Krisis
Ekologi dan Pemulihan Posisi Perempuan Pedesaan Dewi Kartika ; Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) |
KOMPAS,
16 Maret
2021
Pengalaman pandemi mengajarkan bahwa
pemenuhan hak atas pangan warga negara yang dipasok oleh sistem produksi
pangan nasional dengan tulang punggung petani sangat penting. Sebab, pandemi
dengan pembatasan sosialnya telah menurunkan kemampuan pemenuhan pasokan
pangan, importasi pangan pun terganggu. Jauh sebelum pandemi, perempuan pedesaan
memiliki peran penting dalam produksi dan pemenuhan hak atas pangan. Pada
situasi tersebut, bersembunyi beban ganda mereka, mulai dari kerja produktif
dunia pertanian, mengolah hasil panen, hingga kerja domestik lainnya. Beban
ganda dan resiliensi Studi-studi lanjutan memperlihatkan bahwa
beban ganda tersebut semakin besar ketika urbanisasi terjadi. Sebab, migrasi
ke kota didominasi oleh laki-laki. Desa dan lahan pangan lebih banyak dijaga
dan diolah oleh perempuan. Situasi ini membuktikan, selain beban berlapis
perempuan pedesaan, mereka inilah produsen utama makanan bagi keluarga dan
masyarakat luas. Pada situasi struktur agraria yang
mengalami ketimpangan, konflik dan krisis ekologis, tentu beban tersebut
semakin berat. Struktur agraria semacam ini berujung pada perampasan tanah,
kekerasan, dan kemiskinan yang dirasakan langsung oleh perempuan dan anak. Timpangnya penguasaan tanah oleh petani dan
hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan berdampak langsung pada meningkatnya
beban perempuan dalam memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga dan
komunitasnya, termasuk ketersediaan pangan. Perempuan terpaksa bekerja serabutan
menjadi buruh tani, buruh cuci, buruh harian lepas, berdagang, demi memenuhi
ekonomi keluarga, dengan tetap mengerjakan pekerjaan domestik. Sementara itu,
krisis ekologis di pedesaan telah mengakibatkan perempuan memiliki beban
berat tambahan dalam kerja rumah tangga saat menghadapi lingkungan yang
rusak, seperti jauhnya mata air akibat pencemaran, banjir, maupun kekeringan. Tidak sulit menyimpulkan bahwa posisi
perempuan petani menjadi semakin rentan di masa pandemi ini. Sayangnya,
perhatian kepadanya jauh dari cukup. Sebagai contoh, aneka paket bantuan
dalam menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi, seperti bantuan sosial,
bantuan pangan, bantuan tunai, hingga Kartu Pra-Kerja, belum menaruh
prioritas kepada kelompok perempuan khususnya di pedesaan. Di tengah beban ganda yang ditanggungnya,
bahkan di masa pandemi, resiliensi perempuan petani teruji. Perempuan dari
petani di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Indramayu, dan Lebak, misalnya, tidak
saja mampu bertahan dalam mengelola pemenuhan pangan keluarganya, tetapi juga
secara kolektif merespons krisis pangan melalui gerakan solidaritas pangan
bagi warga kota yang terdampak krisis. Memulihkan
posisi perempuan Patutlah peran strategis perempuan petani
sebagai produsen pangan dan resiliensinya di masa pandemi dihargai dengan
mendorong perbaikan atas beban ganda yang ditanggungnya selama ini. Saatnya pemerintah melakukan langkah serius
dan tepat dalam membenahi pembangunan pedesaan, pertanian, dan pangan. Sebuah
proses yang menempatkan perempuan sebagai sasaran dan juga aktor utama
pemulihan atas berbagai krisis yang berdampak lebih banyak kepada perempuan
sehingga menjadikan indikator keberhasilan pemulihan krisis selalu
berbasiskan dampak langsung kepada perempuan. Selain memerangi wabah, pemerintah
sebaiknya juga segera memperbaiki model-model bantuan sosial yang ada dengan
menempatkan keadilan jender, khususnya perempuan dan anak sebagai indikator
keberhasilan. Perombakan ini akan mengurangi salah sasaran dan memperbaiki
kualitas bantuan sosial yang ada. Selanjutnya, elemen penting pemulihan
kedaulatan pangan secara nasional adalah menyelesaikan sejumlah krisis
agraria di pedesaan berupa ketimpangan, konflik agraria, dan kerusakan
ekologis. Ketika pemerintahan Jokowi menjanjikan
pelaksanaan Reforma Agraria, selain keberpihakan yang nyata kepada petani
kecil, pelaksanaannya hendaklah memperhatikan situasi sosial pedesaan yang
berakibat pada beban ganda perempuan petani. Beberapa kajian tentang redistribusi tanah
yang pernah ada memperlihatkan tentang lemahnya posisi perempuan dalam proses
tersebut. Bahkan, pada saat redistribusi tanah yang dilakukan, keberpihakan
kepada perempuan cukup rendah (Ekowati dkk: 2009). Sementara itu, pada proses sertifikasi
kepemilikan tanah non-redistribusi, situasi serupa juga terjadi. Padahal,
keterikatan perempuan terhadap tanah pertanian sangat tinggi. Namun,
perempuan berpotensi besar terlepas dari tanahnya melalui proses jual-beli
oleh laki-laki, yang disebabkan pengabaian perempuan pada proses redistribusi
dan sertifikasi. Pengalaman tersebut menandakan bahwa upaya
melakukan restrukturisasi ketimpangan agraria, selain antara masyarakat
marjinal dan korporasi, juga terkandung usaha mengurangi ketimpangan
pemilikan tanah antara laki-laki dan perempuan. Sebab, ketimpangan struktur agraria
terhadap perempuan berdampak pada keterbatasan akses dan kontrol perempuan
atas pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupannya. Keadaan ini adalah
penyebab meningkatnya kerentanan perempuan pedesaan dari diskriminasi,
kekerasan, dan beban berlapis baik di tingkat keluarga maupun publik. Proses simultan dan sistematis
restrukturisasi agraria di pedesaan tersebut akan mengarah kepada pemenuhan
hak atas pangan dan nutrisi sebagai basis kedaulatan pangan. Situasi ini hanya dapat dipenuhi jika
syarat-syarat, seperti jaminan kesetaraan hak dalam pemilikan dan penguasaan
tanah, maupun mendapatkan manfaat dari tanah antara laki-laki dan perempuan,
sejak awal didesain secara setara sebagaimana telah diamanatkan UUPA 1960. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar