Nasib
Warisan Budaya di Bawah Air Djulianto Susantio ; Lulusan Arkeologi UI Pegiat
Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) |
KOMPAS,
22 Maret
2021
Dalam beberapa hari terakhir muncul berita
hangat di berbagai media, termasuk media daring. Ini karena pada awal
Februari 2021 keluar Perpres no. 10 Tahun 2021 yang memungkinkan investor
asing mengangkat harta karun laut dari perairan Indonesia. Harta karun laut
yang dimaksud adalah Benda-benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam
(BMKT) atau Warisan Budaya Bawah Air (WBAA). Kebijakan itu mengundang reaksi
dari berbagai kalangan. Masalah harta karun laut mulai mencuat pada
1986. Ketika itu seorang arkeolog, Santoso Pribadi, hilang di laut. Ia sedang
menginvestigasi sindikat internasional pimpinan Hatcher yang menjarah ribuan
potong keramik, perhiasan, dan benda-benda berharga lain dari kapal karam.
Barang-barang curian itu ternyata kemudian dilelang di mancanegara dengan
hasil fantastis. Dalam beberapa tahun saja terjadi beberapa kali pelelangan
di mancanegara. Pannas
BMKT Pada 1989 dibentuk Panitia Nasional BMKT
(Pannas BMKT), dengan tujuan melindungi dan mengelola keberadaan BMKT yang
potensinya sangat besar di wilayah perairan Indonesia. Mengingat biaya eksplorasi sangat besar,
ditambah perlengkapan dan SDM bawah laut masih langka, maka pemerintah
membuka kesempatan kepada perusahaan swasta untuk berinvestasi sekaligus
mengeksplorasi kekayaan bawah laut kita. Sejak 2000-an ada beberapa
perusahaan swasta yang menggandeng pihak asing untuk melakukan eksplorasi. Dalam kerja sama itu, pemerintah menerapkan
sistem bagi hasil. Dengan catatan pemerintah berhak terlebih dulu memilih
koleksi unik dan langka untuk menjadi “Benda Koleksi Negara”. “Benda Koleksi
Negara” itu dipilih oleh sejumlah arkeolog berdasarkan kompetensi keahlian
masing-masing, seperti keramik, arca logam, koin, dan perhiasan. Beberapa
perusahaan sudah berhasil mengangkat BMKT. Karena mengenai laut, maka ‘nakhoda’
kegiatan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada 2010 terbit Undang-Undang Cagar
Budaya. Tahun berikutnya Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan
moratorium terhadap BMKT. Pada September 2014 moratorium pengangkatan dan
pemanfaatan BMKT sempat dicabut. Namun pada 2015 moratorium tersebut
dikukuhkan kembali oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Moratorium berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan. Dengan adanya moratorium maka pengajuan
izin rekomendasi survei maupun rekomendasi pengangkatan, tidak dapat
dikabulkan. Selama masa moratorium, pemerintah melakukan inventarisasi hasil
temuan yang diperoleh dari kapal-kapal tenggelam yang telah diangkat.
Benda-benda tersebut disimpan di beberapa gudang milik Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Sebagian lagi ada di gudang milik perusahaan swasta. Laut
dangkal dan laut dalam Sebenarnya masalah harta karun laut sudah
muncul sejak beberapa abad lalu di perairan sejumlah negara. Pada awalnya,
penemu pertama benda-benda kuno adalah nelayan. Ketika sedang mencari ikan,
pada jaring mereka tersangkut potongan-potongan benda kuno. Cerita dari mulut
ke mulut menyebabkan pemodal besar ikut berpartisipasi. Faktor ekonomi
menjadi alasan mereka untuk ‘berpartisipasi’. Di negara kita yang sebagian besar wilayah
terdiri atas perairan, banyak nelayan mahir menyelam. Apalagi dalam kategori
laut dangkal. Menyelam dengan perlengkapan ringan pun cukup mudah bagi
mereka. Selain laut dangkal, negara kita memiliki laut dalam. Namun di laut dalam
pengangkatan BMKT harus menggunakan teknologi, tidak bisa dilakukan secara
konvensional. Dalam wacana terbaru Maret 2021, izin
pengangkatan BMKT dari kantor BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Hal
ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang paling bersuara keras adalah
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurut pengalaman Susi, para investor
pengangkat harta karun bawah laut dianggap berbuat curang, mengambil bagian
yang paling bagus dan mahal, sisanya diberikan ke pemerintah. “Mohon BMKT
diangkat dan dikelola sendiri oleh pemerintah. Sudah banyak kita kehilangan
benda bersejarah yang seharusnya jadi milik bangsa,” begitu kata Susi dalam
akun twitter-nya. Rabu, 10 Maret 2021, masalah tersebut ikut
diangkat oleh Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) lewat webinar
bertopik “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres no. 10 Tahun 2021”. Ada
tiga pokok persoalan dalam webinar itu, yakni apakah semua tinggalan budaya
masa lalu di laut merupakan warisan budaya, bagaimana pengaturan warisan
budaya kebendaan di laut sebagai warisan budaya atau benda investasi, dan apa
nilai penting sejarah warisan budaya kebendaan di laut. Ada tiga orang pembicara dalam kegiatan
itu, yakni Surya Helmi (Mantan Direktur Warisan Budaya Bawah Air dan Tim Ahli
Cagar Budaya Nasional), Prof. Endang Sumiarmi (Dosen Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta), dan Andi Achdian (Sejarawan, Tim Ahli Cagar Budaya Kab.
Bogor). Dalam webinar juga hadir dua pembahas, yakni Gatot Gautama (Tim Ahli
Cagar Budaya Prov. DKI Jakarta, mantan Kepala Museum Nasional) dan Supratikno
Rahardjo (Dosen Departemen Arkeologi UI). Tingkat
menteri Dari webinar itu terungkap bahwa masalah
BMKT belum dibicarakan tingkat menteri, dalam hal ini Menteri Kelautan dan
Perikanan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan instansi yang
menangani warisan budaya bawah air hanya setingkat direktorat di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Tragisnya, kemudian Direktorat Warisan Budaya
Bawah Air Kemendikbud dieliminasi. Pada bagian lain disimpulkan pengangkatan
BMKT jangan dihubungkan dengan penjualan. Namun dampak pengangkatan BMKT bisa
dihubungkan dengan faktor ekonomi, seperti membuat Museum Maritim di berbagai
kota atau provinsi tempat kapal ditemukan. Contoh di darat adalah Candi
Borobudur. Candi Borobudur tidak dijual tapi banyak dampak dari candi itu,
antara lain menghidupkan bidang ekonomi lewat akomodasi dan transportasi
berbasis masyarakat pedesaan. Diharapkan investor bisa membuat pameran
atau mendirikan museum. Selama pameran, investor akan memperoleh pemasukan
dari masyarakat. Tentu saja pemerintah harus mendukung upaya mereka. Menurut pemikiran penulis, boleh saja
investor menjual benda yang berjumlah banyak dalam bentuk dan ukuran. Sebagai
contoh keramik dari Dinasti Song yang berjumlah ratusan. Toh, museum hanya
memerlukan beberapa buah untuk mengisi lemari pajangan. Benda-benda yang akan dijual terlebih dulu
dikaji oleh Tim Ahli Cagar Budaya. Jika Tim Ahli Cagar Budaya memberikan
‘lampu hijau’, maka sahlah transaksi. Dalam setiap transaksi harus ada izin,
termasuk kalau benda itu berpindah tangan lagi. Sejak beberapa tahun lalu banyak pihak
sudah merilis adanya 400-an titik kapal tenggelam. Hitungan ekonomi selalu
menjadi acuan jumlah kekayaan kita. Padahal, kapal tenggelam terdiri atas dua
golongan, yakni kapal kargo (kapal dagang) dan kapal nonkargo (kapal perang
atau kapal militer). Kapal kargo sendiri ada yang bernilai ekonomis rendah,
ada yang bernilai ekonomis tinggi. Banyak orang selalu berpandangan harga keramik
sangat tinggi. Padahal, dalam penemuan di laut, ada keramik dalam jumlah
banyak (biasanya barang dagangan) dan ada keramik khusus (biasanya hanya
dibuat beberapa buah untuk cenderamata kepada para pejabat). Keramik produk
masal berharga murah. Yang mahal keramik berkategori adikarya (masterpiece). Seperti halnya ekskavasi di darat,
ekskavasi di air harus dengan prosedur ilmiah, yakni ada perekaman
(pencatatan, pengukuran, dan pengambilan gambar). Selain itu BMKT model 2021
harus mengedepankan ilmu pengetahuan, seperti penelitian benda dan penelitian
lingkungan kapal. Dengan demikian nanti diketahui penyebab kapal tenggelam,
mulai dari mana kapal itu tenggelam, terbawa arus ke arah mana, jenis kapal
apa, dan banyak hal lain. Dalam waktu dekat IAAI akan menggelar
webinar seri kedua. Diharapkan nanti ada masukan dari perusahaan swasta yang
pernah memperoleh izin survei dan pengangkatan BMKT. Apa pun namanya, BMKT
atau WBBA, soal harta karun laut ini perlu mendapat perhatian
sungguh-sungguh. Pelajaran lain adalah, kita harus
benar-benar mengembangkan arkeologi bawah air (underwater archaeology).
Sungguh ironis, duapertiga wilayah negara terdiri atas perairan, tapi
dukungan pemerintah terhadap arkeologi bawah air masih sangat lemah. Belum
lagi tinggalan bawah air dari beberapa sungai dan danau, seperti Musi,
Batanghari, Brantas, Bengawan Solo, dan Danau Matano. Banyak harta karun
masih terkubur di sana. Ini pun perlu perlakuan serupa dengan benda-benda
dari laut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar