Rabu, 17 Maret 2021

 

Krisis Ekologi dan Pemulihan Posisi Perempuan Pedesaan

 Dewi Kartika  ; Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

                                                        KOMPAS, 16 Maret 2021

 

 

                                                           

Pengalaman pandemi mengajarkan bahwa pemenuhan hak atas pangan warga negara yang dipasok oleh sistem produksi pangan nasional dengan tulang punggung petani sangat penting. Sebab, pandemi dengan pembatasan sosialnya telah menurunkan kemampuan pemenuhan pasokan pangan, importasi pangan pun terganggu.

 

Jauh sebelum pandemi, perempuan pedesaan memiliki peran penting dalam produksi dan pemenuhan hak atas pangan. Pada situasi tersebut, bersembunyi beban ganda mereka, mulai dari kerja produktif dunia pertanian, mengolah hasil panen, hingga kerja domestik lainnya.

 

Beban ganda dan resiliensi

 

Studi-studi lanjutan memperlihatkan bahwa beban ganda tersebut semakin besar ketika urbanisasi terjadi. Sebab, migrasi ke kota didominasi oleh laki-laki. Desa dan lahan pangan lebih banyak dijaga dan diolah oleh perempuan. Situasi ini membuktikan, selain beban berlapis perempuan pedesaan, mereka inilah produsen utama makanan bagi keluarga dan masyarakat luas.

 

Pada situasi struktur agraria yang mengalami ketimpangan, konflik dan krisis ekologis, tentu beban tersebut semakin berat. Struktur agraria semacam ini berujung pada perampasan tanah, kekerasan, dan kemiskinan yang dirasakan langsung oleh perempuan dan anak.

 

Timpangnya penguasaan tanah oleh petani dan hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan berdampak langsung pada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga dan komunitasnya, termasuk ketersediaan pangan.

 

Perempuan terpaksa bekerja serabutan menjadi buruh tani, buruh cuci, buruh harian lepas, berdagang, demi memenuhi ekonomi keluarga, dengan tetap mengerjakan pekerjaan domestik. Sementara itu, krisis ekologis di pedesaan telah mengakibatkan perempuan memiliki beban berat tambahan dalam kerja rumah tangga saat menghadapi lingkungan yang rusak, seperti jauhnya mata air akibat pencemaran, banjir, maupun kekeringan.

 

Tidak sulit menyimpulkan bahwa posisi perempuan petani menjadi semakin rentan di masa pandemi ini. Sayangnya, perhatian kepadanya jauh dari cukup. Sebagai contoh, aneka paket bantuan dalam menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi, seperti bantuan sosial, bantuan pangan, bantuan tunai, hingga Kartu Pra-Kerja, belum menaruh prioritas kepada kelompok perempuan khususnya di pedesaan.

 

Di tengah beban ganda yang ditanggungnya, bahkan di masa pandemi, resiliensi perempuan petani teruji. Perempuan dari petani di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Indramayu, dan Lebak, misalnya, tidak saja mampu bertahan dalam mengelola pemenuhan pangan keluarganya, tetapi juga secara kolektif merespons krisis pangan melalui gerakan solidaritas pangan bagi warga kota yang terdampak krisis.

 

Memulihkan posisi perempuan

 

Patutlah peran strategis perempuan petani sebagai produsen pangan dan resiliensinya di masa pandemi dihargai dengan mendorong perbaikan atas beban ganda yang ditanggungnya selama ini.

 

Saatnya pemerintah melakukan langkah serius dan tepat dalam membenahi pembangunan pedesaan, pertanian, dan pangan. Sebuah proses yang menempatkan perempuan sebagai sasaran dan juga aktor utama pemulihan atas berbagai krisis yang berdampak lebih banyak kepada perempuan sehingga menjadikan indikator keberhasilan pemulihan krisis selalu berbasiskan dampak langsung kepada perempuan.

 

Selain memerangi wabah, pemerintah sebaiknya juga segera memperbaiki model-model bantuan sosial yang ada dengan menempatkan keadilan jender, khususnya perempuan dan anak sebagai indikator keberhasilan. Perombakan ini akan mengurangi salah sasaran dan memperbaiki kualitas bantuan sosial yang ada.

 

Selanjutnya, elemen penting pemulihan kedaulatan pangan secara nasional adalah menyelesaikan sejumlah krisis agraria di pedesaan berupa ketimpangan, konflik agraria, dan kerusakan ekologis.

 

Ketika pemerintahan Jokowi menjanjikan pelaksanaan Reforma Agraria, selain keberpihakan yang nyata kepada petani kecil, pelaksanaannya hendaklah memperhatikan situasi sosial pedesaan yang berakibat pada beban ganda perempuan petani.

 

Beberapa kajian tentang redistribusi tanah yang pernah ada memperlihatkan tentang lemahnya posisi perempuan dalam proses tersebut. Bahkan, pada saat redistribusi tanah yang dilakukan, keberpihakan kepada perempuan cukup rendah (Ekowati dkk: 2009).

 

Sementara itu, pada proses sertifikasi kepemilikan tanah non-redistribusi, situasi serupa juga terjadi. Padahal, keterikatan perempuan terhadap tanah pertanian sangat tinggi. Namun, perempuan berpotensi besar terlepas dari tanahnya melalui proses jual-beli oleh laki-laki, yang disebabkan pengabaian perempuan pada proses redistribusi dan sertifikasi.

 

Pengalaman tersebut menandakan bahwa upaya melakukan restrukturisasi ketimpangan agraria, selain antara masyarakat marjinal dan korporasi, juga terkandung usaha mengurangi ketimpangan pemilikan tanah antara laki-laki dan perempuan.

 

Sebab, ketimpangan struktur agraria terhadap perempuan berdampak pada keterbatasan akses dan kontrol perempuan atas pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupannya. Keadaan ini adalah penyebab meningkatnya kerentanan perempuan pedesaan dari diskriminasi, kekerasan, dan beban berlapis baik di tingkat keluarga maupun publik.

 

Proses simultan dan sistematis restrukturisasi agraria di pedesaan tersebut akan mengarah kepada pemenuhan hak atas pangan dan nutrisi sebagai basis kedaulatan pangan.

 

Situasi ini hanya dapat dipenuhi jika syarat-syarat, seperti jaminan kesetaraan hak dalam pemilikan dan penguasaan tanah, maupun mendapatkan manfaat dari tanah antara laki-laki dan perempuan, sejak awal didesain secara setara sebagaimana telah diamanatkan UUPA 1960. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar