Membangun
Keadaban Politik Azyumardi Azra ; Profesor Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI |
KOMPAS,
18 Maret
2021
”So
let begin anew…remembering on all sides that [political] civility is not a
sign of weakness…Let us never negotiate out of fear, but let us never fear to
negotiate. Let us explore what [things] unite us…instead of those problems
divide us.” (John
F Kennedy, ”Inaugural Address”, 20/1/1961) Dua puluh tiga tahun setelah dilanda
gelombang demokrasi pada 1998, demokrasi Indonesia belum juga terkonsolidasi.
Fenomena pahit ini disebut Indonesianis, ilmuwan politik, pengamat, dan
aktivis terkait dengan kemerosotan demokrasi. Kemunduran demokrasi Indonesia mereka
sebut, antara lain, disebabkan kian berkurangnya kebebasan beraspirasi,
berbarengan dengan kebangkitan oligarki despotik dan transaksional. Selain
itu, terjadi kemerosotan tata kelola pemerintahan yang baik dengan korupsi
yang terus mewabah di tengah pandemi Covid-19. Indikator lain penyebab kemunduran
demokrasi adalah kehidupan partai politik yang tidak sehat. Meski reformasi
politik merambah banyak aspek politik, parpol bukan kian sehat, melainkan
dalam segi tertentu kian memburuk. Kemunduran demokrasi juga banyak terkait
dengan tidak terkonsolidasinya modal budaya dasar yang penting untuk membuat
masyarakat dan negara-bangsa bertahan dan mencapai kemajuan. Kelemahan modal
budaya dasar menyebabkan disrupsi proses politik dan pemerintahan; mengganggu
kehidupan sosial, budaya, dan agama dalam banyak lapisan masyarakat. Modal budaya dasar itu adalah keadaban
publik, yakni norma, standar atau ukuran sosial, budaya, dan agama tentang
perilaku individu dan komunitas. Keadaban publik menjadi pemandu cara warga
berpikir dan bertindak. Norma dan standar nilai berperilaku dan
bertindak dirumuskan dalam regulasi yang mengikat seluruh warga. Dengan
begitu, keadaban publik dapat ditegakkan secara hukum. Norma dan standar yang
tidak menjadi regulasi diadopsi sebagai social-cultural decorum—tingkah laku
sepatutnya yang bisa diterima semua warga. Bagian penting keadaban publik adalah
keadaban politik, yaitu cara berperilaku dan bertindak sesuai norma politik
seperti digariskan sistem politik, regulasi politik, konvensi politik, dan
political correctness. Keadaban politik juga adalah kepantasan, kepatutan,
dan kelaziman sosial, budaya, dan agama terkait perilaku dan tindakan politik
individu, atau kelompok, dan partai politik. Terkait itu, keadaban politik Indonesia
masih terus merosot. Fenomena ini, misalnya, terlihat dalam kegaduhan Partai
Demokrat. Tidak puas dengan kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY),
beberapa (mantan) elite Demokrat melakukan manuver politik yang mereka sebut
”kongres luar biasa” di Deli Serdang, Sumatera Utara, 5 Maret 2021. Dalam
waktu singkat, peserta ”KLB” memutuskan mengangkat Kepala Staf Kepresidenan
Moeldoko sebagai ketua umum [tandingan] Partai Demokrat. Bagi banyak kalangan, adalah absurd pejabat
tinggi mau menerima jabatan ketua umum Demokrat lewat pengambilalihan—atau
dalam terminologi ilmu politik disebut ”hijacking”, pembajakan. Seharusnya,
pejabat tinggi dan elite politik memberikan contoh baik keadaban politik. Juga absurd jika atasan langsung pejabat
tinggi itu, yaitu Presiden Joko Widodo, tidak mengetahui dan mencegah
Moeldoko ikut dalam aksi yang disebut kubu AHY sebagai inkonstitusional dan
ilegal. Presiden seharusnya tidak membiarkan terjadinya kegaduhan politik
yang melibatkan pejabat di lingkaran dalamnya. Presiden Jokowi patut menekankan agar
Demokrat menyelesaikan masalah internal secara berkeadaban. Dia juga perlu
menegaskan tak boleh ada pejabat pemerintah terlibat. Namun, Presiden tak
bicara terbuka soal Demokrat dan Moeldoko; hanya saja, menurut Menko Polhukam
Mahfud MD, ”Presiden Jokowi kaget, tetapi happy-happy saja” saat mengetahui
kasus ini (Kompas.com, 11/3/2021). Apa yang terjadi di seputar kasus Demokrat
terkait dengan ketiadaan keadaban politik. Karena itu, keadaban publik dan
keadaban politik harus ditanam guna menumbuhkan budaya kewargaan dalam
hubungan antarwarga di ranah publik; sikap dan perilaku politik berkeadaban
vis-à-vis kekuasaan dalam sistem demokrasi. Demokrasi bisa tumbuh baik dan
terkonsolidasi jika terdapat keadaban publik dan budaya kewargaan yang kuat.
Demokrasi bisa vibran dan dinamis dengan dukungan dan keterlibatan masyarakat
sipil sebagai kekuatan kontrol serta pengimbang rezim dan elite politik yang
cenderung oligarkis dengan mengabaikan keadaban politik. Bagaimana membangun keadaban politik agar
demokrasi dapat terkonsolidasi lebih baik? Jelas hanya dengan keadaban
politik yang kuat dapat terwujud keadaban publik untuk memajukan kehidupan
negara-bangsa. Untuk kepentingan mendesak hari ini,
pejabat publik dan elite politik seharusnya menerapkan keadaban politik yang
digariskan berbagai regulasi, norma, dan standar hubungan antarwarga. Pejabat
publik dan elite politik sepatutnya menghindarkan diri dari praktik politik
tidak berkeadaban atau politik barbarik. Untuk itu, para pejabat publik dan elite
politik perlu mendapat sosialisasi penerapan keadaban politik. Pejabat publik
terpilih melalui pemilu nasional atau lokal (pilkada) tidak bisa dianggap
mengetahui baik berbagai aspek keadaban publik. Banyak di antara mereka tidak
memiliki rekam jejak kepemimpinan publik memadai karena berasal dari
lingkaran oligarki dinastik atau sektor usaha yang bukan tidak sering
menerabas norma keadaban politik. Keadaban publik—sekaligus keadaban
politik—juga patut disosialisasikan lewat semua lembaga pendidikan.
Sosialisasi dilakukan tidak dengan pemberian ilmu pengetahuan belaka; tetapi
lebih penting lagi dengan mempraktikkan keadaban publik sepanjang proses
pendidikan dan pembelajaran yang mesti kian demokratis. Keluarga merupakan lokus pertama dan utama
pembentukan keadaban publik setiap anggota rumah tangga. Oleh karena itu,
perlu pemberdayaan keluarga sebagai lokus pendidikan kewargaan dan keadaban. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar