Rabu, 17 Maret 2021

 

Kartelisasi Oligarkis, Melampaui Demokrat

 Boni Hargens  ; Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia

                                                        KOMPAS, 16 Maret 2021

 

 

                                                           

Apa untungnya mendiskusikan prahara Partai Demokrat? Bukankah publik sudah muak dengan konflik elite yang sering kali terjadi di saat rakyat lelah bertarung dengan nasibnya? Apa pelajaran yang bisa kita petik (lesson-learned) dari kisruh ini?

 

Konsep ”otonomi relatif” dalam teori politik biasanya berkaitan dengan eksistensi dan otonomi negara.

 

Basis argumentasinya berangkat dari tesis bahwa totalitas sosial memiliki empat praktik berbeda yang terpisah—praktik ekonomis, politik, ideologis, dan teoretis—tetapi selalu terjadi dalam kombinasi meski setiap praktik memiliki otonomi sendiri (McLean & McMillan, 2009).

 

Otonomi relatif

 

Marx dan Engels dulu memahami ”otonomi relatif” dalam konteks Leninisme-Marxisme Soviet, di mana negara merupakan epifenomenon yang semua tindakannya tereduksi oleh aktivitas ”bangunan dasar” (basis ekonomi) dalam relasi ”infrastuktur” versus ”suprastruktur” atau, dalam terjemahan lain, ”bangunan bawah” versus ”bangunan atas”.

 

Diskusi tentang ”otonomi relatif” dipopulerkan pada abad ke-20 oleh Poulantzas dalam karyanya berjudul Political Power and Social Classes (1968). Ia meletakkan konsep itu dalam kerangka ”negara kapitalis modern”, di mana kekuasaan berada di tangan mereka yang tak punya pengetahuan politik dan roh kekuasaan merepresentasi kepentingan pasar.

 

Dalam hal ini, Poulantzas melihat negara sebagai ”kapitalis kolektif” yang memakai mekanisme ”pemilu” sebagai legitimasi untuk tujuan ekonomis.

 

Demokrasi modern berhadapan dengan faktum politik tersebut. Banyak ahli mengadopsi teori oligarki (Winters, 2011) dalam memahami fenomena dominasi pemodal dalam demokrasi liberal. Yang lain memakai teori Partai Kartel (Katz & Mair, 1995, 2009) karena melihat kecenderungan eksklusivisme partai politik yang gandrung membangun tembok pemisah dengan massa pendukungnya dan membangun konspirasi lintas partai dalam rangka monopoli sumber daya negara.

 

Di harian ini (Kompas, 28/3/2020), saya pernah mengusung konsep ”kartelisasi oligarkis” sebagai tawaran konseptual memahami dinamika partai politik di Indonesia sesudah Soehartoisme—yang notabene diambil dari disertasi doktoral berjudul ”Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia” (2019) di Universitas Walden, Amerika Serikat.

 

Sintesis dasarnya bahwa partai-partai bersekongkol dalam ”merampas” sumber daya negara dan membangun tembok yang memisahkan mereka dari masyarakat akar rumput.

 

Dalam fenomena kartelisasi oligarkis, masyarakat cenderung melihat urusan elitis tak lebih penting dari sinetron televisi. Perasaan ”terpisah” itu membentuk persepsi partikuler bahwa apa pun yang terjadi dengan elite politik bukanlah urusan rakyat jelata.

Itu sebabnya, saya pesimistis hiruk-pikuk internal Partai Demokrat ini bakal menyedot simpati khalayak luas. Bukan karena Demokrat tidak penting, melainkan karena itu perkara elitis yang lumrah dalam praksis kepartaian di Indonesia.

 

Harusnya Demokrat gelisah dengan dirinya dalam konteks ”ketidakhadiran partai” dalam membangun demokrasi yang bebas dari cengkeraman oligarki. Hanya di ruang itulah partai berhak meraih simpati publik.

 

Akan tetapi, kalau berbicara konflik partai an sich, Demokrat seharusnya tak terkejut. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu ribut keras. Pemerintah ketika itu hanya ”diam” ketika keluarga Gus Dur (Abdurrahman Wahid) ”digusur” dari partai yang dibangunnya.

 

”Dicuri dengan bantuan pemerintah,” ujar Gus Dur (15/4/2008) dalam pidatonya seusai konflik PKB yang dimenangi Muhaimin Iskandar, sebagaimana terekam dalam video yang kembali beredar di dunia maya sejak 7 Maret 2021.

 

Apakah secara legal-formal pemerintah betul mencuri PKB ketika itu? Tentu tidak! Pemerintahan SBY betul-betul ”diam” dan menghargai (atau berlindung di balik?) proses hukum dalam menanggapi konflik itu. Memang sudah seharusnya begitu.

 

Dengan logika yang sama, tudingan Istana Jokowi dalang di balik wayang di Sibolangit juga tidak punya basis argumentasi material. Sengketa hukum adalah ranah yudikatif, bukan eksekutif.

 

Preseden sejarah membuktikan SBY pernah memberi teladan yang baik soal itu. SBY diam soal PKB, meski dalam diam, ia sukses meraih dukungan PKB kala itu. Kalau belakangan banyak yang mengaitkan kisruh ini dengan konflik masa lalu, itu wajar saja meski SBY tentu menolak keras. ”… Selama 10 tahun saya memimpin Indonesia… tidak pernah mengganggu dan merusak partai lain,” aku SBY saat konferensi pers, Jumat (5/3/2021).

 

Tahun 1973, Soeharto melakukan fusi partai politik. Semua partai dipaksa melebur: yang nasionalis sekuler bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan yang nasionalis religius dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fusi merupakan strategi penggembosan partai untuk membesarkan ”boneka demokrasi” Golongan Karya (Golkar) masa itu. Apakah ada pengakuan soal penggembosan itu?

 

Namun, sejujurnya, Istana sulit mengelak dari spekulasi acak. Posisi Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) membuka ruang lebar bagi pelbagai macam tudingan. Maka, setelah drama Sibolangit, Istana akan lebih ringan bebannya jika Partai Demokrat versi kongres luar biasa (KLB) dipimpin oleh sosok yang berjarak dengan Istana atau sebaliknya.

 

Faksionalisasi

 

Faksionalisasi internal adalah problem yang lumrah dalam organisasi politik di mana pun di dunia. Hal itu selalu berkorelasi positif dengan kedewasaan organisasi dalam aspek manajemen kepemimpinan, termasuk relasi elite-akar rumput dalam tubuh partai.

 

Maka, untuk menemukan lesson-learned, kita perlu membaca pertikaian partai melampaui horizon. Partai-partai di Indonesia masih rentan dengan konflik internal. Itu semua refleksi dari krisis dalam hal manajemen organisasi, metode kaderisasi yang modern, relasi elite-basis dalam tubuh partai, termasuk kualitas kepemimpinan.

 

Budaya politik

 

Eksistensi partai, berikut kualitas keberadaannya, berkelindan dengan budaya politik masyarakat. Kalau memakai perspektif Almond dan Verba (1963), mayoritas masyarakat Indonesia sebetulnya bergerak dari fase parokial menuju fase subyektif dan sebagian kecil sudah pada fase partisipatif. Mayoritas pemilih masih absen dari ruang partisipasi publik karena beragam alasan.

 

Dalam situasi ini, kerja partai amat fundamental dalam hal pendidikan politik. Kisruh partai adalah pantulan kerapuhan partai dalam mewujudkan tujuan ontologisnya sebagai ”agen perubahan” dalam negara demokrasi.

 

Padahal, tugas partai hari ini makin rumit. Kompleksnya ”ruang publik baru” dalam era post-truth menuntut kecerdasan sosial partai dalam merespons dinamika dan tantangan yang muncul di tengah masyarakat politik.

 

Kalau partai terus sibuk dengan keributan elitis, bisa dipastikan partai bakal absen dari agenda pencerdasan ruang publik dan tentunya peluangnya besar untuk ditinggal pemilih.

 

Butuh inovasi dalam berpikir dan bertindak untuk beradaptasi dengan lingkungan politik yang makin dinamis. Partai masa depan adalah partai yang memiliki kapabilitas untuk beradaptasi dengan konteks. Dominasi generasi milenial dalam piramida demografis pemilih akan dengan sendirinya memaksa partai juga berevolusi dengan zaman.

 

Faksionalisasi bisa terjadi kapan saja pada partai apa saja. Namun, faksionalisasi yang tiada henti berpengaruh signifikan terhadap ketahanan demokrasi sebagai tatanan politik. Untuk itu, semua partai perlu memikirkan sejumlah hal dasar.

 

Pertama, penguatan manajerial di tubuh partai. Kedua, pembenahan kualitas kepemimpinan. Ketiga, perbaikan pola komunikasi elite partai dan massa akar rumput. Keempat, perlunya implementasi prinsip demokrasi di dalam tubuh partai dalam hal diferensiasi peran dan sirkulasi kekuasaan untuk menghindari oligarkisasi dan praktik dinasti.

 

Kelima, memanggil kembali secara reguler visi-misi partai dan kesinambungannya dengan falsafah negara Pancasila supaya partai sungguh berusaha menjadi agensi ideologis dan politik dalam menjaga konstitusi, dasar negara, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar