Sabtu, 27 Maret 2021

 

Benahi Program Vaksinasi

 Syafiq Basri Assegaff ;  Dokter, Dosen di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta

                                                        KOMPAS, 26 Maret 2021

 

 

                                                           

Program vaksinasi terbesar dalam sejarah sedang berlangsung. Hingga 20 Maret, Bloomberg mencatat lebih dari 420 juta dosis sudah disuntikkan di 133 negara, dengan kecepatan hampir 10 juta dosis sehari. Negara padat populasi seperti China sudah menyuntikkan 65 juta dosis bagi 2,3 persen penduduk, India 41 juta dosis (1,5 persen penduduk), dan Brasil 15 juta dosis (3,7 persen penduduk). Sejauh ini, Indonesia baru menyuntikkan 7,3 juta dosis bagi 1,4 persen penduduk.

 

Namun, kita belum bisa memastikan Covid-19 akan sirna. Sebaliknya, penyakit ini akan bertahan selama beberapa tahun ke depan dan tampaknya akan berubah menjadi endemi di sebagian negara—bukan lagi pandemi (yang mendunia). Vaksin bisa menyelamatkan kita, menghambat wabah serta konsekuensinya sehingga memberi kesempatan untuk melonggarkan pembatasan atau lockdown.

 

Walakin, urusan virus korona dengan kemanusiaan belum selesai. Virus ini akan tetap bersirkulasi secara luas, khususnya setelah diketahui bahwa sang virus tampaknya akan menjadikan manusia sebagai ”domisili tetap”-nya.

 

Maka, apa yang akan terjadi dalam ”perang” ini di depan tergantung respons pemerintahan di dunia. Pertanyaannya, bagaimana dunia bisa membuat vaksin dalam jumlah cukup dan mendistribusikannya untuk melindungi 7,8 miliar penduduk dalam waktu secepat-cepatnya? Sebuah tugas raksasa. Sebagian negara khawatir, jika program vaksinasi lambat, manfaat suntikan pertama keburu hilang sebelum booster (suntikan kedua) diberikan (The Economist, 1/2/2021).

 

Sementara, 85 persen negara di dunia baru akan memulai program vaksinasi mereka. Hingga miliaran orang di dunia nantinya disuntik, yang diduga baru bisa selesai setelah 2023, berarti virus itu masih bebas berkeliaran di planet kita.

 

Bukan penerima bantuan sosial

 

Di tengah itu semua, program vaksinasi di Indonesia sendiri wajib dibenahi. Yang terjadi sejauh ini, orang didata, disaring, dibeda-bedakan dengan dasar yang kadang membingungkan, penduduk diteliti KTP dan identitasnya secara ketat, dan seterusnya. Proses panjang itu perlu waktu lama. Pasalnya, kecepatan rata-rata vaksinasi kita masih rendah.

 

Menurut Bloomberg, kita baru mampu menyuntikkan sekitar 320.000 dosis vaksin per hari, masih di bawah Brasil (370.000 dosis), dan jauh di bawah China (960.000 dosis). Yang hebat India, sekitar 1,8 juta dosis per hari. Agar meraih kekebalan kelompok, waktu yang diperlukan untuk menyuntik 181 juta penduduk Indonesia 568 hari (termasuk akhir pekan), alias 1,5 tahun.

 

Sejauh menyangkut petugas kesehatan, pelayan publik, TNI dan polisi, kita bisa memahaminya karena mereka ujung tombak pelayanan bagi orang banyak di garis depan sehingga layak diutamakan.

 

Namun, selain kepada mereka, seharusnya yang dilakukan adalah minta siapa saja untuk datang ke tempat vaksinasi, baru kemudian mendata mereka setelah disuntik. Artinya, orang disuntik dulu, baru kemudian dicatat datanya. Ini berbeda dengan yang dilakukan sekarang, ketika orang dicatat dulu, didaftarkan, baru kemudian divaksinasi.

 

Pasalnya, penerima vaksinasi bukan penerima bansos, yang harus ditertibkan agar bisa dicegah penerimaan bantuan berulang oleh orang yang sama. Dalam setiap tahap vaksinasi ini, memang siapa yang ingin disuntik berkali-kali, misalnya dengan cara menipu petugas?

 

Seorang penulis (mantan wartawan) lansia yang juga dosen sebuah perguruan tinggi di Jakarta bercerita. Ia juga seorang dokter yang tak praktik lagi. Tempat tinggalnya di Kelurahan Cisalak Pasar, Kota Depok, yang tak termasuk 10 kelurahan prioritas vaksinasi tahap pertama Depok sehingga ia tak bisa ikut mendaftar. Belum ada giliran vaksinasi bagi pendidik di kampusnya di Jakarta.

 

Sebagai (mantan) wartawan, artinya orang yang banyak bertatap muka dengan publik, belum juga ada giliran baginya. Secara logika, ia memenuhi beberapa kriteria untuk dapat prioritas: sebagai lansia, sebagai penulis, dan sebagai dokter (meski tak praktik), tetapi sistem yang ada mengharuskannya menunggu sampai gilirannya tiba.

 

Namun, bayangkan risiko yang ada: sang dosen tinggal bersama delapan anggota keluarganya, termasuk istri yang juga lansia, dua cucu dan dua pembantu (yang rutin berbelanja ke pasar di kelurahan lain).

 

Dua dari tiga anaknya dan satu menantunya juga sering ke Jakarta, mencari nafkah, yang berarti membuka peluang terjadinya transmisi dalam keluarganya. Beruntung ia dan keluarga serta para tetangga di kompleks perumahannya taat melaksanakan protokol kesehatan.

 

Meski harus bersabar menunggu giliran, dokter itu berpikir keras: apa yang salah dalam program vaksinasi yang dilaksanakan para sejawatnya? Dari pendekatan logika kesehatan, khususnya saat darurat di tengah wabah, seharusnya sistem yang dilaksanakan itu tak terlalu mementingkan predikat, jabatan, ataupun identitas yang disandangnya.

 

Tak peduli apakah seseorang punya KTP setempat, ia bisa juga tertular dan jadi sumber penularan, karena virus korona (dan semua patogen lain) tak pandang bulu calon korbannya. Bahkan, jika ada orang asing yang tinggal di Depok tanpa identitas apa pun, umpamanya, seharusnya juga ikut divaksinasi, apalagi mengingat ia juga berpotensi membawa virus varian baru yang 70 persen lebih menular.

 

Pendekatan dari bawah

 

Pelaksanaannya mudah saja, lewat pendekatan dari bawah ke atas. Misalnya, sekitar 10.000 puskesmas yang ada di semua kelurahan (berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 2018) langsung saja melaksanakan vaksinasi itu. Puskesmas bisa menggandeng lembaga lain, seperti sekolah, di sekitarnya.

 

Melalui instruksi camat kepada lurah, lalu dari lurah kepada ketua RW, warga di seluruh RW dan RT bersangkutan diberi tahu. Ketua RW mengatur urutannya, misalnya, berdasarkan nomor RT tertentu: warga bisa datang dalam jumlah sesuai kuantitas vaksin yang tersedia pada pekan itu, dan tetap membuat skala prioritas sebagaimana mestinya.

 

Puskesmas tak perlu mendata dari awal, tak penting mencocokkan KTP atau kartu keluarga, tetapi segera setelah vaksin tersedia, langsung saja suntik semua penduduk (yang memenuhi syarat divaksin) di situ, dilandasi oleh urutan prioritas (misal lansia lebih dulu) dan sebagainya. Pelaksanaan tentu harus memperhatikan kaidah medis, termasuk pemeriksaan sebelum penyuntikan, monitoring pascavaksinasi, dan sebagainya. Warga yang sudah disuntik dicatat, dan datanya diberikan kepada kelurahan.

 

Cara seperti ini tampaknya bisa membantu mewujudkan niat baik Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk melejitkan kecepatan penyuntikan jadi 1 juta per hari.

 

Di samping itu, seharusnya keran vaksinasi mandiri bagi swasta juga dibuka. Sebagaimana program vaksinasi yang lain bagi anak-anak selama ini—yang menyediakan program gratis dan program mandiri (dengan membayar)—semestinya pemerintah menggandeng swasta.

 

Biarkan mereka yang punya uang, malas mengantre, atau kurang percaya pada program gratis pemerintah datang secara mandiri ke pelayanan kesehatan swasta. Yang penting semua yang sudah divaksin masuk pendataan yang terpusat, tak peduli KTP, atau tempat domisilinya. Langkah ini juga memudahkan bagi mereka yang tak punya ponsel atau gagap teknologi, yang selama ini sulit masuk ke dalam sistem digital yang disediakan.

 

Apa masalahnya kalau nanti catatan di kelurahan, misalnya, berbeda dengan data baru dari puskesmas; bukankah selama ini sebagian pendataan kita terkadang memang kacau? (Masih ingat program satu data (single identification number) yang disimpan dalam cip di e-KTP yang sempat jadi ajang korupsi?)

 

Akan tetapi, dalam urusan wabah ini, yang penting puskesmas berhasil mengimunisasi sebanyak mungkin warga, tak peduli KTP-nya, asalkan ia berdomisili di tempat itu. Jika jumlah vaksin belum cukup, mereka bisa menunggu dan diatur lewat koordinasi petugas setempat. Tak usah khawatir ada yang menipu minta divaksin lagi, karena ini, sekali lagi, bukan pembagian uang kontan atau sembako.

 

Kalau model ini tak dilaksanakan, kita khawatir pemerintah hanya sibuk dengan data melulu, sementara target mengejar kekebalan kelompok tak segera tercapai.

 

Sambil meningkatkan penelitian terhadap mutasi virus, dan persiapan penerapan suntikan kedua, serta pengobatan mereka yang terpapar, hasil terbaik tampaknya hanya terwujud jika angka imunitas di tengah masyarakat meningkat secara cepat dan pesat.

 

Kita tahu pemerintah ingin tertib. Namun, jangan lupa, sering kali ketertiban berlebihan bisa mengganggu kelancaran. Saat tsunami mengancam, kita harus melarikan penduduk ke atas bukit. Kian banyak dan cepat orang sampai di bukit, kian besar jumlah yang bisa diselamatkan.

 

Terakhir, pendidikan tentang perilaku masyarakat sehari-hari untuk menerapkan protokol kesehatan harus digencarkan. Sebagaimana terjadi pada setiap wabah, masyarakat harus disadarkan: ketimbang harus melaksanakan pembatasan ketat dan menutup sekolah berbulan-bulan, para ketua RW dan RT diberi tanggung jawab besar mendidik warganya, bukan cuma disibukkan dengan urusan pembatasan skala mikro (PPKM).

 

Mereka harus tahu bahwa kebiasaan ”memakai masker” dan ”menjaga jarak” bakal menjadi kegiatan hidup sehari-hari, mungkin hingga beberapa tahun mendatang. Jika tidak, kita khawatir awan hitam pandemi (atau endemi) yang suram terus menggelayut di tengah kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar