Kamis, 25 Maret 2021

 

Strategi Optimasi Perikanan Tangkap

 Hendra Sugandhi   ;  Praktisi Perikanan Sejak 1991, Wakil Ketua Komite Bidang Perikanan APINDO

                                                        KOMPAS, 24 Maret 2021

 

 

                                                           

Menutup akhir tahun 2020 Presiden Jokowi mengangkat Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, nakhoda baru yang akan menentukan arah kebijakan sektor perikanan nasional 4 tahun ke depan. Tugas berat menanti, terutama bagaimana merumuskan tata kelola sektor perikanan agar dapat menunjang perekonomian nasional di tengah dampak negatif wabah pandemi Covid-19.

 

Sektor budidaya yang telah ditetapkan menjadi prioritas sektor perikanan harus didukung penuh, namun jangan sampai melupakan amanat UU Perikanan No 31/2004 jo. UU 45/2009 yang memberikan mandat dan wewenang kepada KKP untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap.

 

Ada empat elemen utama strategis yang harus diperhatikan dalam strategi optimasi perikanan tangkap yaitu estimasi potensi sumber daya ikan, fishing capacity, volume hasil tangkapan, dan volume ekspor. Kelestarian stok ikan nasional tentunya menjadi salah satu acuan utama pedoman arah kebijakan pengelolaan perikanan tangkap nasional.

 

Oleh karena itu, data estimasi potensi dan tren kenaikan atau penurunan hasil tangkapan yang sahih sangat penting dalam menentukan berapa besar kapasitas penangkapan ikan berikut jenis alat tangkapnya di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan-Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

 

Strategi optimasi peningkatan ekspor perikanan tangkap harus dirumuskan secara kuantitatif melalui optimasi fishing capacity, terutama di wilayah ZEEI dan Laut Lepas dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya yang selaras dengan peraturan Regional Fishery Management Organization (RFMO).

 

Bagi negara yang sumber daya ikannya terbatas, maka strategi untuk meningkatkan ekspor hasil perikanan dapat dilakukan dengan cara mengimpor bahan baku untuk di re-proses agar memperoleh nilai tambah, maka kita tidak perlu alergi melarang impor bahan baku ikan jika tujuannya untuk meningkatkan ekspor.

 

Bagi Indonesia tentu saja alternatif impor ikan menjadi pilihan kedua karena prioritas pertama adalah memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal dan lestari. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam upaya optimasi perikanan tangkap adalah menjaga kualitas ikan sejak ikan ditangkap yang harus ditangani dengan baik agar memenuhi persyaratan pasar internasional sesuai dengan standar keamanan pangan dan dapat ditelusuri.

 

Ironisnya, jumlah kapal penangkap ikan yang tersertifikasi CPIB (Cara Penangkapan Ikan yang Baik) masih minim sehingga dipermasalahkan dalam laporan audit DG Sante Uni Eropa yang memutuskan untuk membekukan kewenangan otoritas kompeten Indonesia untuk mengajukan nomor approval baru. Dampaknya unit pengolahan ikan baru terhambat tidak dapat mengekspor ikannya ke Uni Eropa sejak 2017. Oleh karena itu sertifikasi kapal penangkap ikan harus menjadi salah satu program prioritas perbaikan sektor perikanan tangkap yang harus segera dituntaskan.

 

Tugas pertama KKP dalam Inpres No. 7 tahun 2016 adalah mengevaluasi dan menghapus peraturan-peraturan yang menghambat percepatan industri perikanan nasional. Beberapa aturan telah dicabut tahun lalu, salah satunya aturan pembatasan ukuran kapal penangkap ikan maksimum 150 GT yang belum lama ini telah dicabut.

 

Aturan ini jelas kontra produktif dan menyebabkan kekosongan ZEEI serta minimnya pemanfaatan laut lepas. Namun pencabutan aturan pembatasan ukuran kapal ini tidak akan bermanfaat selama tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP) masih diberlakukan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2015. Pelaku usaha dipastikan enggan berinvestasi jika harus membayar di muka miliaran rupiah untuk memperoleh Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang hanya berlaku 1 tahun.

 

Sering kali kita membaca berita yang mengklaim Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan era Susi Pujiastuti tertinggi sejak KKP didirikan. Namun jika kita analisis lebih jauh, maka sesungguhnya PNBP perikanan aktual justru anjlok drastis karena tarif Pungutan Hasil Perikanan untuk skala besar berdasarkan PP No. 75 tahun 2015 naik 10x lipat (1000%) dibanding tarif lama PP No. 19 tahun 2009.

 

Sebagai contoh, kenaikan PNBP tahun 2019 menjadi 521 miliar merupakan kenaikan semu hanya akibat kenaikan tarif 1000% bukan berasal dari kenaikan produksi. Jika mengacu pada tarif lama maka sesungguhnya PNBP yang diperoleh secara riil justru merosot drastis hanya 52,1 miliar. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR, MKP Sakti Wahyu Trenggono menyatakan PNBP Perikanan tangkap akan meningkat dari Rp 595 miliar menjadi Rp 12 Triliun.

 

Target ambisius ini tentu mengagetkan tapi sekaligus mencerminkan harapan MKP yang sangat optimistis. Masalahnya apakah target ini realistis? Bagaimana cara untuk mencapai target tersebut? Jangan sampai mengulang kesalahan meniru cara sebelumnya yang menaikkan tarif PNBP 1000% untuk skala besar tanpa disertai kajian akademik dan konsultasi publik. Selain tidak kreatif, dengan melambungkan tarif PHP juga terbukti tidak efektif dalam meningkatkan PNBP riil bahkan sangat kontra produktif karena telah menghambat investasi di sektor perikanan tangkap.

 

MKP dalam tulisan pribadinya di salah satu media online 14 Februari 2021 menyatakan bahwa nilai ekonomi yang dihasilkan per tahun dari pemanfaatan sumber daya alam perikanan oleh kapal-kapal penangkap ikan di atas 30 GT mencapai ratusan triliun namun yang masuk menjadi pendapatan negara tidak sampai satu persen.

 

Pernyataan ini harus diluruskan, karena jumlah kapal perikanan tangkap di atas 30 GT hanya sekitar 5000 unit dengan ukuran rata-rata di bawah 100 GT, maka jika kita hitung jumlah kapasitas penangkapannya hanya 500.000 ton. Dengan asumsi optimistis tingkat produktivitas kapal 100% dan harga ikan rata-rata $2 per kg, maka nilai ekonomi yang dihasilkan hanya USD 1 miliar atau setara 14 triliun rupiah, jadi bukan ratusan triliun, begitu pula PNBP yang masuk ke kas negara mencapai 4% bukan 1%.

 

Namun kita harus mengapresiasi MKP yang sedang mengkaji beberapa alternatif dengan skema berdasarkan produksi hasil tangkapan nelayan dan berdasarkan konsesi zonasi penangkapan. Perencanaan yang baik ke depannya sebaiknya berdasarkan kondisi existing saat ini khususnya dalam menetapkan target yang akan dicapai agar lebih realistis. PHP dipungut di muka hanya berdasarkan asumsi semata, seharusnya akan lebih adil jika dipungut berdasarkan hasil tangkapan riil.

 

Jika kita merujuk data hasil tangkapan ikan nasional tahun 2020 di atas 7 juta ton, dan dipungut PNBP per kg rata-rata hasil tangkapan Rp 1.000,- seharusnya perolehan PNBP sektor perikanan tangkap dapat mencapai lebih dari Rp 7 triliun, nilainya 11 kali lipat lebih tinggi dibanding perolehan PNBP tahun 2020.

 

Agar kebijakan PHP ini lebih adil dan lebih afirmatif kepada nelayan kecil, maka sebaiknya diterapkan secara proporsional bergantung tinggi rendahnya jumlah dan nilai hasil tangkapan. Jangan sampai nelayan kecil terbebani pungutan yang terlalu tinggi. Semakin tinggi nilai hasil tangkapan, maka akan semakin besar PHP yang harus dibayarkan kepada negara.

 

Hal ini juga akan berdampak positif untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap khususnya di wilayah ZEEI dan laut lepas, sehingga pelaku usaha akan lebih berani berinvestasi karena tidak lagi terbebani pembayaran di muka dengan tarif PHP yang tinggi.

 

Untuk mencegah penyimpangan data hasil tangkapan maka pengawasan pendaratan ikan harus diperketat dan harus ada perbaikan data hasil pendaratan ikan di seluruh Indonesia dengan cara mewajibkan semua Otoritas Kompeten Lokal (OKL) menerbitkan lembar awal sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI) untuk setiap hasil tangkapan yang didaratkan.

 

Kewajiban OKL untuk menerbitkan SHTI akan berdampak positif dalam memperbaiki record keeping data perikanan nasional sekaligus membantu Unit Pengolahan Ikan (UPI) mengatasi permasalahan dokumen ekspor catch certificate yang menjadi salah satu persyaratan ekspor ke negara-negara tujuan utama termasuk Uni Eropa.

 

Semoga MKP tidak kehilangan momentum untuk rebound dalam memperbaiki tata kelola perikanan tangkap, dengan prioritas sinkronisasi estimasi angka potensi sumber daya ikan, mengoptimalkan fishing capacity, memperbaiki data produksi, meningkatkan ekspor serta meningkatkan PNBP riil dengan cara yang tepat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar