Benahi
Program Vaksinasi Syafiq Basri Assegaff ; Dokter, Dosen di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR,
Jakarta |
KOMPAS,
26 Maret
2021
Program vaksinasi terbesar dalam sejarah
sedang berlangsung. Hingga 20 Maret, Bloomberg mencatat lebih dari 420 juta
dosis sudah disuntikkan di 133 negara, dengan kecepatan hampir 10 juta dosis
sehari. Negara padat populasi seperti China sudah menyuntikkan 65 juta dosis
bagi 2,3 persen penduduk, India 41 juta dosis (1,5 persen penduduk), dan
Brasil 15 juta dosis (3,7 persen penduduk). Sejauh ini, Indonesia baru
menyuntikkan 7,3 juta dosis bagi 1,4 persen penduduk. Namun, kita belum bisa memastikan Covid-19
akan sirna. Sebaliknya, penyakit ini akan bertahan selama beberapa tahun ke
depan dan tampaknya akan berubah menjadi endemi di sebagian negara—bukan lagi
pandemi (yang mendunia). Vaksin bisa menyelamatkan kita, menghambat wabah
serta konsekuensinya sehingga memberi kesempatan untuk melonggarkan pembatasan
atau lockdown. Walakin, urusan virus korona dengan
kemanusiaan belum selesai. Virus ini akan tetap bersirkulasi secara luas,
khususnya setelah diketahui bahwa sang virus tampaknya akan menjadikan
manusia sebagai ”domisili tetap”-nya. Maka, apa yang akan terjadi dalam ”perang”
ini di depan tergantung respons pemerintahan di dunia. Pertanyaannya,
bagaimana dunia bisa membuat vaksin dalam jumlah cukup dan
mendistribusikannya untuk melindungi 7,8 miliar penduduk dalam waktu
secepat-cepatnya? Sebuah tugas raksasa. Sebagian negara khawatir, jika
program vaksinasi lambat, manfaat suntikan pertama keburu hilang sebelum
booster (suntikan kedua) diberikan (The Economist, 1/2/2021). Sementara, 85 persen negara di dunia baru
akan memulai program vaksinasi mereka. Hingga miliaran orang di dunia
nantinya disuntik, yang diduga baru bisa selesai setelah 2023, berarti virus
itu masih bebas berkeliaran di planet kita. Bukan
penerima bantuan sosial Di tengah itu semua, program vaksinasi di
Indonesia sendiri wajib dibenahi. Yang terjadi sejauh ini, orang didata,
disaring, dibeda-bedakan dengan dasar yang kadang membingungkan, penduduk
diteliti KTP dan identitasnya secara ketat, dan seterusnya. Proses panjang
itu perlu waktu lama. Pasalnya, kecepatan rata-rata vaksinasi kita masih
rendah. Menurut Bloomberg, kita baru mampu
menyuntikkan sekitar 320.000 dosis vaksin per hari, masih di bawah Brasil
(370.000 dosis), dan jauh di bawah China (960.000 dosis). Yang hebat India,
sekitar 1,8 juta dosis per hari. Agar meraih kekebalan kelompok, waktu yang
diperlukan untuk menyuntik 181 juta penduduk Indonesia 568 hari (termasuk
akhir pekan), alias 1,5 tahun. Sejauh menyangkut petugas kesehatan,
pelayan publik, TNI dan polisi, kita bisa memahaminya karena mereka ujung
tombak pelayanan bagi orang banyak di garis depan sehingga layak diutamakan. Namun, selain kepada mereka, seharusnya
yang dilakukan adalah minta siapa saja untuk datang ke tempat vaksinasi, baru
kemudian mendata mereka setelah disuntik. Artinya, orang disuntik dulu, baru
kemudian dicatat datanya. Ini berbeda dengan yang dilakukan sekarang, ketika
orang dicatat dulu, didaftarkan, baru kemudian divaksinasi. Pasalnya, penerima vaksinasi bukan penerima
bansos, yang harus ditertibkan agar bisa dicegah penerimaan bantuan berulang
oleh orang yang sama. Dalam setiap tahap vaksinasi ini, memang siapa yang
ingin disuntik berkali-kali, misalnya dengan cara menipu petugas? Seorang penulis (mantan wartawan) lansia
yang juga dosen sebuah perguruan tinggi di Jakarta bercerita. Ia juga seorang
dokter yang tak praktik lagi. Tempat tinggalnya di Kelurahan Cisalak Pasar,
Kota Depok, yang tak termasuk 10 kelurahan prioritas vaksinasi tahap pertama
Depok sehingga ia tak bisa ikut mendaftar. Belum ada giliran vaksinasi bagi
pendidik di kampusnya di Jakarta. Sebagai (mantan) wartawan, artinya orang
yang banyak bertatap muka dengan publik, belum juga ada giliran baginya.
Secara logika, ia memenuhi beberapa kriteria untuk dapat prioritas: sebagai
lansia, sebagai penulis, dan sebagai dokter (meski tak praktik), tetapi
sistem yang ada mengharuskannya menunggu sampai gilirannya tiba. Namun, bayangkan risiko yang ada: sang
dosen tinggal bersama delapan anggota keluarganya, termasuk istri yang juga
lansia, dua cucu dan dua pembantu (yang rutin berbelanja ke pasar di
kelurahan lain). Dua dari tiga anaknya dan satu menantunya
juga sering ke Jakarta, mencari nafkah, yang berarti membuka peluang
terjadinya transmisi dalam keluarganya. Beruntung ia dan keluarga serta para
tetangga di kompleks perumahannya taat melaksanakan protokol kesehatan. Meski harus bersabar menunggu giliran,
dokter itu berpikir keras: apa yang salah dalam program vaksinasi yang
dilaksanakan para sejawatnya? Dari pendekatan logika kesehatan, khususnya
saat darurat di tengah wabah, seharusnya sistem yang dilaksanakan itu tak
terlalu mementingkan predikat, jabatan, ataupun identitas yang disandangnya. Tak peduli apakah seseorang punya KTP
setempat, ia bisa juga tertular dan jadi sumber penularan, karena virus
korona (dan semua patogen lain) tak pandang bulu calon korbannya. Bahkan,
jika ada orang asing yang tinggal di Depok tanpa identitas apa pun,
umpamanya, seharusnya juga ikut divaksinasi, apalagi mengingat ia juga
berpotensi membawa virus varian baru yang 70 persen lebih menular. Pendekatan
dari bawah Pelaksanaannya mudah saja, lewat pendekatan
dari bawah ke atas. Misalnya, sekitar 10.000 puskesmas yang ada di semua
kelurahan (berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 2018) langsung saja
melaksanakan vaksinasi itu. Puskesmas bisa menggandeng lembaga lain, seperti
sekolah, di sekitarnya. Melalui instruksi camat kepada lurah, lalu
dari lurah kepada ketua RW, warga di seluruh RW dan RT bersangkutan diberi
tahu. Ketua RW mengatur urutannya, misalnya, berdasarkan nomor RT tertentu:
warga bisa datang dalam jumlah sesuai kuantitas vaksin yang tersedia pada
pekan itu, dan tetap membuat skala prioritas sebagaimana mestinya. Puskesmas tak perlu mendata dari awal, tak
penting mencocokkan KTP atau kartu keluarga, tetapi segera setelah vaksin tersedia,
langsung saja suntik semua penduduk (yang memenuhi syarat divaksin) di situ,
dilandasi oleh urutan prioritas (misal lansia lebih dulu) dan sebagainya.
Pelaksanaan tentu harus memperhatikan kaidah medis, termasuk pemeriksaan
sebelum penyuntikan, monitoring pascavaksinasi, dan sebagainya. Warga yang
sudah disuntik dicatat, dan datanya diberikan kepada kelurahan. Cara seperti ini tampaknya bisa membantu
mewujudkan niat baik Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk melejitkan
kecepatan penyuntikan jadi 1 juta per hari. Di samping itu, seharusnya keran vaksinasi
mandiri bagi swasta juga dibuka. Sebagaimana program vaksinasi yang lain bagi
anak-anak selama ini—yang menyediakan program gratis dan program mandiri
(dengan membayar)—semestinya pemerintah menggandeng swasta. Biarkan mereka yang punya uang, malas
mengantre, atau kurang percaya pada program gratis pemerintah datang secara
mandiri ke pelayanan kesehatan swasta. Yang penting semua yang sudah divaksin
masuk pendataan yang terpusat, tak peduli KTP, atau tempat domisilinya.
Langkah ini juga memudahkan bagi mereka yang tak punya ponsel atau gagap
teknologi, yang selama ini sulit masuk ke dalam sistem digital yang
disediakan. Apa masalahnya kalau nanti catatan di
kelurahan, misalnya, berbeda dengan data baru dari puskesmas; bukankah selama
ini sebagian pendataan kita terkadang memang kacau? (Masih ingat program satu
data (single identification number) yang disimpan dalam cip di e-KTP yang
sempat jadi ajang korupsi?) Akan tetapi, dalam urusan wabah ini, yang
penting puskesmas berhasil mengimunisasi sebanyak mungkin warga, tak peduli
KTP-nya, asalkan ia berdomisili di tempat itu. Jika jumlah vaksin belum
cukup, mereka bisa menunggu dan diatur lewat koordinasi petugas setempat. Tak
usah khawatir ada yang menipu minta divaksin lagi, karena ini, sekali lagi,
bukan pembagian uang kontan atau sembako. Kalau model ini tak dilaksanakan, kita
khawatir pemerintah hanya sibuk dengan data melulu, sementara target mengejar
kekebalan kelompok tak segera tercapai. Sambil meningkatkan penelitian terhadap
mutasi virus, dan persiapan penerapan suntikan kedua, serta pengobatan mereka
yang terpapar, hasil terbaik tampaknya hanya terwujud jika angka imunitas di
tengah masyarakat meningkat secara cepat dan pesat. Kita tahu pemerintah ingin tertib. Namun,
jangan lupa, sering kali ketertiban berlebihan bisa mengganggu kelancaran.
Saat tsunami mengancam, kita harus melarikan penduduk ke atas bukit. Kian
banyak dan cepat orang sampai di bukit, kian besar jumlah yang bisa
diselamatkan. Terakhir, pendidikan tentang perilaku
masyarakat sehari-hari untuk menerapkan protokol kesehatan harus digencarkan.
Sebagaimana terjadi pada setiap wabah, masyarakat harus disadarkan: ketimbang
harus melaksanakan pembatasan ketat dan menutup sekolah berbulan-bulan, para
ketua RW dan RT diberi tanggung jawab besar mendidik warganya, bukan cuma
disibukkan dengan urusan pembatasan skala mikro (PPKM). Mereka harus tahu bahwa kebiasaan ”memakai
masker” dan ”menjaga jarak” bakal menjadi kegiatan hidup sehari-hari, mungkin
hingga beberapa tahun mendatang. Jika tidak, kita khawatir awan hitam pandemi
(atau endemi) yang suram terus menggelayut di tengah kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar