Rabu, 17 Maret 2021

 

Tantangan Pemulihan

 A Prasetyantoko  ; Rektor Unika Atma Jaya

                                                        KOMPAS, 16 Maret 2021

 

 

                                                           

Ekonomi pascapandemi tak akan sama. Begitu Klaus Schwab, pendiri Forum Ekonomi Dunia, menulis dalam bukunya, Covid-19: The Great Reset, yang terbit tahun lalu. Pandemi Covid-19 tak hanya menyebabkan perubahan sektor kesehatan dan perekonomian, tetapi juga sosial, politik, bahkan kebiasaan (kultur) masyarakat.

 

Setahun menghadapi pandemi Covid-19, perekonomian Indonesia mulai menggeliat bangkit meski belum optimal. Pada triwulan IV-2020, perekonomian tumbuh minus 2,19 persen dibandingkan dengan triwulan IV-2019. Meski masih berada di zona negatif, pertumbuhan sudah membaik daripada triwulan III-2020 yang masih terkontraksi 3,49 persen. Apalagi jika dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan II-2020 yang sebesar 5,32 persen.

 

Pertumbuhan ekonomi 2021 diproyeksi mulai masuk ke zona positif meskipun mungkin baru mulai terjadi pada triwulan II. Kendati arah ekonomi sudah memasuki fase pemulihan, tantangannya cukup berat. Tak hanya dimensi ekonomi dan kesehatan, politik juga menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Selain itu, faktor global juga turut memperumit upaya pemulihan ekonomi domestik.

 

Lima tantangan utama

 

Pertama, perekonomian Amerika Serikat diperkirakan pulih lebih cepat dari proyeksi sebelumnya. Implikasi jangka panjang, perekonomian global akan semakin menggairahkan. Namun, implikasi jangka pendek, ada potensi risiko gejolak di pasar keuangan, khususnya nilai tukar. Jika ekonomi AS pulih lebih cepat, inflasi akan naik menuju 2 peren sehingga suku bunga bank sentral AS, The Fed, sangat mungkin mulai dinaikkan.

 

Pasar keuangan domestik yang selama beberapa bulan terakhir sangat diuntungkan aliran valuta asing akan mengalami fase pembalikan. Situasi ini mirip ketika pada 2013 The Fed mulai menormalisasi kebijakan moneter sehingga memunculkan kepanikan (taper tantrum).

 

Kedua, jika pasar keuangan bergejolak, Bank Indonesia juga harus merespons dengan kenaikan suku bunga yang kini berada pada 3,5 persen atau terendah dalam sejarah. Meskipun kenaikan suku bunga tidak sesuai dengan semangat mendorong kredit, tak banyak pilihan karena dominasi modal asing jangka pendek di pasar keuangan kita relatif tinggi.

 

Ketiga, biaya pemulihan ekonomi 2021 masih tinggi. Biaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional pada 2021 dianggarkan Rp 699,43 triliun. Jumlah ini telah mengalami revisi empat kali. Tampaknya peran pemerintah dalam perekonomian masih akan dominan dalam beberapa tahun mendatang. Akibatnya, rencana mengembalikan defisit di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto pada 2023 cukup menantang.

 

Keempat, resesi sudah berdampak pada ketenagakerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, pada 2020 sekitar 386.000 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau naik 20 kali lipat dibandingkan dengan 2019 (Kompas, 10/03/2021).

 

Kelima, pemulihan ekonomi juga mengalami tantangan dari sisi politik yang sudah mulai memanas menghadapi Pemilu 2024, seperti terjadi pada kasus Partai Demokrat. Diperkirakan, semakin mendekati pemilu, persoalan politik akan semakin intensif.

 

Bagaimana jalan keluar dari kerumitan ini? Meski menghadapi persoalan kompleks, tak boleh kehilangan fokus pada persoalan utama, yaitu menyelesaikan masalah kesehatan. Mempercepat program vaksinasi menjadi prioritas pokok.

 

Selanjutnya, kebijakan ekonomi meliputi tiga pilar, yaitu fiskal, moneter, dan industrial. Kebijakan fiskal dan moneter relatif sudah optimal. Sementara kebijakan industrial masih perlu dipertajam. Fokus pertama adalah menopang sektor dunia usaha agar mampu bertahan dalam situasi sulit ini. Peran fiskal sangat penting agar sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, baik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun usaha besar, mendapatkan program stimulus yang proporsional. Tujuannya, angka PHK bisa ditekan semaksimal mungkin.

 

Fase berikutnya, kebijakan industrial perlu diterjemahkan dengan merumuskan arah pengembangan industri pascapandemi. Industri berbasis teknologi serta industri ramah lingkungan akan menjadi standar global yang harus diantisipasi. Pemerintah bersama dunia usaha harus berupaya merumuskan strategi pemulihan industri pascapandemi.

 

Meski menghadapi ketidakpastian dan kerumitan situasi, kebijakan kesehatan dan perekonomian relatif mudah dirumuskan. Justru yang sulit diantisipasi adalah dinamika serta risiko politik akibat pertarungan menghadapi Pemilu 2024 yang memanas.

 

Dalam kerangka kebijakan ekonomi, persoalan sosial-politik dan kebudayaan merupakan faktor kelembagaan yang penting. Peranannya akan sangat menentukan efektivitas kebijakan ekonomi serta kinerja perekonomian.

 

Douglass North, penerima Nobel Ekonomi 1993, telah mengidentifikasi nilai penting institusi bagi kinerja ekonomi. Pandemi Covid-19, yang oleh Schwab diidentifikasi sebagai the great reset, akan menjadi konteks kelembagaan (baru) yang menentukan relasi faktor kelembagaan dan kinerja ekonomi.

 

Bagi perekonomian kita, selain friksi politik menjelang Pemilu 2024, situasi itu masih diperburuk dengan praktik korupsi yang melibatkan menteri berlatar belakang partai politik. Tampaknya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua perlu mengambil sikap lugas terkait faktor kelembagaan. Komisi Pemberantasan Korupsi serta perangkat hukum lain harus diperkuat agar perilaku korupsi bisa ditekan semaksimal mungkin.

 

Terkait friksi politik, sebaiknya Presiden Jokowi juga mengambil sikap lugas agar birokrasinya tak berlumuran konflik partai politik. Kontribusi penting pemerintahan Presiden Jokowi pada periode kedua ini adalah membangun kelembagaan politik dan kepartaian yang semakin profesional. Jika tak ada perubahan berarti dalam aspek kelembagaan, sangat mungkin efektivitas kebijakan ekonomi pascapandemi juga tak akan optimal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar