Kamis, 25 Maret 2021

 

Covid-19 dan Target Indonesia Bebas Tuberkulosis 2030

 Tjandra Yoga Aditama ;  Guru Besar Paru FKUI; Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara

                                                        KOMPAS, 24 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada 24 Maret 1882 Robert Koch, ilmuwan Jerman, mempresentasikan penemuannya: kuman penyebab tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis. Ini penemuan amat penting karena pada masa itu tuberkulosis (TB) jadi penyebab kematian utama dunia.

 

Kini, setiap 24 Maret, dunia memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia. Tentu maksudnya untuk terus meningkatkan komitmen kita pada pengendalian penyakit yang sudah ratusan tahun kita kenal, diagnosis dan pengobatannya jelas, tetapi setiap tahun lebih dari satu juta orang meninggal karena penyakit ini, mirip Covid-19.

 

Negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia adalah India, Indonesia, dan China.

 

Pengendalian TB di kawasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara—termasuk Indonesia—tadinya berjalan cukup baik. Angka notifikasi penemuan kasus TB naik dari 2,6 juta pada 2015 menjadi 3,36 juta di tahun 2018, atau naik sekitar 20 persen.

 

Artinya, semakin banyak pasien berhasil ditemukan untuk diobati karena, kalau tidak, satu pasien akan dapat menulari sampai sepuluh orang sehingga TB tetap merajalela di masyarakat tak terkendali.

 

Lalu, keberhasilan pengobatan pada TB sensitif obat naik dari 79 persen pada kohort 2014 menjadi 83 persen pada kohort 2017. Jumlah kematian juga terus menurun di kawasan Asia Tenggara, dari 758.000 di tahun 2015 menjadi 658.000 pada 2018.

 

Disusun beberapa kesepakatan global, membuat berbagai target cukup penting yang harus dicapai di dunia. Pertemuan tingkat PBB menetapkan target, dalam kurun 2018-2022 dunia harus menemukan dan mengobati 40 juta orang, memberikan terapi pencegahan pada setidaknya 30 juta orang, ada peningkatan anggaran pengendalian TB di sejumlah negara.

 

Juga sudah ditetapkan target End TB Strategy, yaitu tercapainya penurunan insiden kasus TB paru 80 persen pada 2030 dan penurunan kematian akibat TB sampai 90 persen di 2030.

 

Laporan TB Dunia 2020 yang diterbitkan pada Oktober 2020 dan menampilkan data 2019 menunjukkan, pada 2019 di dunia ada 10 juta kasus TB dan 1,2 juta kematian, sementara di kawasan WHO Asia Tenggara terdapat 4,3 juta kasus TB dan 632.000 kematian setahunnya.

 

Dampak Covid-19

 

Dengan apa yang sudah dicapai dunia sampai 2019, dan dengan berbagai target yang sudah dibuat, tadinya diharapkan pada 2020 akan ada berbagai kemajuan amat penting dalam pencapaian dan situasi epidemiologi TB. Akan tetapi, seperti kita ketahui, pandemi Covid-19 membelenggu dunia di 2020.

 

Dampak Covid-19 pada TB tentu cukup dan bahkan amat besar. Beberapa pemodelan yang dibuat memperkirakan disrupsi akibat Covid-19 dapat membuat indikator kemajuan program TB dunia mundur ke situasi di 2013-2016, atau mundur 5-8 tahun ke belakang.

 

Publikasi lain menyebutkan, kalau deteksi TB global menurun rata-rata 25 persen dalam tiga bulan saja,  akan ada peningkatan kematian akibat TB sebanyak 190.000 orang. Artinya, untuk kawasan WHO Asia Tenggara, akan ada penambahan 100.000 kematian. Data lain menyebutkan, jika di 2018 ada 1,49 juta kematian akibat TB, maka akibat pandemi Covid-19 di 2020 bisa terjadi 1,85 juta kematian di dunia.

 

Setidaknya ada lima kemungkinan dampak Covid-19 pada TB di beberapa negara. Pertama, ada kekhawatiran masyarakat datang ke puskesmas, klinik, dan rumah sakit (RS) karena takut tertular Covid-19. Juga ada keterbatasan aktivitas skrining dalam penemuan aktif kasus TB oleh petugas.

 

Kedua, dari aspek pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis TB, ada kekhawatiran dari sebagian masyarakat untuk datang ke laboratorium, dan ada penurunan rujukan spesimen yang diperiksa. Ketiga, di sebagian negara ada disrupsi pada proses pembelian dan distribusi obat, atau keterbatasan obat di lapangan.

 

Keempat, dalam hal pengobatan dan pengawasannya dimungkinkan ada gangguan pada pelayanan di puskesmas, klinik, dan RS karena kesibukan menangani Covid-19. Juga proses monitoring, supervisi, dan pelaporan bisa menjadi terlambat. Kelima, petugas kesehatan jadi amat sibuk karena program pengendalian Covid-19.

 

Yang dapat dilakukan

 

Ada tiga hal yang perlu segera dilakukan. Pertama, perlu ada penilaian mendalam tentang situasi TB saat ini: data epidemiologinya, pencapaian program kegiatannya, serta kesiapan sumber daya yang ada.

 

Kedua, harus dilakukan upaya maksimal agar pelayanan dapat kembali ke setidaknya seperti masa sebelum Covid-19. Ketiga, upaya keras mengatasi ketertinggalan dalam satu tahun belakangan ini. Kasus-kasus yang belum ditemukan harus segera ditemukan, bukan hanya untuk diobati, melainkan juga memutus rantai penularan.

 

Dalam jangka menengah dan panjang, ada tiga hal pula yang dapat dilakukan. Pertama, memperkuat sistem pelayanan kesehatan, pencegahan infeksi, dan juga meningkatkan keterlibatan aktif masyarakat.

 

Kedua, dilakukan inovasi-inovasi dalam penemuan dan menjamin keberhasilan pengobatan, baik bersifat nasional maupun  spesifik lokal di daerah. Ketiga, advokasi untuk menjadikan TB suatu kegiatan kesehatan penting yang melibatkan berbagai sektor dalam pemerintahan.

 

Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia bebas TB pada 2030 dan menghendaki program TB dapat menggunakan pengalaman pendekatan yang dilakukan pada Covid-19.

 

Setidaknya ada tujuh kegiatan pengendalian Covid-19 yang dapat juga dilakukan sejalan dengan pengendalian TB. Pertama dan kedua adalah tes dan telusur kontak yang luas yang kini terus ditingkatkan untuk Covid-19, akan baik kalau dilakukan pula pada TB.

 

Ketiga, pencegahan infeksi dengan mencuci tangan dan memakai masker, juga akan baik untuk pencegahan TB. Data menunjukkan, penggunaan masker yang tepat dapat mengurangi kemungkinan tertular TB sampai 56 persen.

 

Keempat, surveilans, monitoring ketat data di lapangan dari waktu ke waktu yang kita lakukan untuk Covid-19 juga harus dilakukan untuk TB. Kelima, penguatan sistem kesehatan secara menyeluruh.

 

Keenam, pentingnya komunikasi risiko. Informasi kepada masyarakat yang secara intensif diberikan untuk Covid-19 juga bisa dilakukan untuk penyakit TB, tidak hanya di seputar saat Hari TB Sedunia di bulan Maret ini.

 

Ketujuh, nilai sentral peran masyarakat untuk mengendalikan penyakit, baik Covid-19 maupun TB. Masyarakat luas bukanlah obyek program kesehatan, melainkan subyek yang berperan utama dalam kesehatan bangsa kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar