Membangkitkan
Kemandirian, Cinta Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita ; Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam
Negeri/Kepala BKPM, 1983-1988 |
KOMPAS,
15 Maret
2021
Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko
Widodo melontarkan sebuah ucapan yang cukup menggegerkan, dan menjadi
”trending topic” di beberapa media, baik media konvensional maupun, dan
terutama, media daring, yaitu ”benci produksi luar negeri”. Ada yang mendukung tetapi tidak sedikit
juga yang mempertanyakan, bahkan dengan nada cemooh; yang menjadi obyek
adalah penggunaan kata ”benci”. Sebetulnya kalau secara jernih kita simak,
semangatnya adalah mencintai dan mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri. Penggunaan kata ”benci” adalah sebuah
penekanan dan tak perlu diartikan secara harfiah. Karena, bukan hanya
Presiden, semua orang tahu bahwa dalam ekonomi modern, apalagi dalam dunia
yang menganut paham perdagangan bebas, tak dapat dihindari masuk keluarnya
barang, ada barang yang kita ekspor, ada barang yang kita impor. Banyak barang impor, artinya produksi luar
negeri, yang kita perlukan untuk ekonomi dan kebutuhan rakyat, misalnya
peralatan dan suku cadang serta bahan baku industri yang tidak dapat
dihasilkan di dalam negeri. Misalnya kapas (cotton), untuk bahan baku tekstil
tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Juga salah satu makanan pokok rakyat kecil,
yaitu tempe, tahu, kecap, dan di Jawa Barat oncom, bahan bakunya kedelai,
harus kita impor. Demikian pula makanan yang sudah sangat merakyat, yaitu mi,
dan bagi yang lebih mapan roti, bahan bakunya gandum, tidak pernah bisa
produksi di Indonesia. Kecuali teknologi nanti di kemudian hari memungkinkan
sejumlah tumbuhan tersebut dapat tumbuh dengan baik di Tanah Air kita. Bahkan, beras, gula, garam, dan bawang
harus kita impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dulu di masa Orde
Baru kita pernah swasembada beras. Namun sekarang Indonesia adalah salah satu
negara pengimpor beras terbesar di dunia. Dan banyak contoh lagi di luar bidang
pertanian; di bidang industri, transportasi, dan farmasi banyak peralatan
serta suku cadang dan bahan baku yang masih harus diimpor. Semua itu dipahami
kita-kita ini, dan tentunya Presiden juga mafhum. Yang ingin dan harus terus diingatkan:
jangan kita menggunakan produksi luar negeri yang sudah dapat diproduksi di
dalam negeri. Atau lebih jauh lagi, yang ada potensi untuk diproduksi di
dalam negeri tetapi kebiasaan impor menjadi penghalang pertumbuhannya. Dalam hal seperti ini kita harus mengekang
hasrat mengimpor dan memberikan kesempatan produksi dalam negeri untuk
berkembang. Boleh saja sebagai eufemisme kita gunakan istilah ”membenci” atau
”mengharamkan” produksi asing sebagai lawan kata ”mencintai” atau lebih
”menghalalkan” produksi dalam negeri. Saya punya pengalaman pribadi sebagai
seseorang yang dipercaya mengemban tanggung jawab itu pada tahun 1980-an
sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri
merangkap Kepala BKPM. Kampanye penggunaan produksi dalam negeri
pada masa itu tentu saja berdasar pada kepentingan ekonomi, yaitu memperoleh
nilai tambah, memperluas lapangan kerja, serta membangun landasan yang kokoh
bagi peningkatan produksi dan konsumsi nasional. Kemandirian Namun sesungguhnya dasar pemikirannya lebih
jauh lagi, yaitu membangun kemandirian. Dalam rubik Opini di harian ini, saya
pernah mengungkapkan kemandirian sebagai paham dasar dalam membangun, bukan
hanya ekonomi, melainkan karakter bangsa. Saya ingin mengulanginya untuk
generasi masa sekarang. Kemandirian adalah hakikat dari
kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan
menentukan apa yang terbaik bagi dirinya Oleh karena itu, pembangunan,
sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan haruslah pula upaya membangun
kemandirian Konsep kemandirian sesungguhnya bukanlah
ketersendirian dan keterisolasian. Dengan demikian, masalah kemandirian tidak
didasarkan pada paradigma ketergantungan yang banyak dibicarakan antara lain
di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1950 dan 1960-an. Konsep ini telah
menyebabkan kegagalan pembangunan dan kebangkrutan di banyak negara di kala
itu. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling
ketergantungan (interdependent) yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
bermasyarakat, baik masyarakat dalam suatu negara maupun masyarakat
bangsa-bangsa. Justru persoalan kemandirian itu timbul
oleh karena selalu adanya kondisi saling ketergantungan. Kemandirian dengan
demikian adalah paham yang proaktif, bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis
karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa
berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai- nilai yang
mendasari dan memengaruhinya. Suatu bangsa dikatakan semakin mandiri
apabila semakin mampu mewujudkan kehidupannya yang sejajar dan sederajat
dengan bangsa lain dengan kekuatannya sendiri. Meskipun kemajuan dan kemandirian
mencerminkan perkembangan ekonomi suatu bangsa, ia tidak semata-mata konsep ekonomi.
Kemajuan dan kemandirian juga tecermin dalam keseluruhan aspek kehidupan,
dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan
politik dan sosial. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian
sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau suatu bangsa mengenai dirinya,
masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada
dasarnya adalah masalah budaya. Mencintai produksi dalam negeri dengan
demikian mencerminkan budaya masyarakat mandiri. Singkatnya, dalam bidang ekonomi
kemandirian tecermin dalam kemampuan suatu bangsa untuk secara optimal
memenuhi kebutuhan, baik barang maupun jasa, secara mandiri, dan untuk itu
haruslah diciptakan kondisi yang memungkinkan berkembangnya kemampuan itu.
Dengan demikian membangun lapisan usaha nasional yang tangguh menjadi sangat
strategis dalam konsep kemandirian ini. Berbagai instrumen proteksi di waktu lalu
pernah ditempuh, untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar dan
sedang tumbuh sehingga dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan industri
nasional. Bukan hanya barang hasil industri manufaktur, melainkan juga
pelbagai hasil pertanian dan jasa berkembang pada waktu itu. Potensi nasional yang berkembang pada masa
itu telah menjadi modal bangsa Indonesia dan yang kemudian berkembang pada
saat kesempatan makin terbuka pada tahap pembangunan berikutnya. Dengan
deregulasi, secara bertahap proteksi yang diberikan oleh pemerintah secara
berangsur-angsur dikurangi. Hasilnya telah terlihat pada apa yang kita miliki
sekarang. Dalam praktiknya, jalur proteksi sudah
tidak bisa lagi digunakan dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas
saat ini. Karena selain membuka pintu untuk rente ekonomi, proteksi juga
dapat dibalas dengan menutup ekspor kita atau mengenakan countervailing duty. Cinta
bangsa cinta karyanya Jalur utamanya sekarang adalah
mengampanyekan kepada masyarakat penggunaan produk dalam negeri sebagai
ungkapan rasa cinta kepada bangsa dan negara, sebagai manifestasi idealisme
dan patriotisme dalam masa damai dan era pembangunan. Di masa lalu digunakan semboyan ”cinta
bangsa cinta karyanya”. Sebenarnya cara ini adalah yang paling tepat untuk
membangun ekonomi nasional didasarkan pada kemampuan produksi bangsa secara
berkelanjutan. Semangat masyarakat seperti ini, yaitu memilih dengan
kesadaran, akan lebih langgeng dan efektif dibandingkan pembatasan pilihan
kepada konsumen. Sebagai contoh budaya cinta dan bangga
terhadap produksi bangsanya ditunjukkan oleh orang Jepang. Karena keengganan
menggunakan barang impor, dan atas tekanan internasional, Pemerintah Jepang
di bawah Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone justru mengampanyekan penggunaan
produksi luar negeri. Itu pun dengan susah payah bangsa Jepang mulai membuka
pintu bagi produk asing. Pada hakikatnya tanpa harus menggunakan
instrumen perdagangan, rakyat Indonesia seharusnya secara sadar, sebagai
bagian dari ekspresi budayanya, memilih produk bangsanya sendiri. Dengan
sikap itu tidak akan ada yang bisa menyalahkan karena hak konsumen memilih
apa yang ingin dibelinya. Institusi pemerintah, termasuk BUMN yang
merupakan pasar domestik yang besar, sebagai konsumen barang dan jasa juga
berhak memilih produk yang akan digunakannya. Institusi pemerintah dan BUMN justru
harus menjadi teladan dan memelopori penggunaan produksi dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhannya. Kemampuan nasional dan tingkat
kesejahteraan kita dewasa ini jauh lebih kuat dibandingkan masa lalu, seperti
tecermin antara lain dari PDB dan lapisan menengah yang terus meningkat. Namun, di lain sisi, ekonomi yang makin
terbuka membuat produksi-produksi asing makin deras memasuki pasar kita dan
masyarakat menjadi tidak peka lagi terhadap pilihan barang impor atau
produksi bangsanya sendiri. Produksi dalam negeri juga kini sulit
berkembang karena rakyat sudah terlena dan tidak merasa perlu mendahulukan
produksi bangsa sendiri. Dengan kata lain kemandirian bukan lagi menjadi elan
perjuangan dalam membangun kehidupan kita sebagai bangsa yang merdeka. Hal inilah sebetulnya yang kita risaukan
dan mungkin diprihatinkan oleh Presiden Joko Widodo, yang merasa perlu
melontarkan seruan keras untuk mengembalikan semangat ”Cinta Bangsa Cinta
Karyanya” yang mencerminkan semangat kemandirian yang menjadi hakikat
kemerdekaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar