Rabu, 17 Maret 2021

 

Orbit Geostasioner dan Lemahnya Postur Hukum Keantariksaan Indonesia

 Alif Nurfakhri Muhammad  ; Dosen Hukum Internasional Publik di FHUI, Peneliti Senior Bidang Hukum Udara dan Angkasa pada Center for International Law Studies UI

                                                        KOMPAS, 16 Maret 2021

 

 

                                                           

Kisruh slot orbit geostasioner Indonesia yang terancam diambil kembali oleh International Telecommunications Union menjadi cerminan masalah yang lebih besar dalam dunia keantariksaan Indonesia.

 

Dalam sejarahnya, Indonesia telah berusaha mengklaim slot orbit geostasioner menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia melalui konsep kedirgantaraan. Namun, konsep itu bertentangan dengan komitmen Indonesia pada Outer Space Treaty yang pada Pasal IV mengatur bahwa tidak ada negara yang dapat mengklaim bagian apa pun di ruang angkasa.

 

Orbit geostasioner merupakan posisi orbit yang strategis, khususnya untuk menempatkan satelit komunikasi dan pertahanan. Pada orbit ini, satelit yang ditempatkan akan tetap berada di atas bagian permukaan Bumi tertentu dalam orbitnya. Suatu negara dapat memperoleh slot orbit geostasioner dengan melakukan pengajuan kepada International Telecommunications Union (ITU).

 

Dalam pengajuan ini, negara tersebut harus memberikan proposal perencanaan yang mendetail mengenai satelit apa yang akan ditaruh, berapa lama masa operasinya, spesifikasi teknis satelit, serta penggunaan dan operator yang akan diberikan hak penggunaannya.

 

Pengajuan ini diterima oleh ITU dengan prinsip first come, first serve, maksudnya adalah siapa yang mendaftarkan pengajuan terlebih dulu, negara pendaftar akan mendapatkan prioritas alokasi slot orbit.

 

Setelah memperoleh alokasi tersebut, negara yang mengajukan dan operator yang akan melaksanakan kegiatan memiliki waktu tujuh tahun sejak tanggal disahkannya alokasi untuk menempatkan satelit. Jika negara tidak memastikan bahwa slot orbit yang didapatkan digunakan untuk orbit satelit, negara itu akan kehilangan hak penggunaan dan alokasi orbit geostasioner.

 

Indonesia, sebagai negara yang telah mendapatkan alokasi slot orbit 123 derajat Bujur Timur sejak 2000 memberikan slot ini kepada PT ACeS untuk pengoperasian satelit Garuda-I. Namun, karena alasan teknis, pada 2015, satelit ini mengalami proses deorbit dari orbit geostasioner yang telah dialokasikan untuk Indonesia.

 

Pada tahun yang sama, Indonesia memberikan alokasi orbit ini untuk Kementerian Pertahanan yang telah mengajukan permohonan penggunaan orbit sejak 2013, yang selanjutnya menyewa dan memindahkan satelit Artemis milik Avanti Communications ke posisi orbit 123 derajat selama Kementerian Pertahanan mempersiapkan satelitnya sendiri sebagai bagian dari Proyek Satkomhan.

 

Masalah muncul ketika Kementerian Pertahanan tak dapat menyelesaikan pembayaran sewa satelit Artemis kepada Avanti Communications. Avanti kemudian memindahkan satelit Artemis keluar dari orbit 123 derajat pada 2017, yang membuat ITU memberikan peringatan kepada Indonesia bahwa Indonesia memiliki waktu hingga 2024 untuk dapat mengisi kembali slot 123 derajat dengan satelit barunya, dan hingga saat ini Indonesia belum dapat mengisi kembali slot orbit geostasioner 123 derajat.

 

Terkait telekomunikasi

 

Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat beberapa masalah hukum keantariksaan dan telekomunikasi yang dapat dianalisis. Pertama, pengajuan alokasi slot orbit geostasioner yang dilakukan Kementerian Pertahanan belum dilakukan dengan perencanaan yang jelas. Perencanaan yang kurang jelas ini merupakan bukti bahwa pengaturan mengenai permohonan pengajuan alokasi slot orbit di Indonesia masih belum dilengkapi dengan sistem pengawasan yang sesuai.

 

Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum dan Frekuensi Radio dan Orbit Satelit mensyaratkan, permohonan pengajuan alokasi orbit sekurang-kurangnya memuat parameter teknis, seperti rencana lokasi satelit pada orbit, daerah cakupan, dan frekuensi radio.

 

Kemudian, pada Pasal 26 Ayat (3) Peraturan Menteri Kominfo Nomor 21 Tahun 2014, persyaratan tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan mencakup rencana penggunaan satelit, rencana bisnis, dan rencana pembiayaan pengadaan satelit. Namun, dokumen-dokumen persyaratan ini belum dilengkapi dengan pembuktian keuangan badan usaha atau lembaga negara yang stabil dan lancar (financial solvency).

 

Peraturan yang ada juga belum dilengkapi dengan sistem pengawasan dan audit keuangan yang cukup untuk memastikan bahwa pemohon merupakan badan usaha atau lembaga negara yang stabil secara keuangan untuk dapat meluncurkan dan menempatkan satelitnya pada orbit tersebut.

 

Dari sisi pemerintah, seharusnya PP No 53 dan peraturan turunannya ini memastikan bahwa slot orbit geostasioner tetap terisi, dengan mengamanatkan suatu mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah untuk selalu menempatkan satelit pada slot-slot tersebut agar ”Jam Tujuh Tahun” itu untuk slot orbit geostasioner Indonesia tidak berdetak.

 

Hal lain yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kehilangan slot ini adalah dengan memiliki satelit negara yang siap luncur dalam waktu kurang dari dua tahun sejak kosongnya salah satu slot orbit geostasioner Indonesia.

 

Kebijakan keantariksaan

 

Masalah lain yang dapat diangkat dari jabaran kasus tersebut adalah belum jelasnya pemetaan kebijakan keantariksaan nasional Indonesia (national space policy), khususnya dalam hal pemetaan dan penjaminan keterisian slot orbit geostasioner Indonesia.

 

Pasal 9 UU Keantariksaan Nomor 21 Tahun 2013 mengamanatkan bahwa lembaga terkait (dalam hal ini Lapan) setiap tahun membentuk suatu kajian untuk menyusun kebijakan keantariksaan nasional. Hal ini sangat diperlukan untuk memetakan bagaimana alokasi slot orbit geostasioner Indonesia, orbit yang strategis, tetap terisi, baik untuk digunakan oleh pemerintah maupun pihak swasta.

 

Suatu kebijakan keantariksaan nasional tentunya harus memiliki beberapa materi muatan penting yang memberikan fokus pengembangan teknologi dan regulasi keantariksaan Indonesia. Selain dari pengembangan sains, keselamatan dan keamanan, atau kegiatan komersial keantariksaan, hal yang paling penting dirumuskan dalam kebijakan ini adalah perihal pertahanan dan keamanan.

 

Pertahanan dan keamanan sangat berkaitan dengan terancam hilangnya slot orbit geostasioner Indonesia karena slot orbit yang terancam hilang ini telah diperuntukkan bagi Satelit Komunikasi Pertahanan, seharusnya merupakan materi yang fundamental dalam penyusunan kebijakan keantariksaan nasional.

 

Terakhir, absennya suatu kebijakan keantariksaan nasional dapat disebabkan ketidakhadiran suatu dewan penasihat yang seharusnya merumuskan arah kebijakan-kebijakan tersebut.

 

Dewan ini, seharusnya memetakan postur teknologi dan regulasi keantariksaan serta menentukan arah dan fokus kegiatan keantariksaan nasional yang dituangkan dalam suatu Buku Putih Kebijakan Keantariksaan Nasional. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan pembentukan kembali Dewan Penerbangan dan Keantariksaan Nasional yang telah dinonaktifkan pada 2014. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar