Jumat, 26 Maret 2021

 

Dunia Islam dan Uighur

Smith Alhadar ;  Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

                                              MEDIA INDONESIA, 25 Maret 2021                

 

 

SETELAH AS dan Kanada, pada Selasa (23 Maret), UE dan Inggris menjatuhkan sanksi terhadap empat pejabat Tiongkok terkait dengan perlakuan rezim Tiongkok terhadap minoritas muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Mereka menyebut tindakan itu sebagai genosida. Empat pejabat itu dianggap sebagai arsitek pendirian kamp penahanan – Tiongkok menyebutnya sebagai kamp reedukasi – untuk membasmi agama dan budaya Uighur, serta etnik minoritas muslim lainnya di provinsi itu.

 

Di kamp itu, menurut banyak laporan lembaga internasional, terjadi kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, dan sterilisasi terhadap perempuan di sana. Apa boleh buat, Uighur kini merupakan etnik besar yang paling terkena persekusi, dan penindasan negara saat ini.

 

Rezim Tiongkok menganggap orang beragama sebagai orang yang mengidap ‘sakit mental’. Maka harus diobati dengan cara-cara yang sangat menyedihkan. Menyusul peristiwa teror 11 September 2001 di AS – yang mengobarkan perang melawan teror di seluruh dunia – rezim Tiongkok memanfaatkannya, dengan melakukan program cuci otak di Xinjiang.

 

Tiongkok menganggap sedang menghadapi ‘tiga kekuatan setan’, yaitu separatisme, terorisme, dan ekstremisme. Dan menganggap, apa yang dilakukan AS terhadap teroris muslim jauh lebih kejam daripada apa yang ia lakukan terhadap Uighur.

 

Dalam kesempatan lain, Tiongkok beralasan apa yang disebut kamp-kamp konsentrasi sebenarnya merupakan kamp-kamp reedukasi untuk memberi keterampilan kepada kaum muda Uighur, agar dapat memasuki pasar kerja. Toh, pengangguran di kalangan muslim di Xinjiang, orang Uighur menyebut Turkistan Timur, cukup tinggi. Maka, brain washing diperlukan untuk menjauhi Uighur dan etnik muslim lain dari terorisme.

 

Islam diasosiasikan dengan subversi, separatisme, dan terorisme. Memang sejak dulu, Uighur menentang Beijing. Pada 1933 dan 1944 pemberontakan Uighur dapat mendirikan Republik Turkistan Timur Pertama sebelum dihancurkan pada 1934. Republik Turkistan Timur Kedua, berdiri dari 1944 sampai 1949. Pada saat ini ada tiga organisasi Uighur yang terus berjuang untuk kemerdekaan: Gerakan Islam Turkistan Timur, Organisasi Pembebasan Turkistan Timur, dan Gerakan Kemerdekaan Turkistan Timur.

 

Separatisme Uighur, rumpun etnik Turki, didorong kesadaran, bahwa ia berbeda sepenuhnya dengan etnik Han yang merupakan etnik mayoritas (80%) populasi Tiongkok. Tampaknya, Beijing ingin meng-Han-kan orang Uighur, dengan cara menghilangkan kebudayaan mereka. Paling tidak, setiap satu dari 11 orang Uighur hilang ke dalam kamp-kamp konsentrasi. Angka itu, bahkan lebih menggetarkan bagi mereka yang memiliki keluarga atau teman yang dikurung hanya karena mempraktikkan keyakinan agama mereka.

 

Yang mengejutkan, kondisi berat yang dihadapi Uighur luput dari perhatian dunia Islam. Tidak ada satu pun negara Islam yang coba mengusik kebijakan Tiongkok. Kepentingan ekonomi dan politik nasional dari tiap-tiap negara Islam, yang digantungkan pada Tiongkok membuat mereka harus menoleransi kebijakan Beijing terhadap Uighur.

 

Memang pengaruh besar Tiongkok terhadap dunia Islam di bidang ekonomi dan politik terus menggurita. Tiongkok ialah anggota tetap DK PBB, dan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Tak mengherankan, pada 5 Maret lalu, pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden – yang menjadikan HAM sebagai panglima politik luar negerinya – memobilisasi sekutu-sekutu, dan mitra-mitranya untuk berbicara dalam satu suara dalam mengutuk perlakuan buruk Tiongkok terhadap Uighur.

 

Sikap keras Washington dan sekutunya terhadap Beijing, tidak sekadar bermaksud menghambat perkembangan ‘Negeri Tirai Bambu’ itu, tapi juga demi nilai-nilau luhur yang diyakini kebenarannya.

 

Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet sudah lama mendesak Beijing memberi akses pada Pengawas HAM PBB itu untuk masuk ke wilayah yang gelisah tersebut, untuk menginvestigasi situasi di sana. Sebenarnya kecemasan 11 juta etnik Uighur di Xinjiang sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-18, ketika Dinasti Qing menduduki provinsi terbesar di Tiongkok itu, menyusul pemindahan etnik Han ke wilayah itu. Namun, pemindahan besar-besaran yang lebih terencana terjadi setelah RRC di bawah Mao Tse Dong berdiri 1949.

 

Dengan maksud mengubah demografi dan menghilangkan identitas Islam di provinsi itu, orang Han dalam jumlah besar masuk hingga ke jantung wilayah Uighur. Kini jumlah etnik Han sekitar 70% dari total penduduk Xinjiang, menyisakan Uighur sebagai kelompok minoritas.

 

Ancaman terhadap penahanan di kamp konsentrasi, ialah ketakutan yang melayang-layang di atas Xinjiang seperti awan hitam dan mencengkeram pikiran setiap orang Uighur. Memang, ketakutan akan penahanan telah menjadi fakta kehidupan sehari-hari yang tak dapat dihindari.

 

Ketakutan ini ialah senjata yang digunakan rezim Tiongkok untuk mencegah dan mengintimidasi Uighur, agar tidak menjalankan perintah agama mereka, yang dilakukan dengan cara menyebarkan polisi dalam jumlah besar, dalam komunitas Uighur, menyadap tetangga, kawan sekolah, dan teman sejawat untuk bekerja sebagai pengumpul data dan mata-mata, serta yang paling jahat ialah mewakilkan anak-anak Uighur, untuk mengawasi dan menjerumuskan orangtua mereka.

 

Sementara itu, otoritas Tiongkok di Xinjiang telah mendaftarkan secara virtual siapa pun, dan setiap orang di dalam komunitas Uighur untuk ambil bagian dalam membasmi Islam.

 

Melihat situasi ini, pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump telah menjatuhkan sanksi larangan mengimpor tomat dan kapas yang diproduksi di Xinjiang. Kebijakan Trump ini, yang dilanjutkan Biden, bertujuan memaksa Tiongkok meninjau ulang kebijakannya.

 

Tampak pemerintahan Biden sedang membujuk Dunia Islam mengikuti ajakannya menekan Beijing agar bobot tekanan lebih signifikan. Bagaimanapun, perlakuan Tiongkok terhadap Uighur merupakan pelanggaran HAM berat. Apakah Biden akan berhasil? Tidak juga. Tiongkok terlalu penting bagi Dunia Islam, baik dari sisi ekonomi maupun politik, sekaligus dapat dijadikan sandaran untuk mengimbangi hegemoni AS. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar