Rabu, 17 Maret 2021

 

Mobil Listrik dan Era Baru Aneka Tambang

 Ferdy Hasiman  ; Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia

                                                        KOMPAS, 15 Maret 2021

 

 

                                                           

Di tengah tren dunia mendorong pengembangan mobil listrik dengan bahan baku baterai dari nikel, prospek perusahaan tambang BUMN, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) ramai dibicarakan oleh pelaku pasar.

 

Di pasar modal, saham ANTM menjadi incaran investor besar dan ritel. Investor percaya, ANTM akan menjadi perusahaan negara yang bisa diandalkan, menjadi pemain di hulu (konsesi) dan hilir (smelter) industri nikel.

 

Realisasi pembentukan Indonesia Battery Holding (IBH) untuk mengelola industri baterai terintegrasi hulu-hilir akan menambah kepercayaan investor terhadap ANTM.

 

IBH adalah gabungan empat perusahaan BUMN, PT Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID dan ANTM. IBH diharapkan menjadi motor penggerak kebijakan mobil listrik.

 

Dalam tulisan ini, saya hanya membahas ANTM sebagai penyedia di hulu (biji nikel). ANTM adalah perusahaan anggota holding MIND ID yang bukan hanya memiliki konsesi emas (Pongkor dan Cibaliung/Jawa Barat), tetapi juga konsesi nikel terbesar di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua. Total cadangan nikel ANTM mencapai 1,362 miliar ton (Baca: Laporan Tahunan ANTM: 2019).

 

Tahun 2021, produksi feronikel ANTM diprediksi mencapai 26.000 ton dan produksi bijih nikel mencapai 8,44 juta wet metric ton (wmt ), naik 77 persen dari 2020 yang 4,76 juta wmt. Ini menjanjikan di tengah kenaikan harga nikel global.

 

Prospek ANTM juga didukung kebijakan global-nasional. Di level global, Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden akan menyediakan dana triliunan dollar AS untuk infrastruktur mobil listrik. China menargetkan 350.000 unit penjualan mobil listrik di 2025 dan Eropa menargetkan 300.000 unit mobil listrik tahun 2030.

 

Sementara, di tingkat nasional, Presiden Jokowi pun telah membuat PP No 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Penutupan ekspor nikel dan kewajiban membangun smelter juga adalah langkah strategis pemerintah mengamankan pasokan untuk pengembangan mobil listrik.

 

Produsen-produsen otomotif dipaksa beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Produsen otomotif besar, seperti Mitsubishi, Honda dan Toyota mulai menginvestasikan sekitar Rp 100 triliun untuk pengembangan mobil listrik.

 

Penjualan mobil listrik produsen-produsen mobil listrik dunia pun meningkat. Tesla (AS), misalnya, menjual 97.000 mobil listrik tahun 2019, meningkat dibandingkan 2018 sebesar 83.777 unit.

 

Sementara, Volkswagen (Eropa) juga menjual 212,000 unit mobil listrik tahun 2020, naik 158 persen dibandingkan 2019. Banyak analis dunia memperkirakan pasar mobil listrik dunia akan tumbuh 53 miliar dollar AS tahun 2025.

 

Ini berkah bagi ANTM dan Indonesia. Kebijakan mobil listrik penting mengingat Indonesia negara penghasil nikel terbesar, menyumbang 27 persen nikel dunia. Produksi bijih nikel mencapai 46.498.062 ton tahun 2019. Ini penting untuk mengurangi ketergantungan impor minyak mengingat produksi minyak nasional hanya 750.000 barrel per hari (bph), sementara kebutuhan BBM domestik 1,4 juta bph.

 

Indonesia harus mengimpor sekitar 700. 000 bph minyak dari pasar internasional yang membuat neraca perdagangan defisit dan APBN tekor. Dengan peralihan ke mobil listrik, Indonesia bisa selamat dari kelangkaan BBM, jurang defisit dan menciptakan energi bersih. Saatnya pemerintah mengandalkan BUMN sekelas ANTM menopang kebijakan ini.

 

PR pemerintah

 

Pemerintah perlu belajar dari tata kelola energi dan pertambangan masa lalu. Di masa lalu, Indonesia termasuk negara kaya minyak. Tahun 1980-an dan 1990-an, produksi minyak 1,6 juta bph dan pernah anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

 

Meski Indonesia kaya minyak, pengontrol ladang-ladang migas potensial, bukan perusahaan minyak negara, seperti Pertamina, tetapi perusahan migas asing, seperti Chevron Pacific (Blok Rokan) atau Exxon Mobil (Blok Cepu, Jawa Timur).

 

Eksploitasi minyak yang masif membuat produksi minyak terus turun dan Indonesia menjadi negara pengimpor minyak.

 

Nasib sama terjadi pada mineral jenis emas dan tembaga. Indonesia termasuk negara kaya emas dan tembaga, tetapi yang mengontrolnya bukan perusahaan tambang BUMN, seperti ANTM, tetapi perusahaan asing, seperti Freeport Indonesia (Grasberg Papua).

 

Begitupun di batubara. Pengontrol konsensi bukan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), tetapi grup-grup bisnis domestik. PTBA hanya mengontrol sekitar 7-10 persen pasar batubara Indonesia.

 

Ini terjadi karena pemerintah tak memiliki visi membesarkan perusahaan-perusahaan BUMN. Negara terlalu memberikan kepercayaan kepada perusahaan asing dan group bisnis domestik untuk menopang pembangunan.

 

Pemerintah kemudian tak berdaya berhadapan dengan korporasi asing dan group bisnis domestik. Pemerintah juga takut perusahaan asing pulang kampung dan group bisnis domestik melakukan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah masif yang menyebabkan masalah sosial dan politik.

 

Pemerintah Jokowi memang sudah mengubah haluan kebijakan di sektor pertambangan. Sejak terpilih menjadi Presiden tahun 2014, pemerintah telah memberikan hak kelola blok Mahakam dari Total E&P (Prancis) ke Pertamina dan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina.

 

Di tambang mineral, pemerintah sukses melakukan divestasi 51 persen saham Freeport Indonesia ke MIND ID dan memberikan 20 persen saham perusahaan nikel berbasis di Sorowako, Sulawesi Selatan, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) ke MIND ID.

 

Kita berharap kesempatan itu juga diberikan pemerintah kepada ANTM untuk mengontrol beberapa konsensi tambang potensial yang diciutkan INCO di Blok Bahodopi Utara dan Matarape.

 

Dalam lelang blok Bahodopi dan Matarape, pemerintahan kelihatan lamban mengambil keputusan. Lelang dua blok itu sudah berjalan sejak tahun 2018, tetapi pemerintah belum juga mengambil keputusan. Dua tahun itu waktu cukup lama. ANTM membutuhkan kerja cepat dan produsen mobil listrik dunia bergerak kencang.

 

Boleh jadi, tarik-menarik kepentingan dalam kementerian sangat tinggi antara memberikan blok nikel itu ke BUMN atau perusahaan swasta. Pemerintah semestinya memberi prioritas kepada ANTM sebagai perusahaan negara.

 

Bila perlu beberapa konsensi nikel yang sedang dalam proses tender di kementerian ESDM diberikan secara gratis kepada ANTM. Dengan begitu, ANTM bisa diandalkan menopang proyek strategis mobil listrik ini.

 

Di industri nikel, pemerintah Jokowi perlu diberi masukan. Kepemilikan asing di industri nikel masih dominan. Korporasi asing masuk melalui mitra dengan pengusaha domestik dan paling gencar membangunan smelter. Data Kementerian ESDM (2020) menyebutkan, peta industri nikel nasional bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun belakangan.

 

Pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai INCO (Brasil/25persen), ANTM (19 persen) dan perusahaan lainnya (3 persen). Namun, peta industri hilir sampai produk setengah jadi (intermediate product) telah berubah.

 

Pada 2018, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai 50 persen produksi hilir nikel, INCO berkurang 22 persen, ANTM hanya 19 persen dan Virtue Dragon (Tiongkok-Indonesia) mengontrol 11 persen. Jadi, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing.

 

IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding (Cina) 66,25 persen dan Bintang8 (domestik) 33,75 persen. IMIP telah membangun smelter feronikel pertama melalui PT Sulawesi Mining Investment di Bahodopi (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas 300.000 ton per tahun.

 

Smelter kedua dibangun PT Indonesia Guang Ching untuk memproduksi 600.000 ton feronikel per tahun. Ekpansi perusahaan di atas masuk akal mengingat Cina adalah salah satu negara yang gencar mendorong pembangunan mobil listrik.

 

Dominasi perusahaan asing di tambang nikel membuat kedaulatan negara di sektor SDA diuji. Pemerintah bisa saja tak berdaya berhadapan dengan dana besar yang dibawah investor asing dan lupa membuat perhitungan agar produksi nikel tak serampangan.

 

Indonesia tak boleh bergantung pada perusahaan asing mendorong pengembangan mobil listrik. ANTM mestinya menjadi penopang kebijakan mobil listrik.

 

Alasannya jelas. Perintah konstitusi UUD’45 mengatakan, pertambangan strategis perlu dikontrol negara untuk kepentingan rakyat. Dengan kebijakan mobil listrik, nikel menjadi SDA strategis, maka harus dikontrol negara.

 

ANTM adalah representasi negara dalam industri nikel. Dengan begitu, ANTM harus menjadi pemasok nikel untuk komponen mobil listrik. ANTM juga bertugas mengontrol produksi nikel agar tak cepat habis dan menjadi pelopor pembangunan smelter.

 

Pengintegrasian hulu-hilir hanya bisa sukses jika pemerintah memberikan lebih banyak konsesi nikel di hulu. Dengan penguasaan hulu-hilir, ANTM bisa menjadi raja nikel dunia, bersaing dengan perusahaan-perusahaan global lainnya. Indonesia bangga memiliki perusahaan kelas dunia di sektor nikel.

 

Dengan mengandalkan BUMN, negara memiliki posisi tawar dan semakin berdaulat. Negara tak perlu bergantung pada perusahaan asing untuk penopang kebijakan mobil listrik.

 

Kita tak perlu ragu dengan kemampuan ANTM mengolah bisnis. Perusahaan ini selalu mencetak laba dari tahun ke tahun. Pada sembilan bulan pertama tahun 2020, ANTM membukukan laba bersih sebesar Rp 835,8 miliar, tumbuh 30 persen dari Rp 641,5 miliar dari tahun 2019.

 

Bisa jadi, keuntungan tahunan ANTM tahun 2020 di atas Rp 1 triliun. Kenaikan harga komoditas nikel karena banyaknya permintaan di pasar global menguntungkan ANTM. Ini tentu berita gembira.

 

Pada saat perusahaan-perusahaan tambang rugi akibat Covid-19, ANTM mencetak untung. Keuntungan ini bermanfaat bagi pemegang saham (BMUN) dan membantu banyak penerimaan negara di tengah krisis sekarang. Dengan kenaikan harga nikel, ANTM menjadi perusahaan yang menjanjikan dan bisa diandalkan untuk penerimaan negara.

 

ANTM juga salah satu perusahaan negara yang memiliki visi jangka panjang tentang industri tambang Indonesia. Sebelum UU Minerba (UU No.4/2009 direvisi menjadi UU No.3/2020) mengamanatkan, perusahaan tambang wajib membangun smelter, ANTM sudah sejak tahun 1976 telah membangun smelter feronikel berkapasitas 27,000 ton TNi per tahun di Pomala.

 

Apalagi jika proyek smelter ANTM Feronikel di Halmahera Timur (FeNiHaltim) dengan kapasitas 13,5000 ton TNi sudah mencapai tahap komersial, ANTM tentu mendapat profit besar dan berada di garda terdepan dalam pembangunan smelter di tanah air yang memberi efek pelipatan bagi pembangunan.

 

Kerja kolaborasi

 

Keberpihakan pemerintah terhadap proyek strategis yang sedang dijalankan ANTM tentu dibutuhkan untuk mengurai ego sektoral. Dalam hal pembangunan proyek smelter misalnya, menteri BUMN harus memimpin langsung proyek ini agar sesama BUMN saling menopang. Kerja kolaboratif penting.

 

Dalam hal pengembangan mobil listrik, tugas ANTM memastikan ketersediaan pasokan bijih di hulu. Begitupun Pertamina dan PLN, menjalankan tugas sesuai dengan core bisnis masing-masing. Indonesia tak boleh lamban, karena produsen mobil listrik dunia bergerak cepat.

 

Kolaborasi antara BUMN menjadi kunci. ANTM yang sedang membangun smelter nikel juga perlu diberi kemudahan membayar pajak agar memiliki ruang untuk ekspansi. Hanya saja, ekspansi perlu merawat lingkungan hidup dan melakukan reklamasi paska tambang.

 

ANTM sebagai korporasi terus-menerus membenahi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Setiap aksi korporasi dan masalah-masalah terkait perusahaan harus transparan dan akuntabel.

 

Jika ingin go global, manajemen perlu melakukan revolusi budaya kerja internal agar lebih kompetitif, profesional dan memiliki etos melayani rakyat. Hanya dengan etos kerja baik, ANTM bisa menyambuat era baru dengan mobil listrik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar