Kamis, 18 Maret 2021

 

Vaksinasi Mandiri : Strategi Jitu atau Keliru?

 Defriman Djafri  ;  Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Provinsi Sumatera Barat

                                                        KOMPAS, 18 Maret 2021

 

 

                                                           

Seiring dengan sedang berlangsungnya program vaksinasi Covid-19 nasional yang dimulai sejak 13 Januari 2021, wacana vaksin mandiri (berbayar) menjadi kegundahan dan pro-kontra di masyarakat dan juga tenaga kesehatan serta sukarelawan Covid-19.

 

Betapa tidak? Dari berbagai komentar, muncul beberapa isu yang antara lain mengaitkan vaksin dengan isu komersial dan bisnis, isu keadilan, dan ada juga yang beranggapan vaksin mandiri merusak tatanan program vaksinasi yang berjalan saat ini. Tentunya ada juga yang berpendapat, ini merupakan upaya akselerasi program vaksinasi Covid-19 di Indonesia.

 

Apakah vaksin mandiri ini strategi jitu yang diambil pemerintah, atau sebaliknya, sebuah kekeliruan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi Covid-19 secara nasional.

 

Partisipasi untuk divaksin

 

Dari program vaksinasi, tentunya diharapkan efektif terbentuk herd immunity (kekebalan kelompok/komunal), dan berdampak terhadap produktivitas sosial dan ekonomi ke depan. Saat ini, ketika efikasi vaksin sudah terpenuhi dan diikuti kehalalan vaksin sudah dijamin, kunci keberhasilan ke depan harus menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat untuk divaksin (vaccination rate) agar tercapai kekebalan kelompok yang diharapkan.

 

Apa sebenarnya yang menjadi masalah di balik penerimaan atau penolakan vaksin dari masyarakat?

 

Merujuk hasil survei persepsi penerimaan vaksin di seluruh provinsi di Indonesia yang dilaksanakan WHO, ITAGI, UNICEF, dan Kementerian Kesehatan RI yang dirilis November 2020, alasan penolakan paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30 persen).

 

Kemudian, keraguan terhadap efektivitas vaksin (22 persen); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13 persen); kekhawatiran adanya efek samping, seperti demam dan nyeri (12 persen); dan alasan keagamaan (8 persen).

 

Jika dilihat dari kesediaan responden membayar, dari yang menerima divaksin, hanya 35 persen di antaranya yang mau membayar. Sekitar 38 persen tidak mau membayar untuk memperoleh vaksin, sedangkan 27 persen sisanya masih ragu.

 

Dilihat dari data ini, sangat menarik bahwa proporsi masyarakat untuk membayar dan tak mau membayar untuk menerima vaksin tak jauh berbeda.

 

Keinginan masyarakat untuk menerima vaksin dengan mengeluarkan uang secara mandiri merupakan peluang untuk menjangkau dan meningkatkan cakupan partisipasi masyarakat untuk divaksin ke depan.

 

Vaksinasi memang tanggung jawab pemerintah, tetapi keinginan dan kesadaran masyarakat dengan mengeluarkan uang secara pribadi untuk melindungi dirinya, keluarganya, dan membantu pemerintah dalam mengakselerasikan capaian cakupan vaksinasi, perlu diapresiasi sebagai bentuk solidaritas bersama kita untuk bisa keluar dari pandemi ini.

 

Tantangan

 

Tantangan utama vaksinasi mandiri adalah persepsi masyarakat yang berbeda, mulai dari anggapan vaksin berbayar lebih baik daripada yang gratis atau sebaliknya.

 

Atau pendekatan vaksin mandiri yang seolah-olah lebih mementingkan pendekatan ekonomi dibandingkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Ada juga anggapan, ketika vaksin mandiri disediakan, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin akan menurun. Sebenarnya, sudut pandang yang berbeda saja melihat ini.

 

Padahal, yang perlu dipahami masyarakat adalah ketika orang mau mengeluarkan uang untuk vaksinasi, artinya adalah tidak hanya vaksinasi tersebut dapat melindungi dirinya, tanpa sadar atau tidak secara langsung sebenarnya orang tersebut melindungi keluarganya dan kita sebagai masyarakat umum yang masih menunggu vaksin secara gratis dari pemerintah.

 

Ini sebenarnya efek domino yang diharapkan dalam mengakselerasi capaian cakupan vaksinasi agar tercapai kekebalan kelompok dan kita bisa keluar dari pandemi yang panjang ini.

 

Jadi, ketika kita menunggu jatah vaksin gratis dari pemerintah, sedangkan orang lain telah melakukan vaksinasi mandiri dengan mengeluarkan uangnya secara pribadi atau ditanggung/dibebankan ke badan usaha/badan hukum, bukan berarti keadilan tak berpihak pada kita. Justru vaksinasi yang dilakukan secara mandiri telah menolong kita dan bangsa ini.

 

Ini sebenarnya arti solidaritas bersama, bergotong royong dengan kapasitas masing-masing untuk kepentingan orang banyak.

 

Tantangan berikutnya adalah ketersediaan dan distribusi vaksin. Ini bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun ketersediaan dan alokasi vaksin yang terbatas ini juga akan menghambat proses distribusi vaksin.

 

Vaksin mandiri seharusnya bisa melibatkan pihak swasta dalam distribusi jaringan rantai dingin dan penyediaan vaksin secara proporsional untuk menjangkau daerah-daerah yang masih terbatas kapasitas penyimpanannya.

 

Yang perlu menjadi catatan penting adalah meskipun melibatkan pihak swasta, kontrol itu tetap berada di bawah pemerintah. Ini sebagai jaminan bahwa vaksin mandiri tidak sepenuhnya lepas dari kontrol pemerintah, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya mafia vaksin dan vaksin palsu yang dikhawatirkan masyarakat.

 

KIE menjadi kunci

 

Strategi dan upaya pengendalian dan pencegahan yang dilakukan merupakan sebuah ikhtiar bangsa ini untuk bisa keluar dari pandemi ini. Vaksin mandiri telah diputuskan dilarang diperjualbelikan, semuanya dibebankan kepada badan usaha/badan hukum. Artinya, secara prinsip seolah-olah ini juga gratis diterima oleh individu di bawah badan usaha/badan hukum tersebut.

 

Kekhawatiran masyarakat tidak terlepas dari buruknya model komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) selama ini. Persepsi, anggapan, dan pandangan yang berbeda tidak luput dari KIE yang diterima masyarakat. KIE menjadi kunci dan juga sebagai penangkal hoaks yang beredar selama ini.

 

Model KIE perlu disusun dan dijelaskan secara utuh kepada masyarakat, juga apa manfaat dari strategi yang diambil pemerintah saat ini. Gerakan masif bersama secara nasional perlu digalakkan dalam upaya meningkatkan cakupan vaksinasi ke depan, apakah nanti itu berbayar atau tidak? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar