Rabu, 24 Maret 2021

 

Modernisasi Birokrasi untuk Pembangunan Nasional

 Ma’ruf Amin  ;  Wakil Presiden Republik Indonesia

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Suatu negara yang maju dan modern selalu didukung oleh birokrasi yang efektif dan efisien.

 

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa kualitas birokrasi menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Hal ini karena birokrasi adalah mesin negara yang menggerakkan fungsi pemerintahan, pelayanan publik, dan program atau kegiatan pembangunan.

 

Keputusan politik dan kebijakan publik yang dibuat oleh pimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah, akan sulit dapat dicapai jika birokrasi tidak memiliki kompetensi yang memadai, kemampuan mengeksekusi yang efektif, dan koordinasi yang baik antarlembaga maupun antarwilayah.

 

Membangun pemerintahan seperti ini tentu tidak mudah dan memerlukan upaya perubahan atau reformasi yang sangat mendasar. Reformasi birokrasi adalah suatu konsep yang kompleks, yang mencakup aspek struktural, legal, prosedural, kultural, dan etika birokrasi.

 

Rekam jejak dan evaluasi birokrasi Indonesia

 

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, cukup banyak capaian yang telah diraih dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur telah meningkat dengan cukup pesat dan penyederhanaan regulasi dan birokrasi, khususnya yang terkait dengan penciptaan iklim usaha yang kondusif, telah dilakukan sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan berbagai kemajuan dan peningkatan hasil pembangunan di berbagai bidang.

 

Beberapa langkah besar yang telah dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi antara lain merancang ulang perencanaan dan perekrutan pegawai, penghapusan dan peleburan 37 lembaga nonstruktural (LNS), dan yang terakhir penyederhanaan/konversi jabatan struktural eselon III, IV, dan V menjadi jabatan fungsional.

 

Secara akumulatif per akhir Desember 2020, sebanyak 38.398 jabatan struktural telah dihapus dan dikonversikan menjadi jabatan fungsional. Tujuannya, selain meningkatkan efisiensi dengan memangkas rantai panjang proses bisnis dalam birokrasi pemerintahan, juga untuk memastikan agar profesionalitas, keahlian, dan sistem merit diterapkan sebagai basis kinerja aparat pemerintah.

 

Namun, bila kita melihat laporan berbagai pengukuran yang dilakukan oleh lembaga internasional, kualitas birokrasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2019, kinerja sektor publik Indonesia memiliki skor 54,6 (berada pada peringkat ke-54 dari 141 negara) dengan peringkat daya saing global pada urutan ke-50 dari 141 negara.

 

Peringkat ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya di mana Indonesia menduduki peringkat ke- 45. Tingkat efektivitas pemerintahan Indonesia berdasarkan data The Worldwide Governance Indicators 2019 masih berada di skor 60,1 (peringkat ke-73 dari 193 negara).

 

Terakhir, Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International Indonesia (TII) tahun 2020 mengalami penurunan dengan angka 37 (turun dari tahun sebelumnya 40) dan berada di peringkat ke-102 dari 180 negara (dari tahun sebelumnya peringkat ke-85).

 

Berbagai peringkat tersebut harus menjadi catatan bagi kita untuk melakukan muhasabah (introspeksi) dan terus mengambil langkah perbaikan.

 

Dalam zaman di mana terjadi perubahan yang begitu cepat dan kompleks, saya melihat ada beberapa penyebab ketertinggalan birokrasi kita. Pertama, kemampuan birokrasi kita dalam merespons perubahan lingkungan yang kian kompleks belum cukup memadai.

 

Hal ini karena kompetensinya dalam pengambilan keputusan yang kompleks masih terbatas. Kemampuan pengambilan keputusan birokrasi kita masih terbatas pada situasi yang cenderung normal dan stabil. Akibatnya, proses pengambilan keputusan cenderung memakan waktu dan lama.

 

Kedua, struktur organisasi kita masih gemuk dengan fungsi yang terbatas dan tumpang tindih. Struktur organisasi di kementerian/lembaga (K/L) dan terutama di pemerintahan daerah saat ini masih berdasarkan fungsi-fungsi yang terfragmentasi dan belum berbasis kinerja.

 

Struktur yang demikian itu, selain menyebabkan inefisiensi anggaran, juga menyulitkan terjadinya kerja sama unit kerja di dalam atau antar-organisasi. Dengan berbagai perkembangan yang ada saat ini, seperti teknologi informasi (TI), kita sudah harus memikirkan bagaimana membangun struktur organisasi pemerintah yang berbasis kinerja.

 

Ketiga, tidak tersedianya data yang lengkap dan valid. Sering kali kebijakan yang dibuat kurang efektif ketika pelaksanaannya sangat ditentukan oleh tersedianya data yang akurat. Data ini masih tersebar di berbagai instansi, kurang lengkap dan tidak mutakhir.

 

Keempat, K/L dalam melakukan koordinasi masih belum intens dan memadai. Karena merasa memiliki kewenangan yang besar dalam bidangnya masing-masing, K/L enggan melakukan komunikasi dan kerja sama. Akibatnya, program dan kegiatan pembangunan yang cakupannya luas dan lintas sektor sering kali diformulasikan sendiri dan hanya mewakili orientasi, kepentingan dan perspektif setiap K/L.

 

Kelima, belum cukup tersedianya sistem yang dapat mengintegrasikan keseluruhan proses kebijakan dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, dan koordinasi lintas K/L.

 

Sejak awal pembentukan kabinet telah dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa hanya ada visi-misi Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada lagi visi-misi K/L. Namun, tampaknya arahan tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam penyusunan program dan kegiatan pembangunan nasional dan belum merefleksikan keselarasan program antar-K/L yang berhubungan dengan indikator sasaran strategis.

 

Sebagai akibatnya, tak terjadi harmonisasi di antara berbagai program pembangunan di K/L dalam pencapaian prioritas nasional. Di sisi lain masih terjadi redundansi atau duplikasi berbagai kegiatan pembangunan, baik secara horizontal maupun vertikal. Misal, program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan UMKM yang melibatkan banyak K/L belum menunjukkan keselarasan program yang optimal.

 

Solusinya adalah melakukan kolaborasi, mulai dari tahap perencanaan, yang harus didukung oleh data yang terintegrasi, sistem penilaian kinerja yang mendorong kolaborasi, kapabilitas para pejabat birokrasi untuk menyelaraskan berbagai program K/L, serta penguatan pola pikir serta budaya berbagi hasil dan dampak dari pembangunan.

 

Perubahan sistem ke depan

 

Tantangan negara ke depan ini semakin kompleks sehingga birokrasi harus segera menyesuaikan pola kerja yang kolaboratif, peningkatan kapabilitas SDM aparatur dan budaya organisasi agar menjadi lebih baik. Masa selama pandemi Covid-19 dan sesudahnya membutuhkan program pemulihan ekonomi yang cepat dan tepat.

 

Pengalaman di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan China, termasuk negara ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, keberhasilan pembangunan ekonomi sangat ditentukan oleh birokrasi yang kapabel dan memiliki kemampuan adaptasi perubahan yang tinggi serta mampu berkolaborasi.

 

Pemerintah dan DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan ruang perizinan investasi yang lebih fleksibel. Maka, birokrasi harus segera memanfaatkan regulasi baru tersebut untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional yang sangat ditunggu-tunggu.

 

Untuk secara fundamental melakukan perubahan birokrasi Indonesia, ada beberapa hal yang harus kita lakukan. Pertama, peningkatan kapabilitas aparatur sipil negara (ASN), terutama para pejabat pimpinan tinggi (JPT) untuk memahami secara baik sistem perencanaan, penganggaran berbasis kinerja, dan implementasinya dalam kompleksitas perubahan yang terjadi.

 

Program pendidikan dan pelatihan calon-calon JPT tak boleh dilakukan seadanya dan dengan cara tradisional, tetapi harus menyesuaikan kebutuhan perubahan masa depan, seperti kemampuan untuk memahami proses pengambilan keputusan yang kompleks (complex decision making) dan penciptaan nilai publik baru bagi masyarakat. Rekrutmen untuk JPT juga perlu diperluas di luar birokrasi untuk mendapatkan talenta terbaik.

 

Kedua, membangun berbagai sistem modern yang terintegrasi berbasis teknologi maju. Sistem modern ini harus bisa mengintegrasikan berbagai proses bisnis pemerintahan antar-K/L dan pemda, termasuk di dalamnya pembentukan big data yang dapat digunakan secara berbagi pakai untuk mencapai kinerja pembangunan. Dengan kata lain, kita harus segera menstransformasikan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) secara menyeluruh.

 

Berbagai sistem yang sudah ada saat ini, seperti online single submission (OSS), national single window (NSW), termasuk sistem Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran (Krisna), harus bisa diintegrasikan dan dikembangkan lebih baik menjadi satu data nasional untuk memperkuat kolaborasi di dalam birokrasi.

 

Ketiga, pembenahan kelembagaan harus terus dilakukan untuk mendapatkan bentuk organisasi pemerintah yang fleksibel dan cepat dalam mengatasi permasalahan yang ada. Birokrasi tidak boleh alergi dengan perubahan dalam organisasinya jika dirasakan sudah usang dan tidak mampu lagi untuk menjawab kebutuhan yang ada. Pendekatan hierarki dalam organisasi sudah selayaknya dikurangi dan ditransformasikan ke dalam pendekatan yang lebih bersifat networking (jejaring).

 

Sebagai ”model antara”, struktur organisasi flatarchy bisa diterapkan untuk secara maksimal memanfaatkan perkembangan teknologi yang tersedia tanpa harus mengubah secara ekstrem proses bisnis yang dilakukan. Bentuk organisasi ini diharapkan akan dapat menghidupkan pola kerja sama yang akan dibangun sekaligus mengakomodasi perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat.

 

Keempat, fleksibilitas dan mobilitas pemanfaatan sumber daya manusia ASN antar-K/L/pemda harus dapat dilakukan dengan basis kompetensi. Hal ini untuk mengurangi mental model ego sektoral dan cara pandang serta cara kerja yang sempit. Perlu dibangun manajemen talenta nasional ASN untuk memberikan sistem informasi dalam penempatan jabatan, baik struktural maupun fungsional.

 

Memperhatikan ketertinggalan birokrasi Indonesia saat ini, maka kita harus bekerja keras dan bersungguh sungguh untuk melakukan berbagai transformasi tersebut. Untuk meraih cita-cita menjadi birokrasi kelas dunia, reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan mengubah tampilan fisik dengan kosmetika birokrasi, tetapi harus benar-benar mampu merevitalisasi secara fundamental ke semua organ dalam yang vital bagi birokrasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar