Rekaman
Momentum Pasca Lukisan Agus Dermawan T ; Pengamat Seni Rupa |
KOMPAS,
28 Maret
2021
Lukisan
yang merujuk kepada fotografi adalah biasa. Tapi
foto jurnalistik yang secara tak sengaja sangat mirip dengan
lukisan, tentulah mencengangkan. Filsuf dan ilmuwan komunikasi Marshall
McLuhan mengatakan bahwa sesungguhnya hampir semua yang disiratkan dan
disuratkan oleh para seniman mendekati kebenaran. Dan kebenaran itu
diberangkatkan dari kerja seniman yang selalu memposisikan diri sebagai
antena sosial. Sementara getar antena itu, yang mewujud
dalam karya-karya seni, seringkali memiliki kepekaan untuk melahirkan
gambaran ramalan. Yang di dalamnya mengisyaratkan bahwa yang termanifestasi
itu akan terjadi, atau akan terulang terjadi. Seni adalah alat penyingkap
rahasia fakta masa depan, yang kemudian kita anggap sebagai “kebetulan”. Dalam seni rupa, terutama seni lukis, hal
itu sudah acap terbaca. Mengulang
gambar tragedi perang Pada tahun 1814 Francisco de Goya mendapat
pesanan melukis momentum eksekusi para pemberontak di Spanyol yang pro
Napoleon. Ia pun mencipta lukisan berjudul “Pembunuhan 3 Mei 1808” (kini
koleksi Museo Nacional del Prado, Madrid), yang detilnya direkonstruksi dari
aneka rumor dan percakapan. Goya melukis itu untuk memberikan ingatan,
betapa politik yang buruk akan membunuh orang-orangnya sendiri. Eh, apa yang
ada dalam lukisan Goya itu pada 170 tahun kemudian terulang senyata-nyatanya
di medan kehidupan. Pada 1984 kantor berita AFP merilis foto jurnalistik
tentara Iran sedang mengeksekusi pemberontak yang antipemerintah. Adegan dan
atmosfir dalam foto itu sungguh mirip dengan lukisan Goya! Pada tahun 1949 seniman cilik M Toha (11
tahun) melukis tentara Belanda sedang menggeledah penduduk. Dalam lukisan
berjudul “Pembersihan di Pasar Lempuyangan, Yogyakarta” (buku Karya dalam
Peperangan dan Revolusi, 1982) itu terlihat seorang lelaki yang berbaju
lengan panjang putih disuruh mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan tentara
Belanda memeriksa sekujur tubuhnya. “Saya hanya berani melihat adegan itu dalam
selintasan saja. Untuk kemudian saya bayangkan, saya imajinasikan, dan lalu
saya tuangkan di persembunyian dalam lukisan,” kisah Toha. Pada tahun 1990 sejumlah media massa
menyiarkan foto adegan perang Irak - Kuwait. Di situ tampak seorang anggota
Tentara Koalisi Internasional sedang menggeledah seorang lelaki Arab berbaju
lengan panjang putih, yang dipaksa mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Adegan
penggeledahan itu sangat mirip dengan yang ada dalam lukisan Toha. Foto
tersebut masih bisa disimak di laman telegraph.co.uk. Pada 1978 Dullah, yang pernah menjadi
pelukis Istana Presiden Soekarno, membuat lukisan besar berjudul “Jumpa di
Tengah Kota” (koleksi Museum Dullah, Solo). Di situ digambarkan para
gerilyawan pimpinan Letnan Kolonel Soeharto berkumpul di tengah kota
Yogyakarta seusai Serangan 1 Maret 1949, untuk merayakan kemenangan dalam
pertempuran melawan tentara pendudukan Belanda. Suasana dramatik serta susunan figur
lukisan ini pada 1990 seolah terekonstruksi dalam sebuah foto yang disiarkan
arabnews.com. Foto itu merekam kegembiraan perjumpaan para tentara Irak di
Semenanjung Al Faw, Irak Selatan. Sebelum akhirnya wilayah paling vital dalam
Perang Teluk itu dikuasai Tentara Koalisi Internasional. Tak
ada kebetulan di bawah matahari Gotthold Ephraim Lessing, kritikus dan
dramawan Jerman abad 18 pernah menulis dengan yakin : Nichts unter der Sonne
ist zufallig! Tidak ada yang kebetulan di bawah matahari! Berangkat dari
pengertian yang harafiah, pernyataan itu luruh ketika melihat beberapa
realitas ini. Tahun 1975 Lee Man Fong melukis “Frolicking
by the Stream” (buku The Oil Painting of Lee Man Fong, 1984), yang
menggambarkan kegembiraan sejumlah gadis yang sedang bermain di sebuah kedung
sungai di Sarawak, Malaysia. Air sungai di sekitar para gadis itu berbuih
putih dengan arus yang kuat mengalir, lantaran letaknya tak jauh dari
sejumlah mata air. Syahdan pada 38 tahun kemudian Raditya
Mahendra Yasa memunculkan foto berjudul “Nyadran Sendang Gede” yang disirkan
di sebuah harian edisi 29 Juni 2013. Foto itu merekam warga yang sedang
beramai-ramai menguras dan membersihkan sumber mata air dalam tradisi
nyadran, ritual menyambut bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa, di Sendang
Gede, Kelurahan Pudakpayung, Semarang. Atmosfer foto dan lukisan ini,
kebetulan, sungguh mirip adanya. Pada 1966 Sudjojono mencipta “Reruntuhan
dan Piano” (buku S.Sudjojono – Visible Soul, 2006). Dalam lukisan ini sang
maestro menerbitkan metafora : huru-hara politik 1965 yang menghancurkan
banyak ihwal, tetap tak bisa menyingkirkan seni dari ruang kehidupan. Seni
itu ia lambangkan sebagai piano yang terposisi anggun. Sekitar 45 tahun setelah lukisan itu lahir,
Getty Images dan AFP memunculkan foto karya Joe Raedle, yang suasana dan
materinya sama dengan lukisan Sudjojono itu. Perbedaannya, dalam karya
Sudjojono piano itu terlihat utuh dan hitam mulus, di tengah wilayah yang
jadi puing. Dalam fotografi Joe Raedle piano itu dalam keadaan hitam
terbakar, dengan latar belakang impresi kelabu jajaran gedung tinggi kota
Miami. Ketika disiarkan secara internasional pada
akhir Januari 2011, cerita piano misterius di dataran pasir Biscayne Bay itu
tidak terungkap jelas. Ada yang menduga penggeletakkan piano hangus tersebut
adalah bagian dari properti produksi video musik. Bersamaan dengan itu, tak
satu pun yang meyakini bahwa Joe Raedle pernah melihat lukisan “Reruntuhan
dan Piano” Sudjojono. Pelukis neo realisme Dede Eri Supria adalah
pemotret dinamika pembangunan kota besar. Untuk mencari kelengkapan cerita,
dan untuk menghidupkan tableaunya, ia membuat sangat banyak foto yang
dijepret dari berbagai sudut wilayah. Pada 1995 Dede mencipta lukisan “Di Antara
Rimba Beton”, yang obyeknya merupakan kompilasi dari 6 foto yang diambil dari
tempat-tempat berlainan. Ketika terangkum jadi satu cerita, lukisan itu
diberi narasi demikian : “Seorang pekerja bangunan pencakar langit Jakarta
menyaksikan sebuah kampung nun di bawah sana, yang semakin terhimpit gedung-gedung
digdaya.” (Dede – Elegi Kota Besar, 2001). Lukisan itu menjelma jadi satu foto ketika
Riza Fathoni memotret seorang pekerja proyek pembangunan superblok Kuningan
City di kawasan Casablanca. Foto yang diberi judul “Geliat Properti 2011” itu
dipublikasikan Kompas edisi 19 Januari 2011. Lukisan “Sosok Orang Jalanan” dicipta Dede
Eri Supria pada 1997. Karya ini menggambarkan seorang bapak dan anak sedang
gundah lantaran tak tahu apa yang harus dikerjakan. Di sekitarnya terlihat
silang seliut besi dan beton, yang menyebabkan cahaya matahari menembus tajam
di banyak sisi. Pada Kompas 1 Maret 2014, fotografer Bahana
Patria Gupta menyiarkan foto “Menunggu Perbaikan Sekolah Selesai”, yang
bercerita tentang para siswa SD Negeri Puncu II Kediri terpaksa belajar di
dalam ruang sekolah yang atapnya rusak berat akibat erupsi Gunung Kelud.
Suasana, atmosfer serta komposisi cahaya pada lukisan dan pada foto itu
mendekati kesamaan, sehingga foto seperti sebuah reinkarnasi kejadian yang
ada dalam lukisan. Majalah Tempo edisi 28 Januari 2019 memuat
foto karya Eggoy El Fitra dari Kantor Berita Antara. Foto itu memotret dari
angkasa sampah plastik yang memenuhi hamparan luas Pantai Padang, Sumatera
Barat. Pemandangan ini, menurut Badan Pusat Statistik, hanya sepotong dari
3,2 juta ton sampah yang dibuang orang Indonesia ke laut. Bagi pengamat
lingkungan, pembuangan sampah ke laut merupakan bentuk perundungan cinta
masyarakat Indonesia atas pantainya sendiri. Bagian terbesar dari visual foto artistik
ini segera membawa ingatan kepada lukisan Jackson Pollock, “Number 1-
Lavender Mist”, 1950 (koleksi National Gallery of Art Washington DC).
Lavender dalam judul itu tidak cuma merujuk jenis warna seperti dicatat
kritikus Clement Greenberg, tapi juga menghantar konten lukisan. Yakni ihwal
kesetiaan cinta seseorang (disimbolkan sebagai bunga lavender) yang dirundung
putus, hablur seperti kabut. Tidak beda dengan konten foto sampah di Pantai
Padang. Lalu simaklah foto jurnalistik Muhammad
Hidayat di Tempo edisi 26 Oktober 2020. Foto ini mengilustrasi berita
Deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), yang dilakukan di Tugu
Proklamasi Jakarta, 19 Agustus 2020. Adegan, suasana dan komposisi foto ini
ada kemiripan dengan (bagian tengah) lukisan “Zaporozhye Cossack Menulis
Surat Kritik dan Ejekan untuk Sultan Turki”, 1880-1881, ciptaan seniman Rusia
ternama Ilya Repin. Apabila pengamatan diteruskan, bukan cuma
aspek perupaannya yang mirip, tapi juga konten hasrat yang diusung
figur-figur dalam foto itu : mengkritik pimpinan sebuah pemerintahan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar