Menyikapi
Varian Baru Covid-19 Djoko Santoso ; Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Ketua
Pengurus Badan Kesehatan Dewan MUI Provinsi Jawa Timur, Penyintas Covid-19 |
KOMPAS,
25 Maret
2021
Setelah satu tahun pandemi Covid-19 kita
lalui, titik terang terasa menjauh lagi. Merujuk ke data di Satgas Penanganan
Covid-19, tampaknya memang puncak kurva telah kita lalui. Begitupun puncak
kurva global sempat melandai drastis. Namun, pelan-pelan kurva itu naik lagi. Data Satgas menunjukkan, puncak kurva
tercapai 30 Januari 2021, saat penambahan kasus harian sebanyak 14.518 kasus
baru, dan 13 Maret lalu penambahan kasus harian turun drastis menjadi 4.607
kasus baru. Sebagai pembanding, pada saat yang sama,
Brasil sedang menyalip India dalam perebutan ranking kedua negara dengan
kasus positif terbanyak di dunia. Data Worldometer 19 Maret, peringkat
pertama masih tetap dipegang Amerika Serikat dengan 30.357.255 kasus, hampir
10 persen dari penduduk AS yang 332 juta. Apakah penurunan drastis ini disebabkan
telah dimulainya vaksinasi massal sejak 13 Januari lalu? Secara umum bisa
dikatakan vaksinasi berjalan dengan baik, tanpa kendala menonjol. Memang ada
kasus vaksin AstraZeneca yang ditunda pemakaiannya di beberapa negara, tetapi
vaksin-vaksin Covid-19 tetap tak terkendala berarti. Dalam dua bulan sampai
13 Maret, vaksinasi dosis pertama sudah menjangkau 3.985.596 orang, dan dosis
kedua 1.454.836 orang. Mereka ini para tenaga medis yang jadi
prioritas tahap pertama, serta lansia dan pekerja publik untuk tahap kedua.
Common sense mengatakan, meski bukan faktor utama, vaksinasi pastilah
berkontribusi pada penurunan angka kasus harian. Faktor lain yang bisa
berperan lebih besar, konsistensi penerapan pembatasan sosial, 3T dan 3M
secara ketat. Akan tetapi, jika dilihat, kurva kasus
positif harian yang turun drastis, ini agak mencengangkan. Hal ini bisa
memunculkan rasa percaya diri yang berlebihan, yang bisa bikin lengah.
Misalnya, ada daerah yang mulai merencanakan mengakhiri kebijakan pembatasan
sosial, mau segera membuka tempat hiburan, mengizinkan mudik saat libur
panjang, atau mengendurkan kontrol terhadap hajatan massal tak berizin, dan
sebagainya. Sedihnya lagi, terjadinya kasus-kasus kerumunan yang melibatkan
penguasa atau orang kaya yang tak tersentuh penegakan hukum nan adil dan
beradab. Kurva melandai jangan direspons secara
sembrono. Apalagi dengan pembiaran terhadap pelanggar protokol kesehatan
kelas berat seperti hajatan massal, atau membiarkan mudik libur panjang.
Sangat riskan. Kurva yang sudah mulai menurun kini terasa naik lagi. Apalagi,
kita tengah menghadapi serbuan varian baru hasil mutasi SarCov-2. Beberapa
varian baru yang sudah terdeteksi masuk ke Indonesia antara lain B-117 dari
Inggris, N349K, dan D614G. Kurva yang melandai itu kini mulai
terganggu lagi secara global, karena. sejak 23 Februari naik lagi. Dari di
bawah 300.000 kasus per hari kini mendekati 500.000 kasus (19 Maret).
Kematian per hari juga naik turun dari 6.000-an menjadi mendekati 10.000.
India yang sempat turun ke 8.000-an, kini melonjak ke 36.000-an per hari (19
Maret). Kematian juga merangkak naik. Kurva Indonesia juga belum stabil. Pada 19
Maret, ada 6.570 kasus baru dan 227 kematian. Bandingkan dengan 13 Maret,
4.607 kasus baru dan 100 kematian. Karena itu, terlalu dini untuk kendurkan
ikhtiar. Varian
”siluman” Tentang mutasi Covid-19, ini tidak unik.
Pada dasarnya semua virus berupaya untuk terus bermutasi menjadi varian baru.
Ini hukum dasar survival of the fittest, pelestarian diri dengan beradaptasi.
Perubahan genetik terjadi saat virus membuat salinan baru dari dirinya
sendiri untuk menyebar, bertahan dari gempuran tentara tubuh, memodifikasi
dan memperbarui daya serangnya. Hasilnya ada beberapa varian baru yang
lebih cepat menular atau lebih ganas. Mutasi inilah yang terjadi pada varian
Afrika Selatan yang disebut dengan kode 501.V2 atau B.1.351. Varian ini
awalnya masuk ke Inggris dan cepat sekali menyebar dan menimbulkan kekhawatiran
karena menyumbang 90 persen kasus positif baru di negara itu. Setelah varian
ini masuk ke Inggris kemudian menyebar cepat ke puluhan negara lain, termasuk
ke Indonesia. Varian B.1.1.7 diumumkan sudah masuk ke
Indonesia oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono pada 2 Maret, terdeteksi
pada enam orang di Sumsel, Sumut, Kaltara, dan Kalsel. Dua di antaranya baru
pulang dari Arab Saudi. Menurut keterangan, varian B.1.1.7 ini lebih cepat
menular 50-74 persen dari virus induknya. Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman,
Amin Soebandrio, menjelaskan, belum ada laporan terkait pengaruh varian
B.1.1.7 pada vaksin yang sudah digunakan di Indonesia, khususnya produk
Sinovac. Jadi, untuk sementara vaksin ini diyakini
masih efektif untuk menumbuhkan kekebalan pada kasus mutasi baru varian
B.1.1.7. Akan tetapi, jika nanti keluar laporan yang menyebut bahwa varian
baru ini menurunkan keampuhan vaksin yang sudah disuntikkan, situasinya bisa
lebih rumit. Mutasi lain yang perlu diwaspadai adalah
varian N349K, yang sejauh ini terdeteksi sudah menyebar ke setidaknya 30
negara. Jubir program vaksinasi Kemenkes, Siti Nadia, mengatakan, kewaspadaan
diperlukan karena sudah ada satu publikasi di jurnal yang menyebutkan varian
ini lebih kuat menempel ke sel reseptor. Sebenarnya varian N349 ini lebih dulu
terdeteksi masuk ke Indonesia daripada B.1.1.7. Kemenkes sudah mendeteksi
sejak akhir November 2020 dan langsung melaporkannya ke Global Initiative on
Shaaring All Influenza Data (GISAID), dan sekarang dalam tahap kajian oleh
WHO. Akan tetapi, rupanya WHO merekomendasikan agar lebih memperhatikan
mutasi B.1.1.7 dari Inggris, B.1.351 dari Afrika Selatan, dan B.1.1.248 dari
Brasil. Ketua IDI Daeng M Faqih menekankan
pentingnya mewaspadai N349K. Selain lebih kuat mengikatkan diri pada sel
reseptor ACE2 di sel manusia, varian ini juga pintar bersembunyi. Akibatnya,
virus mutan ini tak dikenali oleh antibodi poliklonal (kumpulan molekul
imunglobulin yang bereaksi teradap antigen spesifik) yang terbentuk pada
imunitas orang yang pernah terinfeksi sebelumnya. Secara teori, orang yang sudah terinfeksi
virus dan bisa bertahan, di tubuhnya terbentuk kekebalan alami, dan memorinya
merekam data tentang si virus. Jika suatu saat terinfeksi lagi oleh virus
yang sama, memori sistem kekebalan tubuhnya akan cepat mengenali dan langsung
membasminya. Akan tetapi, N349K ini mirip ”siluman”
sehingga tidak terdeteksi oleh sistem kekebalan tubuh yang sudah terbentuk
itu. Ini bagaikan pesawat tempur ”Stealth” F35 milik AS yang menggunakan
material logam dengan pelapis tertentu yang mengakibatkan tidak terdeteksi
oleh sistem radar lawan, sehingga bisa menyerang target tanpa ketahuan. Dengan kurva terancam naik lagi dan
bergentayangannya mutan-mutan Covid-19, jelas kita masih dalam posisi
terancam. Kekhawatiran terbesar jika virus varian baru ini tak mempan dicegah
vaksin yang sudah ada. Artinya, vaksin yang sudah ada ini hanya ampuh untuk
menghadapi virus generasi awal, sehingga diperlukan rekayasa atau modifikasi
untuk memperbarui vaksin. Padahal, pengembangan vaksin butuh waktu lama.
Normalnya 10-15 tahun. Pandemi sekarang sangat darurat sehingga
proses pengembangan vaksin juga dipercepat dan sertifikasinya pun berupa izin
penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA). Sudah begitu, vaksin ini
ada umurnya. Diberitakan, salah satu vaksin yang sudah memperoleh izin
penggunaan, mampu memberikan kekebalan dalam waktu enam bulan saja. Ini lebih
singkat dibanding vaksin flu yang umur ampuhnya satu tahun sehingga jika
pandemi korona masih belum sirna, penerima vaksin harus mengulang vaksinasi
lagi. Gotong
royong nan adil Melihat beratnya jika kemungkinan di atas
terjadi, seharusnya semua pihak bisa gotong royong berupaya mengatasi dan
mengantisipasi perkembangan berisiko ini. Gotong royong ini harus adil. Semua pihak, baik jelata maupun penguasa,
ikut berpartisipasi dalam menahan diri dan berbagi dalam penanganan pandemi.
Vaksinasi jelas sangat membantu, tetapi bukan senjata pemungkas. Cara konvensional, yakni tracing
(penelusuran kontak) dan testing spesimen harus semakin dimaksimalkan
sehingga jumlah per harinya bisa terus meningkat, dan datanya kian akurat
mendekati fakta sebenarnya, semakin kecil data yang tersembunyi atau sengaja
disembunyikan. Semua pihak, termasuk orang-orang berkuasa,
harus tetap konsisten mematuhi protokol kesehatan, dan penegakan hukumnya
harus memantulkan keadilan tanpa pilih kasih. Kita belum bisa memastikan kapan pandemi
ini akan berakhir. Sepertinya titik terang di lorong pandemi terasa menjauh.
Dulu, April 2020, ada seorang pengusaha survei politik yang sembrono dan
jumawa, tiba-tiba merasa sebagai epidemiolog, mengatakan bahwa pandemi
Covid-19 akan berakhir Juni 2020, dengan cara meramal yang tak masuk akal. Tak seharusnya kesembronoan seperti itu
dapat tempat. Seharusnya kita menjadi makin pintar dan berpengalaman.
Melampaui ”kecerdasan” Covid-19. Untuk itu, biarkan saintis yang berkompeten
yang bicara. Kita bisa iri jika melihat keberhasilan
Selandia Baru atau Taiwan yang bisa menekan pandemi sampai titik terendah,
tak ada kasus positif baru. Mengacu pada keberhasilan beberapa negara tadi,
maka faktor penahan penyebaran pandemi yang paling kuat adalah budaya dan
perilaku masyarakat, serta konsistensi sikap pemerintahnya dalam penegakan
protokol kesehatan. Di sinilah bedanya dengan kita, masyarakat
kita rata-rata relatif mudah diatur dengan ancaman sanksi. Sayangnya, justru
orang-orang yang punya kekuasaan sering mengundang sinisme karena terkesan
bebas-bebas saja membuat pelanggaran larangan berkerumun. Dalam kekalutan,
juga masih ada yang tega berbuat nista dengan mengorup dan memainkan dana
pandemi. Disiplin perilaku personal, perilaku
(budaya) masyarakat dan perilaku aparatur negara, terbukti lebih ampuh
daripada penerapan kebijakan penguncian ketat (lockdown). Survei yang
dilakukan Imperial College London pada Juni 2020 mengungkap fakta bahwa di 53
negara yang menerapkan pembatasan sosial dan protokol kesehatan secara ketat
saat itu, belum ditemukan lonjakan infeksi sebesar yang diperkirakan
berdasarkan data sebelumnya. Negara yang cukup berhasil menaati protokol
kesehatan tersebut, sekarang pembatasan sosialnya sudah mulai dilonggarkan. Penerapan pembatasan sosial berskala mikro,
berupa PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat), yang diterapkan di
Indonesia, juga mulai menunjukkan hasil. Terjadi penurunan kasus baru sejak
PPKM diterapkan Februari lalu karena pengisolasian dilakukan selektif di
spot-spot, dari RT/RW sampai skala rumah, tempat kasus positif. Seleksi juga dilakukan pada orang-orang positif
Covid-19 untuk dibawa ke rumah sakit, yakni yang bergejala sedang dan berat
saja. Yang tak bergejala dan bergejala ringan diisolasi di rumah dengan
dibantu kebutuhannya. Penerapan PPKM, ditambah vaksinasi, dan penegakan
protokol kesehatan terlihat makin efektif menekan penularan. Ikhtiar semacam itu mendapat dukungan model
matematika Osmar Pinto Neto berupa strategi pembatasan jarak sosial dikurangi
secara bertahap, dan pemberlakuan protokol kesehatan secara ketat. Neto
menjelaskan, jika 50–65 persen orang bisa berhati-hati di area publik, misal
tetap memakai masker dan cuci tangan, maka cara ini cukup untuk menggantikan
penerapan jaga jarak sosial. Sekaligus dapat membantu mencegah gelombang
penyebaran infeksi lebih lanjut selama dua tahun ke depan, dan wabah akan
menurun. Jadi, menghadapi ancaman varian virus yang
baru, mau tak mau kita harus mengulang ajakan klise: perbanyak tracing dan
testing spesimen, patuhi protokol kesehatan, dan pemerintah harus
menegakkannya tanpa pandang bulu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar