China,
Ikan, dan Perairan Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan |
KOMPAS,
29 Maret
2021
Bagaikan apa yang disebut déjà vu (”seperti
sudah tahu”), terbaca kembali gugatan atas kapal-kapal nelayan China yang
melanggar perairan teritorial di Laut China Selatan. Berita harian tanggal 22
Maret 2021 yang dilansir The Economist menyebutkan tuntutan Menteri
Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana agar China menarik lebih dari 200 kapal
nelayan yang melakukan penangkapan ikan liar (illegal fishing) di perairan
Filipina. Para nelayan ini juga disebut sebagai milisi maritim. Istilah milisi maritim ini merupakan
ungkapan pihak China sendiri. Setidaknya disebut ketika pada 1974 kapal-kapal
penangkap ikan China jenis trawl bersenjata, merebut bagian selatan Kepulauan
Paracel dari rezim militer Vietnam Selatan. Taktik yang sama dilakukan bagi
perebutan Gosong Mischief pada 1995 dan Beting Scarborough pada 2012 di
perairan Filipina. Sejak lama kapal-kapal nelayan China telah
dipergoki dan ditangkap di Jepang, Filipina, Taiwan, bagian Timur Jauh Rusia,
Korea Utara, Korea Selatan, Sri Lanka, Palau, dan Argentina. The Economist
edisi 14 April 2016 mencatat, tidak kurang dari dua lusin negeri-negeri
Afrika menyerukan agar China menghentikan penangkapan ikan liar di lepas
pantai bagian barat Afrika. Sebulan sebelumnya, kejadian di Indonesia
lebih sensasional: kapal pengawal pantai China membebaskan kapal nelayan
China yang sedang digiring kapal patroli RI di perairan Natuna. Tampak berpola, apakah ini merupakan
kebijakan terencana? Insiden
demi insiden Dalam kasus Natuna, sementara perairan itu
jelas berada di wilayah Indonesia, pihak China menyatakan wilayah itu
termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (EEZ) mereka karena tercakup di dalam
lengkungan ”batas sembilan-garis” (”nine-dash lines”). Garis-garis ini
digambarkan terletak di lepas pantai Vietnam, Malaysia bagian Borneo, Palawan
dan Luzon di Filipina, bahkan sampai Taiwan. Perairan di dalam sembilan garis yang
membentuk U itu, diklaim China sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional
mereka. Nyaris sudah seluruh perairan Laut China Selatan. Meskipun klaim ini
dianggap tidak berdasarkan hukum laut internasional, dan tidak diakui
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), China memiliki dalih
lain. Di Kepulauan Spratly, China telah membangun
pulau-pulau buatan, dengan reklamasi gosong-gosong karang, yang masih menjadi
sumber klaim tumpang-tindih antara Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Di Kepulauan Paracel, tempat China pernah
memenangi sengketa hukum dengan Filipina, dibangun landasan udara (air strip)
di Pulau Woody dekat Hainan. Begitu pula di bekas gosong karang Fiery Cross
di bagian selatan Spratly. Dengan pengandaian reklamasi di Pulau Triton, dan
gosong karang Subi, Gaven, Mischief, Selatan Johnson, dan Cuarteron telah
selesai, setelah dilengkapi landasan udara, pelabuhan, serta radar militer,
terbentuk ”segitiga strategis” yang membuat China dominan di Laut China
Selatan. Hukum laut internasional perihal EEZ,
dimanfaatkan China untuk melindungi kesahihan penangkapan ikan para
nelayannya sejauh 200 mil dari setiap pulau buatan. Tanpa peduli akan
bertumpang tindih dengan batas teritorial 12 mil dari Kepulauan Natuna,
maupun bahwa kepemilikan dan kesahihan reklamasinya berada dalam sengketa.
Ditambah klaim 5.000 tahun pelayaran dan penangkapan ikan tradisional,
sebagai ”hak sejarah”, lengkap sudah absurditas kebijakan perairan
internasional China. Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)
sejak 2002 sebetulnya telah mendesak China duduk bersama, dan menandatangani
deklarasi ”kode etik” (”code of conduct”) berperilaku di Laut China Selatan,
guna meredam konflik sejenis yang telah merebak berpuluh tahun sebelumnya.
Insiden demi insiden menunjukkan bahwa China telah mengabaikannya. Negeri
kurang ikan Urgensi apakah kiranya yang membuat China
berperilaku dan berkebijakan seperti itu? The Economist menunjukkan: China
adalah konsumen (dan eksportir) terbesar ikan di dunia. Konsumsi ikan per
orang di China adalah dua kali rata-rata penduduk dunia. Budidaya perairan
(aquaculture) China disebut memenuhi kebutuhan ini. Namun, angka-angka penangkapan ikan
liarnya, pada 2012, misalnya, sungguh spektakuler: 13,9 juta ton, dibanding
5,4 juta ton tangkapan (legal) Indonesia, 5,1 juta ton tangkapan Amerika
Serikat (AS), 3,6 juta ton tangkapan Jepang, dan 3,3 juta ton tangkapan
India. Betapapun penangkapan ikan berlebihan (over
fishing) dan polusi di perairan China sendiri telah mencederai perikanan di
dekat pantai. Di Laut China Selatan tersedia 1/10 dari tangkapan ikan global,
padahal hanya tersisa 5-30 persen dari stok yang dimiliki China pada 1950-an.
Inilah yang membuat sebagian dari 14 juta nelayan China terdorong—atau
didorong—mencari ikan di luar perairannya. Tak kurang dari Presiden China Xi Jinping
pada 2013, menyatakan di Hainan, agar para nelayan, ”Membangun kapal yang
lebih besar, berlayar ke perairan yang lebih jauh, dan menangkap ikan yang
lebih besar.” Didukung pemerintah dengan kapal baru,
bahan bakar, dan bantuan navigasi, ternyata dukungan bagi petualangan nelayan
ini bagai muslihat yang selalu mengundang kerawanan. Sebelum kasus Natuna
pada 2016, pada 2010 di Laut China Timur sebuah trawler China sengaja
menabrak kapal pengawal pantai Jepang di dekat pulau tak berpenghuni Senkaku
(nama Jepang) atau Diaoyu (nama China), setelah kepergok menangkap ikan
secara ilegal. Upaya
menggeser AS Adakah modus lain, selain faktor perut
1.443.282.209 penduduknya? Faktor kehadiran militer Amerika Serikat (AS)
menjadi dalih. AS selalu mengajukan prinsip ”kebebasan
pelayaran” (freedom of navigation) untuk mengesahkan kehadiran kapal-kapal
induknya di lautan mana pun. Namun, meski AS terikat perjanjian militer
dengan Filipina, dan unjuk gigi pula dengan latihan militer dan penerbangan
pesawat tempur di Laut China Selatan, tidaklah terandaikan suatu konflik
militer akan menjadi perlu—meski kemungkinannya selalu terpikirkan. Kepentingan China sendiri terdengar seperti
politik identitas: menegaskan kejayaan, sebagai kompensasi segala dampak
Revolusi Kebudayaan 1966-1976. Dalam Kongres Rakyat Nasional tahunan yang
berakhir 11 Maret 2021, Xi Jinping menyatakan, ”Kini China sudah bisa menatap
mata dunia, tidak seperti di masa lalu ketika kita masih orang udik.” (The
Economist, 11 Maret 2021). Ini, antara lain, dilakukan dengan
menggugurkan kredibilitas AS, untuk menjadi kekuatan militer yang unggul di
bagian barat Pasifik—tanpa harus mengancam AS secara langsung. Dalam bahasa
agitasi kantor beritanya, cukuplah dinyatakan bahwa AS, ”mengeruhkan
perairan” atau ”membuat Asia-Pasifik sebagai Timur Tengah kedua”. Negara-negara ASEAN, yang kedaulatannya
terganggu oleh berbagai insiden di Laut China Selatan, tidak dapat
memperlihatkan keberpihakan kepada AS, tanpa risiko kehilangan keberuntungan
ekonomi. Disebutkan bahwa AS akan tetap bisa membangun relasi dengan ASEAN
melalui Jepang atau Korsel, yang tidak akan memengaruhi sikap China terhadap
ASEAN. Selama China masih membutuhkan ikan dari kolam tetangga, situasi yang
sama masih akan terus berulang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar