Rabu, 24 Maret 2021

 

Nasib Warisan Budaya di Bawah Air

 Djulianto Susantio  ;  Lulusan Arkeologi UI Pegiat Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI)

                                                        KOMPAS, 22 Maret 2021

 

 

                                                           

Dalam beberapa hari terakhir muncul berita hangat di berbagai media, termasuk media daring. Ini karena pada awal Februari 2021 keluar Perpres no. 10 Tahun 2021 yang memungkinkan investor asing mengangkat harta karun laut dari perairan Indonesia. Harta karun laut yang dimaksud adalah Benda-benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) atau Warisan Budaya Bawah Air (WBAA). Kebijakan itu mengundang reaksi dari berbagai kalangan.

 

Masalah harta karun laut mulai mencuat pada 1986. Ketika itu seorang arkeolog, Santoso Pribadi, hilang di laut. Ia sedang menginvestigasi sindikat internasional pimpinan Hatcher yang menjarah ribuan potong keramik, perhiasan, dan benda-benda berharga lain dari kapal karam. Barang-barang curian itu ternyata kemudian dilelang di mancanegara dengan hasil fantastis. Dalam beberapa tahun saja terjadi beberapa kali pelelangan di mancanegara.

 

Pannas BMKT

 

Pada 1989 dibentuk Panitia Nasional BMKT (Pannas BMKT), dengan tujuan melindungi dan mengelola keberadaan BMKT yang potensinya sangat besar di wilayah perairan Indonesia.

 

Mengingat biaya eksplorasi sangat besar, ditambah perlengkapan dan SDM bawah laut masih langka, maka pemerintah membuka kesempatan kepada perusahaan swasta untuk berinvestasi sekaligus mengeksplorasi kekayaan bawah laut kita. Sejak 2000-an ada beberapa perusahaan swasta yang menggandeng pihak asing untuk melakukan eksplorasi.

 

Dalam kerja sama itu, pemerintah menerapkan sistem bagi hasil. Dengan catatan pemerintah berhak terlebih dulu memilih koleksi unik dan langka untuk menjadi “Benda Koleksi Negara”. “Benda Koleksi Negara” itu dipilih oleh sejumlah arkeolog berdasarkan kompetensi keahlian masing-masing, seperti keramik, arca logam, koin, dan perhiasan. Beberapa perusahaan sudah berhasil mengangkat BMKT. Karena mengenai laut, maka ‘nakhoda’ kegiatan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan.

 

Pada 2010 terbit Undang-Undang Cagar Budaya. Tahun berikutnya Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan moratorium terhadap BMKT. Pada September 2014 moratorium pengangkatan dan pemanfaatan BMKT sempat dicabut. Namun pada 2015 moratorium tersebut dikukuhkan kembali oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Moratorium berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan.

 

Dengan adanya moratorium maka pengajuan izin rekomendasi survei maupun rekomendasi pengangkatan, tidak dapat dikabulkan. Selama masa moratorium, pemerintah melakukan inventarisasi hasil temuan yang diperoleh dari kapal-kapal tenggelam yang telah diangkat. Benda-benda tersebut disimpan di beberapa gudang milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagian lagi ada di gudang milik perusahaan swasta.

 

Laut dangkal dan laut dalam

 

Sebenarnya masalah harta karun laut sudah muncul sejak beberapa abad lalu di perairan sejumlah negara. Pada awalnya, penemu pertama benda-benda kuno adalah nelayan. Ketika sedang mencari ikan, pada jaring mereka tersangkut potongan-potongan benda kuno. Cerita dari mulut ke mulut menyebabkan pemodal besar ikut berpartisipasi. Faktor ekonomi menjadi alasan mereka untuk ‘berpartisipasi’.

 

Di negara kita yang sebagian besar wilayah terdiri atas perairan, banyak nelayan mahir menyelam. Apalagi dalam kategori laut dangkal. Menyelam dengan perlengkapan ringan pun cukup mudah bagi mereka. Selain laut dangkal, negara kita memiliki laut dalam. Namun di laut dalam pengangkatan BMKT harus menggunakan teknologi, tidak bisa dilakukan secara konvensional.

 

Dalam wacana terbaru Maret 2021, izin pengangkatan BMKT dari kantor BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang paling bersuara keras adalah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

 

Menurut pengalaman Susi, para investor pengangkat harta karun bawah laut dianggap berbuat curang, mengambil bagian yang paling bagus dan mahal, sisanya diberikan ke pemerintah. “Mohon BMKT diangkat dan dikelola sendiri oleh pemerintah. Sudah banyak kita kehilangan benda bersejarah yang seharusnya jadi milik bangsa,” begitu kata Susi dalam akun twitter-nya.

 

Rabu, 10 Maret 2021, masalah tersebut ikut diangkat oleh Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) lewat webinar bertopik “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres no. 10 Tahun 2021”. Ada tiga pokok persoalan dalam webinar itu, yakni apakah semua tinggalan budaya masa lalu di laut merupakan warisan budaya, bagaimana pengaturan warisan budaya kebendaan di laut sebagai warisan budaya atau benda investasi, dan apa nilai penting sejarah warisan budaya kebendaan di laut.

 

Ada tiga orang pembicara dalam kegiatan itu, yakni Surya Helmi (Mantan Direktur Warisan Budaya Bawah Air dan Tim Ahli Cagar Budaya Nasional), Prof. Endang Sumiarmi (Dosen Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta), dan Andi Achdian (Sejarawan, Tim Ahli Cagar Budaya Kab. Bogor). Dalam webinar juga hadir dua pembahas, yakni Gatot Gautama (Tim Ahli Cagar Budaya Prov. DKI Jakarta, mantan Kepala Museum Nasional) dan Supratikno Rahardjo (Dosen Departemen Arkeologi UI).

 

Tingkat menteri

 

Dari webinar itu terungkap bahwa masalah BMKT belum dibicarakan tingkat menteri, dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan instansi yang menangani warisan budaya bawah air hanya setingkat direktorat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tragisnya, kemudian Direktorat Warisan Budaya Bawah Air Kemendikbud dieliminasi.

 

Pada bagian lain disimpulkan pengangkatan BMKT jangan dihubungkan dengan penjualan. Namun dampak pengangkatan BMKT bisa dihubungkan dengan faktor ekonomi, seperti membuat Museum Maritim di berbagai kota atau provinsi tempat kapal ditemukan. Contoh di darat adalah Candi Borobudur. Candi Borobudur tidak dijual tapi banyak dampak dari candi itu, antara lain menghidupkan bidang ekonomi lewat akomodasi dan transportasi berbasis masyarakat pedesaan.

 

Diharapkan investor bisa membuat pameran atau mendirikan museum. Selama pameran, investor akan memperoleh pemasukan dari masyarakat. Tentu saja pemerintah harus mendukung upaya mereka.

 

Menurut pemikiran penulis, boleh saja investor menjual benda yang berjumlah banyak dalam bentuk dan ukuran. Sebagai contoh keramik dari Dinasti Song yang berjumlah ratusan. Toh, museum hanya memerlukan beberapa buah untuk mengisi lemari pajangan.

 

Benda-benda yang akan dijual terlebih dulu dikaji oleh Tim Ahli Cagar Budaya. Jika Tim Ahli Cagar Budaya memberikan ‘lampu hijau’, maka sahlah transaksi. Dalam setiap transaksi harus ada izin, termasuk kalau benda itu berpindah tangan lagi.

 

Sejak beberapa tahun lalu banyak pihak sudah merilis adanya 400-an titik kapal tenggelam. Hitungan ekonomi selalu menjadi acuan jumlah kekayaan kita. Padahal, kapal tenggelam terdiri atas dua golongan, yakni kapal kargo (kapal dagang) dan kapal nonkargo (kapal perang atau kapal militer). Kapal kargo sendiri ada yang bernilai ekonomis rendah, ada yang bernilai ekonomis tinggi.

 

Banyak orang selalu berpandangan harga keramik sangat tinggi. Padahal, dalam penemuan di laut, ada keramik dalam jumlah banyak (biasanya barang dagangan) dan ada keramik khusus (biasanya hanya dibuat beberapa buah untuk cenderamata kepada para pejabat). Keramik produk masal berharga murah. Yang mahal keramik berkategori adikarya (masterpiece).

 

Seperti halnya ekskavasi di darat, ekskavasi di air harus dengan prosedur ilmiah, yakni ada perekaman (pencatatan, pengukuran, dan pengambilan gambar). Selain itu BMKT model 2021 harus mengedepankan ilmu pengetahuan, seperti penelitian benda dan penelitian lingkungan kapal. Dengan demikian nanti diketahui penyebab kapal tenggelam, mulai dari mana kapal itu tenggelam, terbawa arus ke arah mana, jenis kapal apa, dan banyak hal lain.

 

Dalam waktu dekat IAAI akan menggelar webinar seri kedua. Diharapkan nanti ada masukan dari perusahaan swasta yang pernah memperoleh izin survei dan pengangkatan BMKT. Apa pun namanya, BMKT atau WBBA, soal harta karun laut ini perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.

 

Pelajaran lain adalah, kita harus benar-benar mengembangkan arkeologi bawah air (underwater archaeology). Sungguh ironis, duapertiga wilayah negara terdiri atas perairan, tapi dukungan pemerintah terhadap arkeologi bawah air masih sangat lemah. Belum lagi tinggalan bawah air dari beberapa sungai dan danau, seperti Musi, Batanghari, Brantas, Bengawan Solo, dan Danau Matano. Banyak harta karun masih terkubur di sana. Ini pun perlu perlakuan serupa dengan benda-benda dari laut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar