemar oleh limbah pabrik, dan masih banyak lagi.

 

Tidak hanya sampai pada tahap keprihatinan. Cendekiawan mestinya mewujudkan misi mulia ini dalam tindakan konkret, yakni perjuangan memperjuangkan keadilan atau perjuangan demi tegaknya keadilan.

 

Banyak orang miskin merupakan korban dari struktur sosial yang tidak adil. Kelompok yang kuat berkuasa, yang lemah dan miskin disingkirkan. Di sini, cendekiawan dituntut untuk membela orang miskin

 

Dalam kuliah hak asasi manusia pada hari Rabu, 1 Maret 2017 di STFK Ledalero, Otto Gusti memberikan dua alasan mengapa calon-calon cendekiawan harus membela orang miskin. Pertama, alasan etis. Orang miskin merupakan orang-orang yang menderita. Kemiskinan ini secara tidak langsung mengisyaratkan ketidakadilan. Dalam situasi inilah sebagai imam dan pelayan pastoral harus membela mereka.

 

Kedua, alasan epistemologis. Orang miskin yang berada dalam kondisi kemiskinan mengalami kekurangan akan akses informasi. Orang miskin berada dalam situasi ”gaptek” (gagap teknologi) di tengah arus globalisasi. Atas dorongan ini, imam dan pelayan pastoral hendaknya membantu mereka dengan cara memberikan informasi yang berguna bagi mereka dan meyakinkan mereka bahwa di tengah dunia kapitalisme dan konsumerisme ini, mereka (orang miskin) adalah korban dari struktur yang tidak adil.

 

Pelayanan dan karya cendekiawan tidak boleh hanya selesai dalam ruang kelas, tetapi juga ”turun” dan mengalami realitas penderitaan masyarakat. Cendekiawan harus turun dari istana megah dan menara gadingnya dan merasakan kehidupan kaum terpinggirkan. Bukan melarikan diri, atau lebih pilu lagi berselingkuh dengan kekuasaan, sementara masyarakat sedang berada dalam kesulitan hidup. Jika demikian, quo vadis demokrasi?

 

Inspirasi cendekiawan

 

Pada dasarnya, situasi penderitaan mendesak cendekiawan mengambil sikap yang jelas dengan berpihak kepada mereka yang miskin dan lemah.

 

Sebagai inspirasi bagi kaum cendekiawan, saya mengutip pernyataan Edward Schillebeeckx dalam bukunya I am a Happy Theologian:

 

”I don’t write for eternity, but for the men and women of today who are in a particular historical situation. I try to respond to their questions. So my theology has a date; it is contextual, but at the same time I want to go beyond the situation as such. That is a universal aim of my works because I try to take into account the questions of all men and women. Otherwise it wouldn’t be good theology.” (London: SCM Press Ltd, 1994, hlm. 80).

 

Jika kita aktualisasikan pernyataan Edward Schillebeeckx untuk menjadi seorang cendekiawan yang baik, ia mesti mengaktualisasikan pengetahuannya dengan terlibat dalam hidup sosial. Cendekiawan sepatutnya sadar akan konteks ketidakadilan dan penderitaan, lalu mengambil sikap untuk membimbing dan mengadvokasi publik demi kewarasan publik.

 

Atau seperti penegasan Jhon Prior, cendekiawan sejatinya ”berakar dalam masa lampau, prihatin dengan masa kini dan terarah pada masa depan”. (Jurnal Ledalero: Desember 2010, hlm. 150).

 

Riset Airlangga Pribadi atas kaum cendekiawan pasca-otoritarianisme merupakan alarm yang mengingatkan cendekiawan kita untuk terlibat dalam hidup sosial kemasyarakatan. Cendekiawan mesti sadar konteks. Jika tidak demikian, bukan sebuah hal baru apabila demokrasi kita berada pada taraf mengambang. Padahal, seyogianya, sebuah ortodoksi selalu berkaitan erat dengan orthopraksis.

 

Jika cendekiawan kita memegang teguh pada beberapa bentuk keprihatinan di atas, insya Allah, indeks demokrasi kita menjadi semakin membaik. Maka ini saatnya cendekiawan ”turun dari mimbar ke pasar untuk kemudian dari pasar ke mimbar”. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar