Tantangan
Pemulihan A Prasetyantoko ; Rektor Unika Atma Jaya |
KOMPAS,
16 Maret
2021
Ekonomi pascapandemi tak akan sama. Begitu
Klaus Schwab, pendiri Forum Ekonomi Dunia, menulis dalam bukunya, Covid-19:
The Great Reset, yang terbit tahun lalu. Pandemi Covid-19 tak hanya
menyebabkan perubahan sektor kesehatan dan perekonomian, tetapi juga sosial,
politik, bahkan kebiasaan (kultur) masyarakat. Setahun menghadapi pandemi Covid-19, perekonomian
Indonesia mulai menggeliat bangkit meski belum optimal. Pada triwulan
IV-2020, perekonomian tumbuh minus 2,19 persen dibandingkan dengan triwulan
IV-2019. Meski masih berada di zona negatif, pertumbuhan sudah membaik
daripada triwulan III-2020 yang masih terkontraksi 3,49 persen. Apalagi jika
dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan II-2020 yang sebesar 5,32 persen. Pertumbuhan ekonomi 2021 diproyeksi mulai
masuk ke zona positif meskipun mungkin baru mulai terjadi pada triwulan II.
Kendati arah ekonomi sudah memasuki fase pemulihan, tantangannya cukup berat.
Tak hanya dimensi ekonomi dan kesehatan, politik juga menghadapi Pemilihan
Umum (Pemilu) 2024. Selain itu, faktor global juga turut memperumit upaya
pemulihan ekonomi domestik. Lima
tantangan utama Pertama, perekonomian Amerika Serikat
diperkirakan pulih lebih cepat dari proyeksi sebelumnya. Implikasi jangka
panjang, perekonomian global akan semakin menggairahkan. Namun, implikasi
jangka pendek, ada potensi risiko gejolak di pasar keuangan, khususnya nilai
tukar. Jika ekonomi AS pulih lebih cepat, inflasi akan naik menuju 2 peren
sehingga suku bunga bank sentral AS, The Fed, sangat mungkin mulai dinaikkan. Pasar keuangan domestik yang selama
beberapa bulan terakhir sangat diuntungkan aliran valuta asing akan mengalami
fase pembalikan. Situasi ini mirip ketika pada 2013 The Fed mulai
menormalisasi kebijakan moneter sehingga memunculkan kepanikan (taper
tantrum). Kedua, jika pasar keuangan bergejolak, Bank
Indonesia juga harus merespons dengan kenaikan suku bunga yang kini berada
pada 3,5 persen atau terendah dalam sejarah. Meskipun kenaikan suku bunga
tidak sesuai dengan semangat mendorong kredit, tak banyak pilihan karena
dominasi modal asing jangka pendek di pasar keuangan kita relatif tinggi. Ketiga, biaya pemulihan ekonomi 2021 masih
tinggi. Biaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional pada 2021
dianggarkan Rp 699,43 triliun. Jumlah ini telah mengalami revisi empat kali.
Tampaknya peran pemerintah dalam perekonomian masih akan dominan dalam
beberapa tahun mendatang. Akibatnya, rencana mengembalikan defisit di bawah 3
persen terhadap produk domestik bruto pada 2023 cukup menantang. Keempat, resesi sudah berdampak pada
ketenagakerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, pada 2020 sekitar
386.000 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau naik 20 kali
lipat dibandingkan dengan 2019 (Kompas, 10/03/2021). Kelima, pemulihan ekonomi juga mengalami
tantangan dari sisi politik yang sudah mulai memanas menghadapi Pemilu 2024,
seperti terjadi pada kasus Partai Demokrat. Diperkirakan, semakin mendekati
pemilu, persoalan politik akan semakin intensif. Bagaimana jalan keluar dari kerumitan ini?
Meski menghadapi persoalan kompleks, tak boleh kehilangan fokus pada
persoalan utama, yaitu menyelesaikan masalah kesehatan. Mempercepat program
vaksinasi menjadi prioritas pokok. Selanjutnya, kebijakan ekonomi meliputi
tiga pilar, yaitu fiskal, moneter, dan industrial. Kebijakan fiskal dan
moneter relatif sudah optimal. Sementara kebijakan industrial masih perlu
dipertajam. Fokus pertama adalah menopang sektor dunia usaha agar mampu
bertahan dalam situasi sulit ini. Peran fiskal sangat penting agar sektor
yang menyerap banyak tenaga kerja, baik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
maupun usaha besar, mendapatkan program stimulus yang proporsional.
Tujuannya, angka PHK bisa ditekan semaksimal mungkin. Fase berikutnya, kebijakan industrial perlu
diterjemahkan dengan merumuskan arah pengembangan industri pascapandemi.
Industri berbasis teknologi serta industri ramah lingkungan akan menjadi
standar global yang harus diantisipasi. Pemerintah bersama dunia usaha harus
berupaya merumuskan strategi pemulihan industri pascapandemi. Meski menghadapi ketidakpastian dan
kerumitan situasi, kebijakan kesehatan dan perekonomian relatif mudah
dirumuskan. Justru yang sulit diantisipasi adalah dinamika serta risiko
politik akibat pertarungan menghadapi Pemilu 2024 yang memanas. Dalam kerangka kebijakan ekonomi, persoalan
sosial-politik dan kebudayaan merupakan faktor kelembagaan yang penting.
Peranannya akan sangat menentukan efektivitas kebijakan ekonomi serta kinerja
perekonomian. Douglass North, penerima Nobel Ekonomi
1993, telah mengidentifikasi nilai penting institusi bagi kinerja ekonomi.
Pandemi Covid-19, yang oleh Schwab diidentifikasi sebagai the great reset,
akan menjadi konteks kelembagaan (baru) yang menentukan relasi faktor
kelembagaan dan kinerja ekonomi. Bagi perekonomian kita, selain friksi
politik menjelang Pemilu 2024, situasi itu masih diperburuk dengan praktik
korupsi yang melibatkan menteri berlatar belakang partai politik. Tampaknya
pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua perlu mengambil sikap lugas
terkait faktor kelembagaan. Komisi Pemberantasan Korupsi serta perangkat
hukum lain harus diperkuat agar perilaku korupsi bisa ditekan semaksimal
mungkin. Terkait friksi politik, sebaiknya Presiden
Jokowi juga mengambil sikap lugas agar birokrasinya tak berlumuran konflik
partai politik. Kontribusi penting pemerintahan Presiden Jokowi pada periode
kedua ini adalah membangun kelembagaan politik dan kepartaian yang semakin
profesional. Jika tak ada perubahan berarti dalam aspek kelembagaan, sangat
mungkin efektivitas kebijakan ekonomi pascapandemi juga tak akan optimal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar