Senin, 22 Maret 2021

 

Pertumbuhan Ekonomi Menjelang Berakhirnya Pandemi Covid-19

 Umar Juoro  ;  Senior Fellow The Habibie Center

                                                        KOMPAS, 19 Maret 2021

 

 

                                                           

Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 2,1 persen pada 2020, tak terlalu buruk dibandingkan dengan negara lain. Perkiraan berbagai pihak, pertumbuhan pada 2021 sekitar 4,3 persen, cukup baik untuk masa pemulihan dari krisis.

 

Tentu saja kita menginginkan pertumbuhan lebih tinggi. Seberapa cepat dan kuat pemulihan ekonomi akan bergantung pada kemampuan mengatasi pandemi Covid-19. Jika Covid-19 dapat diatasi lebih cepat dan lebih baik, pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi. Dengan Indonesia sudah memulai program vaksinasi yang berjalan cukup baik, prospek pengendalian Covid-19 menjadi lebih baik.

 

Di negara maju, pemerintahnya melakukan stimulasi besar dengan menggelontorkan dana ratusan miliar dollar AS, bahkan triliunan dollar AS, dengan penanganan Covid-19 bergantung pada keberhasilan vaksinasi.

 

AS menggelontorkan 1,9 triliun dollar AS. Negara berkembang, termasuk Indonesia, juga mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi yang besar hingga puluhan miliar dollar AS. Indonesia menganggarkan stimulasi ekonomi dan penanganan Covid-19 Rp 695 triliun.

 

Pembiayaan stimulasi ini, baik di negara maju maupun berkembang, terutama dengan utang, yaitu menerbitkan obligasi pemerintah. Bahkan, obligasi dibeli oleh bank sentral di pasar primer sehingga bunganya murah atau bahkan ditanggung bank sentral. Negara berkembang yang melakukan ini praktis baru Indonesia dan Filipina.

 

Membanjirnya likuiditas

 

Dengan besarnya likuiditas dan utang, sementara pengendalian Covid-19 bergantung pada keberhasilan vaksinasi, maka pemulihan ekonomi terkait erat dengannya. Superposisi antara kesehatan dan ekonomi semakin kuat dengan vaksinasi. Superposisi ini akan makin kuat dengan dijalankannya vaksin mandiri melalui partisipasi swasta yang bisa menjangkau penduduk lebih banyak dan membantu mengurangi beban anggaran negara.

 

Sementara itu, kekhawatiran terhadap inflasi mulai terlihat dengan besarnya likuiditas di pasar dan indikasi kenaikan harga pangan serta komoditas, khususnya minyak. Kekhawatiran inflasi yang kemungkinan akan ditanggapi oleh bank sentral dengan menaikkan suku bunga akan berakibat pada penambahan beban besar pembayaran utang.

 

Membanjirnya likuiditas karena program stimulasi dan juga konsumen yang masih belum membelanjakan dananya, sementara kegiatan ekonomi masih tahap awal pemulihan, menyebabkan aliran likuiditas yang besar ke pasar modal dan obligasi serta mengalir ke komoditas.

 

Harga saham meningkat signifikan, begitu juga obligasi. Bahkan, harga mata uang digital Bitcoin mengalami kenaikan sangat tinggi mengantisipasi lemahnya mata uang sebagai sarana penyimpanan nilai (stored of value).

 

Optimistisnya adalah tanda-tanda pemulihan ekonomi semakin kuat, dengan pertumbuhan ekonomi China yang sudah positif diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi global. Meningkatnya harga komoditas menandakan kuatnya pemulihan ekonomi dan memberikan keuntungan bagi negara pemasok komoditas, seperti Indonesia.

 

Di Indonesia, indikator sektor manufaktur, Purchasing Manager Index (PMI), membaik secara berarti ke angka 56, indeks pasar modal meningkat, dan nilai tukar rupiah relatif stabil. Kepercayaan konsumen meningkat sekalipun masih di bawah angka 100.

 

Bagi Indonesia, likuiditas sebenarnya juga melimpah, hanya belum teralokasikan ke sektor riil dengan memadai. Rendahnya suku bunga kebijakan yang berada di titik terendah selama ini 3,5 persen, dana pihak ketiga di perbankan yang tinggi yang belum dibelanjakan, ditambah dengan aliran dana program stimulasi pemulihan ekonomi, membuat ketersediaan dana yang besar.

 

Namun, likuiditas ini belum dialirkan secara signifikan sebagai kredit ke sektor riil. Pertumbuhan kredit masih rendah setelah pada 2020 mengalami kontraksi. Bank masih melihat risiko yang tinggi untuk mengalirkan kredit, sementara debitor yang baik masih menghadapi ketidakpastian dalam melihat perkembangan ekonomi. Keterkaitan (entanglement) antara bank dan sektor riil masih lemah. Perbaikan aliran kas di perusahaan akan memperkuat keterkaitan ini.

 

Kebijakan moneter dengan suku bunga kebijakan yang rendah, kebijakan fiskal melalui insentif pajak, membantu ekonomi dalam mengurangi beban resesi sehingga kontraksi ekonomi tidak terlalu dalam, tetapi belum cukup kuat untuk menstimulasi pemulihan ekonomi yang signifikan.

 

Kekhawatiran terhadap Covid-19 masih membayangi pelaku ekonomi di perusahaan dan rumah tangga. Program vaksinasi diharapkan dapat mengatasi Covid-19 secara berarti dan meningkatkan kepercayaan pelaku ekonomi. Sebagaimana di negara maju, aliran likuiditas masih ke sektor keuangan, yaitu pasar modal dan obligasi pemerintah, belum secara berarti ke sektor riil.

 

Insentif mengenolkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor dapat mendorong penjualan kendaraan bermotor. Namun, membuat uang muka nol untuk kredit kendaraan bermotor dan kepemilikan rumah kemungkinan pengaruhnya tidak terlalu besar dan dapat menyebabkan moral hazard (penyalahgunaan).

 

Insentif pajak pada konsumen sebenarnya yang lebih efektif. Jika insentif pajak serupa juga diberikan pada pembelian rumah, dorongan untuk memulihkan ekonomi akan kian besar. Bukan hanya konsumen yang diuntungkan, melainkan juga produsen dan pengembang, dengan perbaikan aliran kas mereka.

 

Pandangan penentu kebijakan untuk fokus pada pemulihan ekonomi dengan mendorong konsumsi masyarakat adalah tepat. Tentunya untuk konsumsi yang sejalan dengan upaya mengatasi Covid-19, bukan yang memperburuk.

 

Memfasilitasi investasi

 

Bersamaan dengan upaya mendorong konsumsi masyarakat, pemerintah juga memfasilitasi investasi. Pendekatan kebijakan memfasilitasi konsumsi masyarakat dan investasi merupakan cara tepat untuk memulihkan ekonomi. UU Cipta Kerja dengan 49 peraturan pelaksanaannya membuka peluang besar untuk investasi. Tantangannya adalah di tingkat pelaksanaan ketika hambatan birokrasi dan struktural, berkaitan dengan tanah dan pekerja, tidaklah mudah untuk diatasi, sekalipun UU dan peraturan pelaksanaannya mendukung.

 

Memfasilitasi investasi yang memperkuat pengembangan rantai pasokan global (global supply chain) adalah sinergi pemulihan ekonomi domestik dan global. Pendekatan ini menyinergikan investasi dan ekspor yang sangat dibutuhkan Indonesia di masa pemulihan.

 

Siklus besar komoditas

 

Dalam enam bulan terakhir harga komoditas minyak, gas, nikel, dan tembaga mengalami kenaikan 25-40 persen. Banyak perkiraan kenaikan harga komoditas ini akan berlanjut.

 

Bahkan, beberapa lembaga keuangan ternama menyebutnya sebagai siklus besar komoditas (commodity super cycle). Kenaikan harga komoditas ini memberikan keuntungan bagi negara produsen, seperti Indonesia. Sayangnya, produksi minyak Indonesia menurun dan gas tidak mengalami peningkatan berarti dengan minimnya investasi migas.

 

Investasi pertambangan juga terbatas pada investor yang bersedia untuk divestasi setelah 10 tahun beroperasi dan membangun peleburan (smelter). Karena itu, praktis hanya investor China yang tertarik berinvestasi di pertambangan dan pengolahannya. Kenaikan harga komoditas utama Indonesia, seperti CPO dan batubara, tentu memberikan keuntungan besar sekalipun harganya mulai terkoreksi dan persyaratan kelestarian lingkungan kian ketat.

 

Membiayai defisit

 

Program pemulihan ekonomi, termasuk untuk kesehatan dan bantuan sosial, dibiayai oleh anggaran negara dengan memperbesar defisit, 6,3 persen pada 2020 dan 5,7 persen pada 2021. Defisit ini ditutup dengan utang melalui penjualan surat berharga negara (SBN), baik kepada investor swasta maupun kepada Bank Indonesia yang diperbolehkan beli di pasar primer.

 

Sekalipun penambahan utang cukup tinggi, rasio utang terhadap PDB masih terjaga baik di tingkatan sekitar 40 persen. Tantangannya adalah menjaga manajemen utang yang baik supaya surat utang tidak terhambat (cloging) di pembukuan pemerintah ataupun di BI, sebagai aset yang tidak memberikan imbal hasil (unyielding assets).

 

Bagi BI dengan suku bunga kebijakan yang rendah dan kepemilikan SBN yang tinggi, sekitar 2 persen PDB, menjadi beban berat dan pembatas terhadap efektivitas kebijakan moneter, termasuk makroprudensial dan efektivitas pembelian obligasi (quantitative easing) itu sendiri.

 

Kapasitas utang pemerintah masih memadai. Namun, semakin besar SBN yang dikeluarkan, semakin besar biayanya dengan imbal hasil (yield) yang lebih tinggi atau harga yang lebih rendah. Apalagi dengan prospek inflasi, tantangan manajemen utang kian berat.

 

Defisit yang relatif besar masih dibutuhkan untuk stimulasi pemulihan ekonomi dan membiayai program kesehatan berkaitan dengan upaya mengatasi Covid-19, bantuan sosial, dan program penciptaan kesempatan kerja. Karena itu, manajemen utang pemerintah yang baik menjadi kunci bagi keberlanjutan dan keberhasilan dari upaya pemulihan ekonomi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar