Rabu, 17 Maret 2021

 

Membangkitkan Kemandirian, Cinta Produksi Dalam Negeri

 Ginandjar Kartasasmita  ; Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri/Kepala BKPM, 1983-1988

                                                        KOMPAS, 15 Maret 2021

 

 

                                                           

Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo melontarkan sebuah ucapan yang cukup menggegerkan, dan menjadi ”trending topic” di beberapa media, baik media konvensional maupun, dan terutama, media daring, yaitu ”benci produksi luar negeri”.

 

Ada yang mendukung tetapi tidak sedikit juga yang mempertanyakan, bahkan dengan nada cemooh; yang menjadi obyek adalah penggunaan kata ”benci”. Sebetulnya kalau secara jernih kita simak, semangatnya adalah mencintai dan mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri.

 

Penggunaan kata ”benci” adalah sebuah penekanan dan tak perlu diartikan secara harfiah. Karena, bukan hanya Presiden, semua orang tahu bahwa dalam ekonomi modern, apalagi dalam dunia yang menganut paham perdagangan bebas, tak dapat dihindari masuk keluarnya barang, ada barang yang kita ekspor, ada barang yang kita impor.

 

Banyak barang impor, artinya produksi luar negeri, yang kita perlukan untuk ekonomi dan kebutuhan rakyat, misalnya peralatan dan suku cadang serta bahan baku industri yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri. Misalnya kapas (cotton), untuk bahan baku tekstil tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

 

Juga salah satu makanan pokok rakyat kecil, yaitu tempe, tahu, kecap, dan di Jawa Barat oncom, bahan bakunya kedelai, harus kita impor. Demikian pula makanan yang sudah sangat merakyat, yaitu mi, dan bagi yang lebih mapan roti, bahan bakunya gandum, tidak pernah bisa produksi di Indonesia. Kecuali teknologi nanti di kemudian hari memungkinkan sejumlah tumbuhan tersebut dapat tumbuh dengan baik di Tanah Air kita.

 

Bahkan, beras, gula, garam, dan bawang harus kita impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dulu di masa Orde Baru kita pernah swasembada beras. Namun sekarang Indonesia adalah salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia.

 

Dan banyak contoh lagi di luar bidang pertanian; di bidang industri, transportasi, dan farmasi banyak peralatan serta suku cadang dan bahan baku yang masih harus diimpor. Semua itu dipahami kita-kita ini, dan tentunya Presiden juga mafhum.

 

Yang ingin dan harus terus diingatkan: jangan kita menggunakan produksi luar negeri yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Atau lebih jauh lagi, yang ada potensi untuk diproduksi di dalam negeri tetapi kebiasaan impor menjadi penghalang pertumbuhannya.

 

Dalam hal seperti ini kita harus mengekang hasrat mengimpor dan memberikan kesempatan produksi dalam negeri untuk berkembang. Boleh saja sebagai eufemisme kita gunakan istilah ”membenci” atau ”mengharamkan” produksi asing sebagai lawan kata ”mencintai” atau lebih ”menghalalkan” produksi dalam negeri.

 

Saya punya pengalaman pribadi sebagai seseorang yang dipercaya mengemban tanggung jawab itu pada tahun 1980-an sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri merangkap Kepala BKPM.

 

Kampanye penggunaan produksi dalam negeri pada masa itu tentu saja berdasar pada kepentingan ekonomi, yaitu memperoleh nilai tambah, memperluas lapangan kerja, serta membangun landasan yang kokoh bagi peningkatan produksi dan konsumsi nasional.

 

Kemandirian

 

Namun sesungguhnya dasar pemikirannya lebih jauh lagi, yaitu membangun kemandirian. Dalam rubik Opini di harian ini, saya pernah mengungkapkan kemandirian sebagai paham dasar dalam membangun, bukan hanya ekonomi, melainkan karakter bangsa. Saya ingin mengulanginya untuk generasi masa sekarang.

 

Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan haruslah pula upaya membangun kemandirian

 

Konsep kemandirian sesungguhnya bukanlah ketersendirian dan keterisolasian. Dengan demikian, masalah kemandirian tidak didasarkan pada paradigma ketergantungan yang banyak dibicarakan antara lain di negara-negara Amerika Latin pada tahun 1950 dan 1960-an. Konsep ini telah menyebabkan kegagalan pembangunan dan kebangkrutan di banyak negara di kala itu.

 

Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan (interdependent) yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik masyarakat dalam suatu negara maupun masyarakat bangsa-bangsa.

 

Justru persoalan kemandirian itu timbul oleh karena selalu adanya kondisi saling ketergantungan. Kemandirian dengan demikian adalah paham yang proaktif, bukan reaktif atau defensif.

 

Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai- nilai yang mendasari dan memengaruhinya.

 

Suatu bangsa dikatakan semakin mandiri apabila semakin mampu mewujudkan kehidupannya yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan kekuatannya sendiri.

 

Meskipun kemajuan dan kemandirian mencerminkan perkembangan ekonomi suatu bangsa, ia tidak semata-mata konsep ekonomi. Kemajuan dan kemandirian juga tecermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial.

 

Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau suatu bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan.

 

Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya. Mencintai produksi dalam negeri dengan demikian mencerminkan budaya masyarakat mandiri.

 

Singkatnya, dalam bidang ekonomi kemandirian tecermin dalam kemampuan suatu bangsa untuk secara optimal memenuhi kebutuhan, baik barang maupun jasa, secara mandiri, dan untuk itu haruslah diciptakan kondisi yang memungkinkan berkembangnya kemampuan itu. Dengan demikian membangun lapisan usaha nasional yang tangguh menjadi sangat strategis dalam konsep kemandirian ini.

 

Berbagai instrumen proteksi di waktu lalu pernah ditempuh, untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar dan sedang tumbuh sehingga dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan industri nasional. Bukan hanya barang hasil industri manufaktur, melainkan juga pelbagai hasil pertanian dan jasa berkembang pada waktu itu.

 

Potensi nasional yang berkembang pada masa itu telah menjadi modal bangsa Indonesia dan yang kemudian berkembang pada saat kesempatan makin terbuka pada tahap pembangunan berikutnya. Dengan deregulasi, secara bertahap proteksi yang diberikan oleh pemerintah secara berangsur-angsur dikurangi. Hasilnya telah terlihat pada apa yang kita miliki sekarang.

 

Dalam praktiknya, jalur proteksi sudah tidak bisa lagi digunakan dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas saat ini. Karena selain membuka pintu untuk rente ekonomi, proteksi juga dapat dibalas dengan menutup ekspor kita atau mengenakan countervailing duty.

 

Cinta bangsa cinta karyanya

 

Jalur utamanya sekarang adalah mengampanyekan kepada masyarakat penggunaan produk dalam negeri sebagai ungkapan rasa cinta kepada bangsa dan negara, sebagai manifestasi idealisme dan patriotisme dalam masa damai dan era pembangunan.

 

Di masa lalu digunakan semboyan ”cinta bangsa cinta karyanya”. Sebenarnya cara ini adalah yang paling tepat untuk membangun ekonomi nasional didasarkan pada kemampuan produksi bangsa secara berkelanjutan. Semangat masyarakat seperti ini, yaitu memilih dengan kesadaran, akan lebih langgeng dan efektif dibandingkan pembatasan pilihan kepada konsumen.

 

Sebagai contoh budaya cinta dan bangga terhadap produksi bangsanya ditunjukkan oleh orang Jepang. Karena keengganan menggunakan barang impor, dan atas tekanan internasional, Pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone justru mengampanyekan penggunaan produksi luar negeri. Itu pun dengan susah payah bangsa Jepang mulai membuka pintu bagi produk asing.

 

Pada hakikatnya tanpa harus menggunakan instrumen perdagangan, rakyat Indonesia seharusnya secara sadar, sebagai bagian dari ekspresi budayanya, memilih produk bangsanya sendiri. Dengan sikap itu tidak akan ada yang bisa menyalahkan karena hak konsumen memilih apa yang ingin dibelinya.

 

Institusi pemerintah, termasuk BUMN yang merupakan pasar domestik yang besar, sebagai konsumen barang dan jasa juga berhak memilih produk yang akan digunakannya. Institusi pemerintah dan BUMN justru harus menjadi teladan dan memelopori penggunaan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhannya.

 

Kemampuan nasional dan tingkat kesejahteraan kita dewasa ini jauh lebih kuat dibandingkan masa lalu, seperti tecermin antara lain dari PDB dan lapisan menengah yang terus meningkat.

 

Namun, di lain sisi, ekonomi yang makin terbuka membuat produksi-produksi asing makin deras memasuki pasar kita dan masyarakat menjadi tidak peka lagi terhadap pilihan barang impor atau produksi bangsanya sendiri.

 

Produksi dalam negeri juga kini sulit berkembang karena rakyat sudah terlena dan tidak merasa perlu mendahulukan produksi bangsa sendiri. Dengan kata lain kemandirian bukan lagi menjadi elan perjuangan dalam membangun kehidupan kita sebagai bangsa yang merdeka.

 

Hal inilah sebetulnya yang kita risaukan dan mungkin diprihatinkan oleh Presiden Joko Widodo, yang merasa perlu melontarkan seruan keras untuk mengembalikan semangat ”Cinta Bangsa Cinta Karyanya” yang mencerminkan semangat kemandirian yang menjadi hakikat kemerdekaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar