Myanmar:
Kaum Muda vs Militer Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior |
KOMPAS,
23 Maret
2021
Sudah hampir dua bulan kebrutalan dan
kekejaman militer berlangsung di Myanmar sejak mereka merebut kekuasaan dari
tangan sipil, pada 1 Februari 2021. Korban tewas terus berjatuhan di pihak
rakyat. Mereka tewas ditembus peluru tentara. Hingga Kamis (18/3/2021),
menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok hak sipil di
Myanmar, warga sipil yang tewas
mencapai 224 orang dan 2.258 orang ditahan! Menyaksikan semua itu, dunia seperti
terpana. Bingung mau berbuat apa. Apalagi berbagai seruan dan ancaman sanksi
terhadap Myanmar tak dipedulikan sama sekali oleh militer yang berkuasa. Dunia
yang semestinya membantu seperti telah kehilangan akal menghadapi kebrutalan
dan kenekatan militer. Aktor-aktor luar yang selama ini berperan
dalam pembangunan politik dan ekonomi Myanmar—ASEAN, China, Australia, India,
Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan juga Perserikatan
Bangsa-Bangsa—juga seperti salah tingkah semua. Mau berbuat apa. Ada
kepentingan setiap negara dengan Myanmar yang dianggap lebih besar ketimbang
nyawa anak-anak muda yang terus melayang ditembus peluru. Gerakan perlawanan kaum muda di Myanmar
mengingatkan yang terjadi di Tunisia dan Mesir, sepuluh tahun silam. Tewasnya
seorang pedagang kaki lima, Muhammad Bouazizi, di Sidi Bouzid, Tunisia
tengah, mampu menggerakkan seluruh rakyat dan menyingkirkan penguasa korup,
diktator yang sudah berkuasa 23 tahun, Zine El Abidine Ben Ali. Cerita yang
hampir mirip terjadi di Mesir. Kaum muda yang menjadi motor revolusi di
kedua negara itu, juga di negara-negara lain di Timur Tengah. Mereka adalah
anak-anak muda yang kurang mendapat akses pekerjaan—30 persen anak muda
Tunisia dan 40 persen anak muda Mesir menganggur (social.un.org: Agustus
2010-2011). Sementara keluhannya tidak ditanggapi apalagi ditangani
pemerintah. Populasi kaum muda perkotaan meningkat, upah rendah, dan harga
pangan yang tinggi yang telah memperburuk ketidakpuasan mereka. Sebuah
momentum Apa yang terjadi pada Arab Spring
memberikan catatan penting bahwa kaum muda dapat menjadi kekuatan perubahan.
Pada 1963, Bob Dylan menulis ”The Times They Are a-Changin”, sebuah lagu yang
menggambarkan pemberontakan pemuda tahun 1968 di Eropa dan Amerika Serikat.
Kaum muda Indonesia melakukannya pada
1998. Kini, kemajuan teknologi komunikasi,
semisal media sosial, telah menjadi alat pemersatu gerakan. Selain itu, ada
permersatu lain, eperti seni dalam
beragam bentuk yang dapat berperan dalam advokasi antirezim. Apakah perjuangan rakyat—termasuk
kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan, antara lain kaum minoritas
religius, etnik minoritas yang ditindas, komunitas LGBTQ (National
Geographic, 20/3/2021)—kaum muda Myanmar akan berhasil seperti rekan-rekan
mereka di negara lain? Hingga saat ini, belum ada yang bisa
memastikan. Apakah anak-anak muda yang turun ke jalan mempertaruhkan nyawa
mereka pada akhirnya akan tidak berdaya dan kalah? Sekalipun sudah puluhan
nyawa melayang, tidak terlihat bahwa ada rasa gentar di antara kaum muda yang
melawan kekejaman militer. Apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya
adalah momentum kebangkitan kaum muda untuk melawan penindasan, kekejaman,
dan pembunuhan terhadap demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan Mesir,
misalnya, memang beda dengan yang terjadi di Myanmar. Di hampir ujung
perjuangan kaum muda, rakyat sipil di kedua negara itu, militer berpihak pada
mereka. Bahkan, di Tunisia, militer tidak tertarik masuk ke politik.
Sebaliknya, anak-anak muda Myanmar menghadapi tentara yang tega membunuh
sesama anak bangsa. Ini momentum bagi rakyat dan kaum muda
Myanmar untuk merebut kedaulatan rakyat, untuk menegakkan demokrasi (yang sekarang
berjalan setengah-setengah, karena meskipun militer melepaskan kepala
demokrasi tetapi tetap memegang kuat-kuat tiga perempat badannya hingga
ekor), untuk menyingkirkan cengkeraman tangan militer terhadap kebebasan
mereka. Tantangan yang harus dihadapi kaum muda dan
rakyat sipil hampir tidak dapat diatasi. Yang paling mencolok adalah
kurangnya sumber daya keuangan dan lainnya dari gerakan tersebut dan
perbedaan yang sangat besar dalam kekuatan dengan militer—sebuah organisasi
yang cerdik, sangat berpengalaman dalam penggunaan taktik divide-and-conquer
sebagai alat untuk mensterilkan lawan politik. Peranan
militer Militer, memang, harus diakui memiliki
sejarah panjang dalam menggenggam kekuasaan. Militer telah lama menjadi aktor
politik yang sangat berpengaruh. Dalam sebuah studi, Mary Callahan menyatakan
bahwa militer (Tatmadaw) bukan sebuah gerakan politik berpakaian militer. Militer bukan ekspresi sebuah gerakan
politik bersenjata atau refleksi kultur otoritarian di masyarakat. Mereka,
pertama dan utama, adalah tentara pejuang yang telah dipandu oleh logika
memerangi ancaman terhadap persatuan dan kedaulatan negara (Kristian Stokke,
Roman Vakulchuk, Indra Øverland; 2018). Daftar musuh yang mereka susun panjang,
yakni mulai dari kolonialisme Inggris, pendudukan Jepang (PD II), ancaman
pendudukan China karena pangkalan Kuomintang di Myanmar, pemberontakan
komunis dan etnis, mobilisasi prodemokrasi, serta ancaman pendudukan AS. Seiring waktu, ketakutan terhadap musuh
yang sebenarnya dan yang dianggap musuh telah ditambah dengan ketakutan akan
masa depan militer dan ancaman balas dendam setelah peralihan rezim,
sebagaimana tecermin dalam ”klausul kekebalan” dalam Konstitusi 2008. Karena militer semakin menegaskan kekuasaan
mereka, yang sudah mereka pegang sejak merdeka 1948. Seiring berjalannya
waktu, militer telah menjadi kekuatan politik yang mengedepankan
kepentingannya sendiri. Militer juga menjadi basis pembentukan elite ekonomi
dan mengembangkan kepentingan ekonomi dalam kelangsungan kekuasaan militer—seperti
terlihat pada kuatnya peran politik dan ekonomi para panglima daerah dalam
tubuh militer. Menurut temuan ”Special Rapporteur” PBB,
ada dua perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer bahkan dimiliki
militer, yakni Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic
Corporation (MEC). Pemilik perusahaan itu antara lain Panglima Tertinggi
Jenderal Min Aung Hlaing—pemimpin kudeta—dan Wakil Panglima Tertinggi Wakil
Jenderal Senior Soe Win. Dari perusahaan itulah antara lain dana pensiun
militer diperoleh. MEHL dan MEC memiliki setidaknya 120 bisnis
yang terlibat dalam segala hal, mulai dari konstruksi hingga farmasi,
manufaktur, asuransi, pariwisata, dan perbankan. Kedua perusahaan, bersama
dengan setidaknya 26 anak perusahaan mereka, memegang lisensi untuk
penambangan batu giok dan rubi di Negara Bagian Kachin dan Shan. Dengan semua itu, ditambah sejarah panjang
keterlibatan politik, militer menguasai Myanmar. Mereka inilah yang harus
dihadapi rakyat sipil dan kaum muda. Pertanyaannya tentu bagaimana akhir dari
krisis di Myanmar saat ini. Militer memang memiliki pengalaman dan
sumber daya, dan selama ini mampu mengatasi rakyat. Namun, perlawanan rakyat
saat ini berbeda. Kelompok perlawanan yang dimotori kaum muda tersebar di mana-mana
dan bersatu. Dan, mereka melihat dan meyakini, inilah kesempatan emas untuk
mendorong tentara ke barak dan membangun demokrasi. Karena itu, penting bagi dunia luar untuk
mendengarkan suara rakyat yang tertindas, dan menunjukkan solidaritas, serta
dukungan kepada mereka untuk menghentikan pembunuhan kekerasan dan pembunuhan
brutal oleh militer. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar