Rabu, 10 Maret 2021

 

Moeldoko Didorong, Didukung, atau… ‘Dijongkrongke’?

 Erros Djarot  ;  Budayawan

                                               WATYUTINK.COM, 08 Maret 2021

 

 

                                                           

Moeldoko, Jenderal Purnawirawan mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Panglima TNI di era pemerintahan SBY, membuat kejutan politik yang super spektakuler. Ia menerima penobatan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) yang baru, versi Konggres Luar Biasa Partai Demokrat yang digelar beberapa hari lalu di Deli Serdang, Sumatera Utara. AHY, Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres 2020, langsung menggelar konferensi pers. Dengan tegas ia menyatakan bahwa KLB Partai Demokrat yang menunjuk Moeldoko sebagai Ketua Umum tidak sah, melanggar AD/ART, kongres abal-abal, dan sebagainya.

 

SBY pun langsung turun tangan dan menggelar juga konferensi pers atas nama dirinya sebagai Ketua Majelis tinggi PD. Dengan tampilan yang kalem namun mendidih menahan geram yang terpendam, membeberkan sejumlah butir yang termaktub dalam AD/ART Partai Demokrat, untuk menguatkan bukti kepada publik bahwa KLB Partai Demokrat versi Moeldoko, cacat hukum dan liar. SBY pun mengungkapkan penyesalannya yang telah memberi kepercayaan kepada Moeldoko untuk menjabat sebagai Panglima TNI semasa dirinya menjabat sebagai Presiden.

 

Penyesalan SBY ini terdengar memilukan dan sangat melo saat dirinya meminta maaf kepada rakyat pendukungnya dan juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesalahan dirinya memberi kepercayaan kepada Moeldoko sebagai Panglima TNI. Kepada publik SBY ingin menyampaikan betapa seorang Moeldoko adalah manusia tanpa rasa terima kasih dan tega menusuk mantan bos yang juga seniornya di Angkatan Darat, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tapi yang menguntungkan Moeldoko, publik politik justru teringat kembali bagaimana Megawati melontarkan hal yang sama, rasa sakit ditusuk dari belakang oleh SBY yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam-nya.

 

Di sisi lain, dengan cara yang sangat politis dan santun, berkali SBY menyatakan keyakinannya bahwa Jokowi tak mungkin mau mendukung perbuatan tak terpuji ini. Namun lewat penegasan SBY bahwa sampai saat ini Moeldoko masih menjabat sebagai Kastaf Presiden Jokowi, maka secara tidak langsung meyakini bahwa Jokowi mengetahui semua ini. Logika politik dan dari sisi budaya kekuasaan ala istana pun, sangat menggiring munculnya kesimpulan; apa iya orang di sirkel satunya bergerak begitu jauh memasuki medan pertempuran yang nilai politiknya sangat besar dan sensitif, Pak Presiden tidak tahu? Masa menghadiri KLB nyelonong begitu saja? Tanpa minta izin dan restu terlebih dahulu?

 

Tudingan keras bahwa Jokowi berada di balik manuver politik Moeldoko menggusur AHY ini bukan tanpa alasan dan latar belakang yang tak jelas. Bagaimana sentilan SBY terhadap kinerja Jokowi yang sering dilontarkan secara santun, halus, tapi sangat ‘nyelekit’ bagi telinga orang Solo, menjadi juga alasan yang memperkuat. Karena sebagai orang Solo yang juga santun, tidak mungkin meladeni sentilan SBY ini dengan melakukan ‘head on’, saling berhadapan secara terbuka. Maka membiarkan Moeldoko melakukan manuver politik yang membuat SBY terhenyak karena ditelikung mantan anak buahnya, bukan tidak mungkin merupakan pesan terselubung dari Jokowi menjawab nyinyiran SBY selama ini. Setidaknya nyinyiran SBY dijawab dengan langkah yang menyudahi predikat SBY sebagai sang pakar ahli strategis politik paling handal.

 

Walau tudingan begitu kuat mengarah ke Pak Presiden, secara pribadi bagi saya tudingan ini masih menyisakan pertanyaan; Moeldoko ini didorong dan didukung penuh, atau justru malah dijongkrongke? Bisa jadi membiarkan KLB Partai Demokrat ini merupakan langkah politik Jokowi yang dikenal dengan istilah ‘sekali mendayung, dua pulau terlewatkan’. Pertama; langkah memperingatkan dan menegur SBY dengan melempar batu tepat mengenai sasaran dengan sembunyi tangan. Dengan demikian posisi bargaining diri Jokowi sebagai pemain di arena ‘Power Play’, berada di atas angin. Karena di tangannyalah keputusan akhir permainan ini harus bagaimana, kapan, dan di mana harus berhenti. Manuver ini bisa jadi untuk lebih memperlebar ruang yang makin memperokoh posisi politiknya sebagai the King Maker pada ‘power play’ di 2024 nanti.

 

Pada sisi lain, bisa saja dibaca terbalik. Jangan-jangan ini salah satu cara ala Jokowi putra Solo yang secara terselubung mewujudkan niatnya untuk secara cerdik mengganti posisi Kepala Staff Presiden dengan orang lain yang dianggap lebih menguatkan posisi politiknya pada permainan power play di 2024 nanti. Mengganti begitu saja sangat berat bagi Jokowi yang telah merasakan betapa Moeldoko selama ini setia mendampinginya. Ia pun telah secara all out turut berkeringat memperjuangkan Jokowi kembali berkuasa lewat kemenangan kubu Jokowi- Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019-2024 yang lalu.

 

Kesempatan emas datang ketika diketahui bahwa Moeldoko mau dan berniat masuk ke permaianan politik pada 2024 nanti. Maka didoronglah Moeldoko secara tersembunyi, tertata rapih, dan berhasil menggusur AHY lewat KLB Partai Demokjrat 2021. Pasalnya, apa iya Jokowi tak paham undang-undang dan aturan main di setiap partai? Tentunya sangat naif bila mengatakan bahwa Pak Jokowi tidak memahaminya. Beliau sangat paham dan sangat tahu. Itulah sebabnya wajar bila muncul pertanyaan; Moeldoko didorong, terus didukung secara intens, atau malah dijongkrongke?

 

Untuk jawabannya bisa dibaca lewat bagaimana selanjutnya sikap Jokowi dalam proses politik penetapan Partai Demokrat versi mana yang paling berhak secara hukum, baik melalui penetapan SK Menteri Hukum dan HAM, maupun lewat penetapan pengadilan. Bila Jokowi dengan santai mengatakan bahwa dirinya sebagai presiden tak akan mencampuri urusan internal partai, dan menyerahkan sepenuhnya kepada departemen terkait dan lembaga pengadilan, maka tinggal selangkah lagi kepastian jawaban sempurna akan terpenuhi.

 

Bahwasanya Jokowi akan menyatakan hal tersebut, sudah dapat dipastikan. Tapi apakah benar-benar ia lakukan hal tersebut? Atau, di belakang layar justru bermanuver politik menempatkan dirinya sebagai pengarah dan penentu keputusan politik sehubungan dengan penentuan Partai Demokrat versi mana yang harus dimenangkan. Seperti yang dilakukan Pak Harto terhadap Suryadi Ketua Umum PDI pro Orde Baru yang selalu didukung dan difasilitasi untuk melawan kubu Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan. Pak Harto memberikan dukungan penuh kepada Suryadi, tidak untuk digusur dari sirkel politiknya, tapi digunakan untuk menghancurkan kubu Megawati yang tidak disukainya.

 

Nah dalam konteks Moeldoko, akankah Jokowi all out memberi ‘backing-an’ agar Moeldoko hadir dan menjadi sah sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang terlegitimasi secara hukum positif yang berlaku? Atau sebaliknya, justru cuci tangan dan malah mempersilahkan Moeldoko untuk meninggalkan post-nya sebagai Kepala Staf Kepresidenan, dengan alasan untuk memperlancar proses hukum atas dirinya sehubungan posisinya sebagai Ketua Umum baru Partai Demokrat yang bakal disibukkan dengan urusan gugat menggugat.

 

Apa pun yang akan terjadi, satu hal yang pasti rakyat bangsa ini merindukan pendidikan politik yang sehat, bermartabat, dan yang mencerahkan. Di luar hingar bingar seputar urusan perebutan kekuasaan di Partai Demokrat; ada satu catatan penting tentang tata nilai dalam lembar kebudayaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa ketidaksukaan terhadap bangunan politik dinasti sudah mulai termanivestasikan dalam bentuk gerakan politik perlawanan. Ini sebuah peringatan yang perlu didengar oleh para tokoh penguasa dan para tokoh pemilik partai di negeri ini!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar