Rabu, 24 Maret 2021

 

Kebijakan Makroprudensial dan Pemulihan Ekonomi

 Kristianus Pramudito Isyunanda  ;  Penjabat Penasihat Hukum di Departemen Hukum Bank Indonesia

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia bulan Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day reverse repo rate (BI-7DRR) pada angka 3,5 persen setelah menurunkannya bulan lalu 25 basis poin.

 

Pergeseran suku bunga acuan ke titik yang semakin rendah memang dapat mempersempit ruang penurunan lebih lanjut. Penentuan suku bunga acuan yang terlalu rendah akan memengaruhi efektivitas dampaknya (effective lower bound).

 

Jika dicermati lebih mendalam, BI telah melengkapi BI-7DRR dengan kebijakan terpadu guna memperkuat pemulihan ekonomi dari dampak pandemi, salah satunya melalui penyesuaian kebijakan makroprudensial. BI melonggarkan ketentuan uang muka kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor (KKB) dan rasio nilai pinjaman atau pembiayaan terhadap nilai agunan berupa properti (loan-to-value/LTV dan financing-to-value/FTV).

 

Uang muka KKB ditentukan paling sedikit sebesar nol persen, sedangkan rasio LTV dan FTV paling tinggi sebesar 100 persen bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu atas performa aset kredit, efektif per 1 Maret 2021 sampai dengan 31 Desember 2021.

 

Kebijakan makroprudensial yang akomodatif diperlukan bagi pemulihan ekonomi yang masih menghadapi risiko penyebaran Covid-19. Relaksasi ketentuan makroprudensial yang diambil BI juga sejalan dengan stimulus fiskal pemerintah berupa insentif perpajakan. Kebijakan BI dan pemerintah yang semakin terpadu ini diyakini bisa menambah daya ungkit laju perekonomian.

 

Kebijakan kontra-siklikal

 

Konsep makroprudensial lahir sejak tahun 1970-an, tetapi baru mencuat menjadi komponen kebijakan yang penting setelah krisis finansial global tahun 2008. Pengaturan makroprudensial mulai banyak digunakan oleh otoritas bank sentral guna merestrukturisasi dampak krisis 2008, serta untuk memitigasi risiko sistemik dalam sistem keuangan.

 

Pendekatan makroprudensial hadir melengkapi pengaturan mikroprudensial terhadap setiap lembaga keuangan. Misi utama kebijakan makroprudensial tidak berbeda dari kebijakan moneter, yaitu untuk mengendalikan dinamika dalam siklus perekonomian. Kerangka kebijakan makroprudensial bersifat kontra-siklikal.

 

Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi tinggi, kebijakan makroprudensial berfungsi mengendalikan sistem keuangan agar tak terlampau agresif dan pada akhirnya dapat memicu krisis. Sebaliknya, kebijakan makroprudensial dapat mendukung pemulihan dari pelemahan ekonomi dengan mendorong intermediasi keuangan yang seimbang dan berkualitas.

 

Keseimbangan

 

Kredit perbankan perlu tumbuh secara memadai guna mendukung perputaran roda perekonomian dan menjaga keseimbangan dalam sistem keuangan. BI-7DRR telah dipasang rendah dan berbagai upaya pelonggaran likuiditas pun telah ditempuh demi mengatasi dampak pandemi terhadap kredit dan pembiayaan.

 

Namun, respons suku bunga kredit perbankan masih terbatas dan ruang peningkatan kredit masih diperlukan demi menjaga momentum pemulihan. Kondisi ini perlu disikapi dengan kebijakan dari aspek lain. Pelonggaran pada aspek makroprudensial dapat memberikan dorongan bagi pertumbuhan permintaan kredit karena memudahkan debitor mengakses pembiayaan dalam sistem keuangan.

 

Berkaca dari hasil survei permintaan dan penawaran pembiayaan perbankan oleh BI, saldo bersih tertimbang penyaluran kredit baru diprakirakan sebesar 67,4 persen di triwulan I-2021. Angka tersebut memberikan optimisme bahwa upaya BI untuk meningkatkan permintaan kredit akan disambut dengan penawaran kredit secara berimbang.

 

Pertumbuhan permintaan kredit sebagai sasaran kebijakan juga berpotensi memberikan efek pengganda berupa pertumbuhan bisnis di sektor riil. Tersedianya pendanaan bagi debitor akan merangsang kegiatan ekonomi. Di sisi lain, ketahanan sektor keuangan harus tetap dipelihara. Implementasi kebijakan akomodatif ini wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

 

Kebijakan terpadu

 

Instrumen makroprudensial telah digunakan BI dalam mengatasi dampak pandemi terhadap perekonomian sedari awal. Tahun lalu, penurunan giro wajib minimum (GWM) di aspek moneter yang dikombinasikan dengan modulasi tingkat penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) terbukti menguatkan struktur likuiditas perbankan.

 

Pada saat yang sama, bauran kebijakan moneter-makroprudensial itu turut mendukung kesinambungan fiskal melalui program pembelian surat berharga negara oleh perbankan dalam rangka pemenuhan kenaikan rasio PLM yang dananya berasal dari penurunan GWM.

 

Bulan ini, BI bahkan memperkuat rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dan RIM syariah dengan menambahkan komponen wesel ekspor dalam penghitungannya untuk kian mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan.

 

Pandemi Covid-19 telah mendorong kerangka kebijakan makroprudensial BI menjadi semakin matang dalam merespons gejolak perekonomian. Tiba gilirannya instrumen makroprudensial menjadi bagian penting dari kebijakan terpadu demi pemulihan ekonomi dan penguatan sektor keuangan.

 

Dukungan berbagai pihak, termasuk dari industri perbankan, sangat diperlukan agar kebijakan BI mampu memberikan efek nyata bagi percepatan pemulihan ekonomi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar