Sabtu, 27 Maret 2021

 

Air Kehidupan

 Idi Subandy Ibrahim ;  Peneliti Budaya, Media, dan KomunikASI

                                                        KOMPAS, 27 Maret 2021

 

 

                                                           

Berapa liter Anda mengonsumsi air untuk minum dan mandi dalam sehari? Pertanyaan sederhana ini memiliki makna berbeda bila diajukan kepada orang berbeda.

 

Orang yang sehari-hari berlimpah air akan berbeda persepsinya mengenai air dibandingkan dengan orang yang sehari-hari harus mengantre atau berjalan kiloan meter hanya untuk memperoleh beberapa ember air. Itulah sebabnya, kata haus dan kekeringan juga akan bergema berbeda di tiap telinga.

 

Air juga diperlakukan secara berbeda oleh masing-masing keluarga di tempat berbeda. Keluarga kelas menengah ke atas tidak merasakan efek langsung kekeringan atau kelangkaan air ketimbang kelas bawah. Karena sebagian kebutuhan konsumsi air bisa diatasi dengan membeli.

 

Bagi kelas bawah, membeli air jelas menambah beban pengeluaran rutin keluarga yang mau tak mau harus dipenuhi. Bahkan, mengelola pemakaian air bisa jadi faktor penting dalam memengaruhi hubungan gender dan keharmonisan keluarga kelas bawah.

 

Apa yang sekilas merupakan kesulitan keluarga memenuhi kebutuhan air harian, kemudian kian menjadi keprihatinan global. Barangkali makna tema "Menghargai Air" pada Hari Air Sedunia, 22 Maret 2021, sebagian dilandasi oleh keprihatinan tersebut.

 

Dikemukakan bahwa saat ini 1 dari 3 orang hidup tanpa air minum yang aman. Pada tahun 2050, hingga 5,7 miliar orang akan tinggal di daerah di mana air langka setidaknya selama 1 bulan dalam setahun. Pasokan air dan sanitasi tahan iklim dapat menyelamatkan nyawa lebih dari 360.000 bayi setiap tahun. Pada tahun 2040, permintaan energi global diproyeksikan meningkat lebih dari 25 persen dan permintaan air diperkirakan meningkat lebih dari 50 persen.

 

Selanjutnya, sekitar 297.000 anak balita - lebih dari 800 anak setiap hari - meninggal setiap tahun oleh penyakit diare, akibat buruknya kebersihan dan sanitasi atau air minum yang tidak aman. Hampir separuh sekolah di dunia tak memiliki fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air yang tersedia untuk siswa.

 

Demi mempercepat inisiatif yang ditujukan untuk mengatasi tantangan terkait sumber daya air, Sidang Umum PBB mencanangkan 2018-2028 sebagai Dekade Aksi Internasional “Air untuk Pembangunan Berkelanjutan” (un.org, unwater.org). Fokus utama Hari Air Sedunia adalah untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-6: air dan sanitasi untuk semua pada 2030.

 

Krisis air adalah masalah kemanusiaan global. Krisis air global juga disebabkan menguatnya komodifikasi dan komersialisasi air untuk kepentingan industri. Ini, misalnya, dikupas oleh Walter E. Block dan Peter Lothian Nelson (2015) dalam karyanya, Water Capitalism: The Case of Privatizing Oceans, Rivers, Lakes, and Aquifers.

 

Laku budaya

 

Di Indonesia, krisis kekeringan dan kelangkaaan air yang disebabkan faktor pemanasan global kian diperparah oleh rendahnya budaya merawat sumber daya air. Di samping itu, budaya konsumsi air mineral dalam botol kemasan kini sudah menjadi lumrah di kota dan desa, bagi kelas menengah dan bawah. Tak heran kalau orang kebanyakan mulai tak terlalu peduli dengan kualitas sumber daya air di daerahnya.

 

Seperti diketahui, kebudayan-kebudayaan besar dunia bisa bertahan selama berabad-abad karena kedekatan dengan sumber daya air dan kecerdasan dalam mengelola siklus air untuk menopang kehidupan dan peradaban. Hal ini, misalnya, sudah dibahas oleh Dylan Kelby Rogers (2018) dalam Water Culture in Roman Society dan Sheila Blair dan Jonathan M. Bloom (2009) dalam Rivers of Paradise: Water in Islamic Art and Culture.

 

Sebagai kebutuhan dasar, seperti udara, air begitu dekat dengan kehidupan. Air tak hanya membentuk, tetapi juga dibentuk oleh budaya dan peradaban masyarakat. Kedekatan budaya nenek-moyang kita dengan air dan sumber air ditandai dengan penamaan daerah yang hampir merata di Nusantara. Sebutlah, misalnya, nama Banyuwangi (Jawa) atau Cibodas (Sunda), dan masih banyak lagi.

 

Sayangnya kritik pencinta lingkungan hidup belum juga menjadi kekuatan penyadar akan kecintaan terhadap sumber daya air. Obsesi akan kemajuan agaknya berbarengan dengan kekhawatiran akan krisis lingkungan. Rendahnya penghargaan terhadap air dan sumber air hampir merata di berbagai sektor. Bahkan ada kecenderungan budaya mengotori sumber air (sungai, kali) dilakukan “berjamaah”.

 

Limbah rumah tangga belum terkelola dengan baik, kesadaran sebagian industri mengelola limbah berbahaya masih rendah, dan kebiasaan membuang sampah seenaknya makin membuat sungai jadi saluran limbah dan sampah. Tak heran bila Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai paling kotor dan tercemar di dunia! Jika kita mau jujur, sebenarnya bukan hanya Citarum.

 

Kearifan tradisional dalam menghargai air kian sirna dari laku budaya. Konstitusi mengamanahkan bahwa bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi malah sebagian “rakyat” ikut mengeksploitasi dan mencemarinya.

 

Ke mana dan bagaimana jalan keluarnya? Jawaban bahwa diperlukan penyelesaian holistik dan pendekatan menyeluruh, atau diperlukan kampanye kesadaran menghemat air, sudah seperti isapan jempol.

 

Kenyataan itu mengingatkan kita akan hasil penelitian Profesor Masaru Emoto, yang hingga kini masih kontroversial, mengenai pesan tersembunyi air, seperti dalam bukunya The Hidden Message in Water. Dia menemukan bahwa air dari mata air yang jernih dan air yang telah terpapar dengan kata-kata penuh kasih menunjukkan pola kepingan salju yang cemerlang, kompleks, dan berwarna-warni. Sebaliknya, air yang tercemar, atau air yang terpapar pikiran negatif, terbentuk tidak lengkap, pola asimetris dengan warna kusam.

 

Barangkali kini makin diperlukan perubahan paradigma atau pandangan dunia mengenai air. Di sini, kaum agamawan bisa berperan dalam merumuskan semacam “teologi air” untuk kemashalatan bersama. Keterlibatan dan kerjasama penganut agama-agama makin dituntut untuk melakukan pembaruan aksi mengenai sikap umatnya terhadap alam, khususnya air sebagai sumber kehidupan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar