Rabu, 17 Maret 2021

 

Penyiar dan Pranatacara

 Kasijanto Sastrodinomo  ; Alumnus FIB Universitas Indonesia

                                                        KOMPAS, 16 Maret 2021

 

 

                                                           

Rasa-rasanya baru Kompas (27/12/2020, Nama & Peristiwa) yang memetik kata pranatacara, lalu menyematkannya kepada Sumi Yang, jurnalis televisi itu. Dari bahasa Jawa, pranatacara ialah ”parågå kang nduwèni jêjibahan nåtå lan nglantaraké acårå utåwå adicårå”—orang yang bertugas mengatur dan mengantarkan acara atau upacara. Prasyaratnya, yang bersangkutan harus mahir ”olah båså lan sastrå” atawa fasih berbahasa dan bersastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Badan Bahasa, arti kata itu diringkas jadi ”pembawa acara” dan ”pewara”.

 

Berita lain, sepekan kemudian, penyiar televisi senior era delapan puluhan, Inke Maris, meninggal dunia (Kompas.com, 01/01/2021). Dalam berita itu dipilih kata penyiar—istilah baku pewara radio dan televisi di Tanah Air yang, sekadar ancar-ancar, digunakan sejak Radio Republik Indonesia mengudara pada 1945, dan Televisi Republik Indonesia menayang pada 1962. Sementara pranatacara, sejauh terlacak, baru dikenalkan oleh koran ini dalam tulisan yang dikutip di atas, dan baru dientri dalam KBBI Edisi III (2005; koleksi yang kebetulan saya miliki). Kamus/tesaurus Indonesia yang lain tak mencatatnya.

 

Kedua nomina, pranatacara dan penyiar, bisa dilihat sebagai kata berpadanan. Seperti terbaca pada KBBI, takrif ”pewara” tampaknya cocok sebagai sinonim istilah pemberita televisi tersebut. Ada kalanya, kedua kata itu juga disulih selang-seling dengan presenter dan host meski tak terlalu tepat. Presenter mencakup subyek lebih luas, misal panelis seminar, pembicara publik, dan pemasar produk dagang dalam ajang pariwara. Host lebih klop diartikan ”tuan rumah” suatu forum acara atau siaran yang dihadiri khalayak undangan, termasuk dalam tayangan media digital.

 

Jika definisi pranatacara ”versi Jawa” ditilik lebih dalam (perhatikan verba nåtå ‘mengatur’), makna kata itu juga menyiratkan perbedaannya dengan penyiar, seperti terlihat dalam praktik tugas penyiar dulu dan sekarang. Dulu, ketika siaran berita televisi milik negara cenderung formal dan ”bernada tunggal”—didominasi program pembangunan—tugas penyiar hanya membacakan berita hasil olahan tim redaksi. Penyiar, jadinya, identik dengan pembaca berita (newsreader) semata. Pembagian kerja kedua profesi itu tampak jelas dan tegas. Stasiun televisi swasta, sementara itu, tak diizinkan memproduksi berita sendiri dan wajib me-relay siaran versi pemerintah tersebut.

 

Model penyiaran berita televisi berangsur berubah sejak medio 1980-an dan terasa makin bermakna ketika Reformasi bergulir. Materi berita tak lagi terpaku pada press release atau undangan seremoni, dan sejenisnya, tetapi diperkaya dengan perburuan informasi aktual di lapangan oleh awak televisi sendiri. Penyiar tak lagi membaca berita thok, tetapi ikut sibuk di ruang redaksi dan berdialog langsung dengan sumber berita atau narasumber saat tampil di layar kaca. Di sini, pranatacara terasa pas mengistilahkan pola baru itu, sedangkan sebutan penyiar dalam artian ”klasik” terasa kurang memadai.

 

Situasi serupa, tetapi konteksnya berbeda, terjadi di Amerika Serikat. Awalnya, di negeri itu ”... newscaster simply read the news aloud to the audience,” tulis Stan Le Roy Wilson dalam Mass Media/Mass Culture (1995). Seusai Perang Dunia, pola penyiaran televisi di sana terus berubah. Tampil tipe anchor(news), yakni pemandu siaran berkualifikasi ”jangkar” yang jadi andalan stasiun televisi berita. Rasanya, pranatacara pun tak jauh dari tipe itu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar