Dunia
Islam dan Uighur Smith Alhadar ; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) |
MEDIA
INDONESIA, 25 Maret 2021
SETELAH AS dan Kanada, pada Selasa (23
Maret), UE dan Inggris menjatuhkan sanksi terhadap empat pejabat Tiongkok
terkait dengan perlakuan rezim Tiongkok terhadap minoritas muslim Uighur di
Provinsi Xinjiang. Mereka menyebut tindakan itu sebagai genosida. Empat
pejabat itu dianggap sebagai arsitek pendirian kamp penahanan – Tiongkok
menyebutnya sebagai kamp reedukasi – untuk membasmi agama dan budaya Uighur,
serta etnik minoritas muslim lainnya di provinsi itu. Di
kamp itu, menurut banyak laporan lembaga internasional, terjadi kerja paksa,
penyiksaan, pemerkosaan, dan sterilisasi terhadap perempuan di sana.
Apa boleh buat, Uighur kini merupakan etnik besar yang paling terkena
persekusi, dan penindasan negara saat ini. Rezim
Tiongkok menganggap orang beragama sebagai orang yang mengidap ‘sakit mental’.
Maka harus diobati dengan cara-cara yang sangat menyedihkan. Menyusul
peristiwa teror 11 September 2001 di AS – yang mengobarkan perang melawan
teror di seluruh dunia – rezim Tiongkok memanfaatkannya, dengan melakukan
program cuci otak di Xinjiang. Tiongkok
menganggap sedang menghadapi ‘tiga kekuatan setan’, yaitu separatisme,
terorisme, dan ekstremisme. Dan menganggap, apa yang dilakukan AS terhadap
teroris muslim jauh lebih kejam daripada apa yang ia lakukan terhadap Uighur.
Dalam kesempatan lain, Tiongkok beralasan
apa yang disebut kamp-kamp konsentrasi sebenarnya merupakan kamp-kamp
reedukasi untuk memberi keterampilan kepada kaum muda Uighur, agar dapat
memasuki pasar kerja. Toh, pengangguran di kalangan muslim di Xinjiang, orang
Uighur menyebut Turkistan Timur, cukup tinggi. Maka, brain washing diperlukan untuk menjauhi Uighur dan etnik muslim lain
dari terorisme. Islam
diasosiasikan dengan subversi, separatisme, dan terorisme. Memang sejak dulu, Uighur menentang
Beijing. Pada 1933 dan 1944 pemberontakan Uighur dapat mendirikan Republik
Turkistan Timur Pertama sebelum dihancurkan pada 1934. Republik Turkistan
Timur Kedua, berdiri dari 1944 sampai 1949. Pada saat ini ada tiga organisasi
Uighur yang terus berjuang untuk kemerdekaan: Gerakan Islam Turkistan Timur,
Organisasi Pembebasan Turkistan Timur, dan Gerakan Kemerdekaan Turkistan
Timur. Separatisme Uighur, rumpun etnik Turki,
didorong kesadaran, bahwa ia berbeda sepenuhnya dengan etnik Han yang
merupakan etnik mayoritas (80%) populasi Tiongkok. Tampaknya, Beijing ingin
meng-Han-kan orang Uighur, dengan cara menghilangkan kebudayaan mereka.
Paling tidak, setiap satu dari 11 orang Uighur hilang ke dalam kamp-kamp
konsentrasi. Angka itu, bahkan lebih menggetarkan bagi mereka yang memiliki
keluarga atau teman yang dikurung hanya
karena mempraktikkan keyakinan agama mereka. Yang
mengejutkan, kondisi berat yang dihadapi Uighur luput dari perhatian dunia
Islam. Tidak ada satu pun negara Islam yang coba mengusik
kebijakan Tiongkok. Kepentingan ekonomi dan politik nasional dari tiap-tiap
negara Islam, yang digantungkan pada Tiongkok membuat mereka harus
menoleransi kebijakan Beijing terhadap Uighur. Memang pengaruh besar Tiongkok terhadap
dunia Islam di bidang ekonomi dan politik terus menggurita. Tiongkok ialah
anggota tetap DK PBB, dan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Tak
mengherankan, pada 5 Maret lalu, pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden
– yang menjadikan HAM sebagai panglima politik luar negerinya – memobilisasi
sekutu-sekutu, dan mitra-mitranya untuk berbicara dalam satu suara dalam
mengutuk perlakuan buruk Tiongkok terhadap Uighur. Sikap
keras Washington dan sekutunya terhadap Beijing, tidak sekadar bermaksud menghambat perkembangan
‘Negeri Tirai Bambu’ itu, tapi juga demi nilai-nilau luhur yang diyakini
kebenarannya. Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michelle
Bachelet sudah lama mendesak Beijing memberi akses pada Pengawas HAM PBB itu
untuk masuk ke wilayah yang gelisah tersebut, untuk menginvestigasi situasi
di sana. Sebenarnya kecemasan 11 juta
etnik Uighur di Xinjiang sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-18, ketika
Dinasti Qing menduduki provinsi terbesar di Tiongkok itu, menyusul pemindahan
etnik Han ke wilayah itu. Namun, pemindahan besar-besaran yang lebih
terencana terjadi setelah RRC di bawah Mao Tse Dong berdiri 1949. Dengan maksud mengubah demografi dan menghilangkan identitas Islam di provinsi itu,
orang Han dalam jumlah besar masuk hingga ke jantung wilayah Uighur. Kini
jumlah etnik Han sekitar 70% dari total penduduk Xinjiang, menyisakan Uighur
sebagai kelompok minoritas. Ancaman
terhadap penahanan di kamp konsentrasi, ialah ketakutan yang melayang-layang
di atas Xinjiang seperti awan hitam dan mencengkeram pikiran setiap orang
Uighur. Memang, ketakutan akan penahanan telah menjadi fakta
kehidupan sehari-hari yang tak dapat dihindari. Ketakutan
ini ialah senjata yang digunakan rezim Tiongkok untuk mencegah dan
mengintimidasi Uighur, agar tidak
menjalankan perintah agama mereka, yang dilakukan dengan
cara menyebarkan polisi dalam jumlah besar, dalam komunitas Uighur, menyadap
tetangga, kawan sekolah, dan teman sejawat untuk bekerja sebagai pengumpul
data dan mata-mata, serta yang paling jahat ialah mewakilkan anak-anak
Uighur, untuk mengawasi dan menjerumuskan orangtua mereka. Sementara itu, otoritas Tiongkok di Xinjiang telah mendaftarkan secara virtual siapa
pun, dan setiap orang di dalam komunitas Uighur untuk ambil bagian dalam membasmi Islam. Melihat situasi ini, pemerintahan AS di
bawah Presiden Donald Trump telah menjatuhkan sanksi larangan mengimpor tomat
dan kapas yang diproduksi di Xinjiang. Kebijakan Trump ini, yang dilanjutkan
Biden, bertujuan memaksa Tiongkok meninjau ulang kebijakannya. Tampak pemerintahan Biden sedang membujuk
Dunia Islam mengikuti ajakannya menekan Beijing agar bobot tekanan lebih
signifikan. Bagaimanapun, perlakuan Tiongkok terhadap Uighur merupakan
pelanggaran HAM berat. Apakah Biden akan berhasil? Tidak juga. Tiongkok
terlalu penting bagi Dunia Islam, baik dari sisi ekonomi maupun politik,
sekaligus dapat dijadikan sandaran untuk mengimbangi hegemoni AS. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar