Kamis, 18 Maret 2021

 

Perjuangan Mencapai Imunitas Kelompok

 Dominicus Husada  ;  Dokter Anak; Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair/RSUD dr Soetomo, Surabaya

                                                        KOMPAS, 18 Maret 2021

 

 

                                                           

Pemerintah Indonesia, seperti banyak orang di dunia, mengharapkan herd immunity terhadap virus SARS-CoV-2 segera tercapai melalui vaksinasi.

 

Herd immunity adalah kekebalan kelompok. Di dalam kelompok ini beberapa orang tidak divaksin (karena berbagai alasan) dan mereka ini ikut menikmati kekebalan karena sebagian besar yang lain sudah divaksin. Selama ini kekebalan kelompok tampak pada berbagai penyakit infeksi, baik karena infeksi alamiah maupun karena vaksinasi. Tak mudah menentukan kekebalan kelompok karena perhitungan yang agak rumit dan cukup banyak faktor pengganggu yang bisa memengaruhi.

 

Secara umum, jika ada 70 persen orang terinfeksi, diharapkan imunitas kelompok terhadap Covid-19 bisa tercapai. Angka 70 didapat dengan memasukkan beberapa komponen penghitungan seperti Rt atau berapa banyak orang tertular dari setiap kasus Covid-19, proporsi yang terinfeksi, proporsi yang diimunisasi, dan sebagainya.

 

Tentu para ahli bisa salah. Angka yang diperlukan kadang tak sesuai dengan perhitungan. Angka ini pun berbeda menurut negara. Ada beberapa hal yang menjadi penyemangat bahwa kita bisa mencapai imunitas kelompok yang diinginkan, tetapi tentu saja ada pula hal sebaliknya.

 

Pengalaman positif sebelumnya

 

Kekebalan kelompok telah berulang kali kita saksikan dan alami. Infeksi Streptococcus pneumoniae di Amerika Serikat menurun dramatis setelah sebagian besar anak balita diimunisasi. Kelompok lansia yang tak diimunisasi ternyata menunjukkan penurunan jumlah yang masuk rumah sakit dan meninggal, sebesar sedikitnya 50 persen.

 

Kekebalan kelompok juga membuat penyakit difteri tak muncul lagi di lebih dari 150 negara di dunia. Penyakit campak juga pernah musnah di seluruh benua Amerika.

 

Kekebalan kelompok bukanlah impian tanpa bukti. Pada ketiga penyakit di atas, penyebab terbesar munculnya kekebalan kelompok adalah imunisasi.

 

Untuk beberapa negara lain seperti India, situasi agak berbeda. Penelitian di beberapa daerah menunjukkan angka kekebalan penduduk di sana telah melebihi 50-60 persen. Orang boleh berdebat mengenai akurasi data ini, tetapi India memang salah satu negara yang paling parah diserang Covid-19.

 

Hal baik di balik musibah adalah kesembuhan akan membawa kekebalan sekalipun mungkin tak akan bertahan lama. Kekebalan di komunitas India diperoleh setelah terinfeksi, dan bukan karena vaksin, mengingat cakupan vaksin Covid-19 di sana masih sangat rendah.

Jumlah orang India yang diperiksa kadar antibodinya memang juga tak setinggi negara maju seperti Eslandia, misalnya, yang secara konsisten memantau kadar antibodi penduduk. Sekiranya data India bisa dipercaya, maka optimisme semakin besar.

 

Negara dengan jumlah penderita terbesar di dunia, AS, juga berharap mendapatkan antibodi pada penduduk dalam jumlah besar. Namun, AS memang tak bergantung pada data tersebut. Mereka lebih mengandalkan vaksinasi yang jelas efektif dan bermanfaat dan mampu membangkitkan kekebalan kelompok.

 

Per minggu pertama Maret 2021, AS masih menjadi negara termaju dalam hal jumlah vaksin terpakai dan jumlah orang secara absolut yang sudah divaksinasi. Sudah hampir 90 juta dosis digunakan, yang mayoritas adalah vaksin berbasis mRNA yang lebih ”kuat” dibandingkan vaksin berbasis vektor virus, protein, maupun virus mati. Target AS adalah dua juta vaksin per hari.

 

Negara kedua dan ketiga yang menyusul AS adalah China (50 juta dosis) dan Inggris (20 juta dosis). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di negara yang bersangkutan, peringkat pertama, kedua, dan ketiga justru diduduki Israel (lebih dari 98 per 100 penduduk), Uni Emirat Arab (65 per 100 penduduk), dan Inggris Raya (35 per 100 penduduk).

 

Di Israel sangat jelas kekebalan kelompok sudah bisa dievaluasi sekalipun belum mencapai angka final. Keberhasilan Israel jadi kajian semua ahli. Vaksin Covid-19 memang efektif.

 

Di AS, efek yang dramatis tampak di rumah jompo di seluruh negeri. Jumlah yang sakit menurun secara bermakna. Hal yang tak terjadi pada kelompok umur muda, yang memang belum memperoleh giliran divaksinasi.

 

Hal yang perlu diwaspadai

 

Sekalipun di seluruh dunia jumlah vaksin yang disuntikkan sudah mendekati 300 juta, angka ini masih terlalu sedikit dibandingkan jumlah penduduk dunia yang sekitar delapan miliar. Angka cakupan vaksin itu pun tidak merata di seluruh negara. Ada lebih dari 80 negara yang belum memulai program imunisasi. Dari deretan negara kurang mampu yang dibantu Covax (Covid-19 Vaccines Global Access), baru Ghana yang memperoleh bantuan.

 

Tanpa alokasi yang merata di seluruh dunia, akan sulit mengharapkan kekebalan kelompok seperti yang dikehendaki. Pada prinsipnya, tidak ada satu orang pun boleh merasa aman jika belum semua orang dalam keadaan aman. Kemampuan penyediaan vaksin di seluruh dunia juga masih terlalu rendah. Bukan saja AS dan Eropa, seluruh dunia merasakan hal yang sama.

 

Di Tanah Air, cakupan vaksin merambat pelan. Sebenarnya jumlah sarana dan petugas yang sudah menjalani pelatihan singkat sangat besar. Sayang ada beberapa kendala di lapangan yang belum sepenuhnya bisa dimuluskan, termasuk kecepatan menyediakan tambahan dosis vaksin. Target tim untuk mencapai 1,5 juta per hari masih sangat jauh dan harus segera diperbaiki.

 

Per awal Maret 2021, capaian imunisasi di negeri kita baru mendekati empat juta. Indonesia sebenarnya juga punya pengalaman menaklukkan penyakit seperti polio, tetapi pencapaian ini disertai beberapa tanda tanya, terutama akan kerapuhan kelangsungannya. Semoga sejarah yang kita alami menjadi pelajaran berharga untuk membuat penanganan Covid-19 ini lebih baik.

 

Kecepatan melakukan vaksinasi secara serentak sangat menentukan. Jika waktu melindungi banyak orang terlalu lama, kelompok yang menerima vaksin di awal sudah berisiko tidak kebal kembali.

 

Semua ahli vaksin memperkirakan durasi kekebalan imunisasi Covid-19 ini tak akan terlalu lama dengan tolok ukur paling rasional adalah vaksin influenza yang harus diulang setahun sekali. Sekalipun demikian, data solid untuk ini terus dikumpulkan dan tak mungkin diketahui dalam waktu pendek.

 

Selain soal kecepatan, distribusi vaksin ternyata belum bisa melampaui batas suku dan ras. Di AS dan Israel, misalnya, proporsi kelompok minoritas sangat jauh tertinggal dibandingkan yang mayoritas. Padahal jelas, Covid-19 tidak mengenal batas ini.

 

Dari berbagai publikasi juga terlihat bahwa kekebalan setelah sakit menghilang secara tidak bersamaan. Publikasi di berbagai jurnal kedokteran menunjukkan adanya kelompok dengan kekebalan bertahan lebih dari delapan bulan.

 

Data di Indonesia pada penyintas yang hendak menjadi donor plasma konvalesen mendapatkan banyak penyintas sudah tidak lagi mempunyai antibodi berkadar tinggi. Pada penghitungan kekebalan kelompok hal ini bisa mengacaukan. Kekebalan yang menghilang perlu segera diperkuat melalui, terutama, imunisasi juga.

 

Mutasi virus

 

Selain durasi imunitas, pengacau lain yang lebih menakutkan adalah varian atau mutan. Di Afrika Selatan, jelas tampak bahwa kekebalan dari infeksi pertama luluh lantak menghadapi mutan di sana. Memang varian Afrika Selatan dan Brasil lebih menakutkan dibandingkan varian Inggris B117 yang sempat juga masuk ke Tanah Air.

 

Vaksin yang lebih dahsyat terutama yang berbasis mRNA dan vektor virus masih mampu mengatasi mutan ini dengan penurunan kemampuan yang cukup banyak. Vaksin Pfizer kehilangan sedikitnya 20 persen perlindungan menghadapi mutan Afrika Selatan.

 

Vaksin lain sangat mungkin akan tak berdaya. Padahal, mengubah komposisi vaksin membutuhkan waktu. Hanya vaksin mRNA yang bisa dalam sekejap dimodifikasi dan hal ini sekarang sudah dan sedang dilakukan Moderna dan BioNTech. Vaksin hasil modifikasi ini bisa dipakai juga sebagai booster dengan efektivitas yang relatif menakjubkan.

 

Sebenarnya mutasi adalah suatu hal yang wajar. Semua makhluk hidup ingin mempertahankan kelangsungan kaumnya. Virus paling dahsyat dalam hal mutasi adalah HIV dan karena itu hingga hari ini tidak ada vaksin untuk penyakit tersebut. Mutasi virus influenza juga masih lebih menakutkan dibandingkan mutasi SARS-CoV-2.

 

Sesungguhnya bagi ahli vaksin sekarang lebih tampak bahwa virus penyebab Covid-19 merupakan target yang relatif mudah di antara semua penyebab penyakit yang vaksinnya sedang diteliti. Cara terbaik mencegah mutasi adalah membatasi ruang gerak virus.

 

Transmisi harus dihentikan. Upaya dengan masker, jaga jarak, hindari kerumunan, dan cuci tangan mampu menjadi penangkal efektif, selain upaya mengebalkan diri dengan vaksin. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah upaya klasik ini bisa dijalankan oleh mayoritas masyarakat dengan baik.

 

Harapan

 

Dengan semua plus dan minus yang dihadapi, kekebalan kelompok bukan hal yang gampang diraih. Target ideal ini membutuhkan perjuangan bersama. Ini lebih dari sekadar membuat dan menyediakan vaksin.

 

 

 

Sebagai komunitas, umat manusia pernah membuktikan kemampuan bekerja sama dan menyingkirkan cacar, polio (sekalipun belum total), dan rinderpest dari muka bumi. Kerja sama yang lebih baik sangat diharapkan saat ini. Namun, jika kita kemudian menghadapi kenyataan bahwa kekebalan kelompok tidak bisa optimal, kita tetap punya alasan untuk optimistis.

 

Perlindungan individu yang ditimbulkan oleh vaksin maupun yang dialami para penyintas adalah perlindungan yang sangat berharga. Setidaknya kita sekarang bisa melindungi diri dan lingkungan mikro kita. Menyelamatkan orangtua dan semua warga lansia di dekat kita. Melindungi anak-anak yang masih akan tumbuh dan menempuh perjalanan hidup yang panjang.

 

Dalam situasi seperti ini, kekebalan kelompok akan lebih bersifat sebagai bonus. Oleh karena itu, mari, jangan ragu mengimunisasi diri kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar