Minggu, 28 Maret 2021

 

Kudeta Merangkak dan Pelantikan Soeharto sebagai Presiden RI

 Muhammad Iqbal ;  Wartawan Tirto

                                                          TIRTO, 27 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada 11 Maret 1966, Sukarno memimpin rapat kabinet di Jakarta. Sementara para mahasiswa berdemonstrasi di jalan-jalan. Menurut Salim Haji Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (2015: 25-26), Sukarno mendapat informasi bahwa pasukan tidak dikenal tengah mengepung istana negara. Maka, dia segera naik helikopter menuju Bogor, ditemani Subandrio dan Chaerul Saleh.

 

Malam itu, tiga jenderal utusan Soeharto menyusulnya ke Bogor dan membujuk Sukarno untuk menandatangani sebuah dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban, menjalankan pemerintahan, dan melindungi presiden atas nama revolusi. Dokumen ini kemudian dikenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

 

Menurut Baskara T. Wardaya, SJ dalam Membongkar Supersemar!: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2007: 203-39), setelah mengantongi Supersemar, Soeharto dan para pendukungnya kemudian menghancurkan sisa-sisa Demokrasi Terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tetapi tidak mampu berbuat apa-apa.

 

Pada 12 Maret 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan semua organisasi massanya dilarang. Tanggal 18 Maret 1966, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri kabinet lainnya ditahan. Salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara, Surachman, lolos tetapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada 1968. Sementara Chaerul Saleh meninggal di bui tahun 1967.

 

Anggota kabinet lain seperti Idham Chalid, Leimena, dan Roeslan Abdulgani tetap berada di kabinet baru yang dilantik pada 27 Maret 1966. Kabinet ini dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu Soeharto, Sultan Hamengkubuwana IX, dan Adam Malik.

 

Pembersihan terhadap tentara dan birokrasi juga dilakukan. Sekitar 2.600 pasukan Divisi Diponegoro dibebastugaskan, diskors, dipecat, atau ditertibkan, dan banyak yang lainnya ditahan. Sebagian perwira tentara anti-PKI tetapi pro-Sukarno dipindahkan dari komando strategis pada Mei 1966.

 

Kebijakan luar negeri Demokrasi Terpimpin diserahkan kepada Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri yang baru. Poros Jakarta-Beijing dimusnahkan dengan cepat. Gedung milik para diplomat dan swasta Cina diserang oleh aktivis anti-PKI. Menurut Taomo Zhaou dalam Migration in the Time of Revolution: China, Indonesia, and the Cold War (2019), pada awal 1966, Beijing tahu bahwa tidak mungkin lagi mempertahankan operasinya di Indonesia.

 

Pada Maret 1966, Beijing menutup agen beritanya di Jakarta, Xinhua (Hsin Hua), dan tiga konsulatnya, serta menarik duta besarnya pada Mei 1966. Sementara duta besar Indonesia untuk Beijing diperintahkan pulang pada Februari 1966, tetapi dia menolak dan diberikan suaka politik oleh Cina. Para diplomat yang berhubungan dengan Cina secara formal dibekukan oleh Jakarta pada 31 Oktober 1967, setelah terjadi gelombang kerusuhan anti-Cina.

 

Kebijakan luar negeri anyar bertujuan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan negara-negara Barat guna memperoleh bantuan ekonomi yang sangat diperlukan. Syarat-syarat itu termasuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Dalam Conflict and Confrontation in South East Asia, 1961-1965: Britain, the United States, Indonesia and the Creation of Malaysia (2001), Matthew Jones mendedahkan bahwa pada April 1966 Indonesia bergabung lagi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan pada Mei 1966, Adam Malik mengumumkan bahwa Indonesia kembali bekerja sama dengan International Monetary Fund (IMF).

 

Hamengkubuwana IX menangani urusan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Dia mengumumkan langkah reformasi pertama pada April 1966. Akan tetapi, usaha mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia agak terhambat akibat sikap keras sebagian personel militer. Mereka berpendapat bahwa usaha mengakhiri konforntasi tidak harus dilakukan dengan cara merendahkan negara sendiri. Maka, dalam upaya menegosiasikan penyelesaian konfrontasi, Ali Moertopo dan organisasi Opsus-nya turun tangan.

 

Menurut Aiko Kurasawa dalam Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang (2015), pada Mei 1966 Soeharto mendukung berakhirnya konfrontasi, dan delegasi perwira senior menunjukkan iktikad baik dengan berkunjung ke Kuala Lumpur. Hanya dalam hitungan hari, Jepang mendukung pemerintahan Orde Baru dengan menawarkan utang darurat sebesar US$ 30 juta.

 

Pada 29 Mei 1966, Adam Malik bertemu dengan Deputi Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak di Tokyo, dan konfrontasi pun berakhir dengan penandatanganan perjanjian pada 11 Desember 1966. Hubungan diplomatik penuh antara Indonesia dan Malaysia dipulihkan pada Agustus 1967.

 

Namun, situasi politik dalam negeri tidak sepenuhnya berada di bawah kendali Orde Baru. Menurut Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 [4th Edition] (2008), serangan balasan oleh kekuatan pro-Sukarno masih mungkin terjadi, mungkin dengan bersandar pada Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai basis politik mereka.

 

Orang-orang yang anti-Sukarno di kalangan militer dan Islam menginginkan PNI dilarang, tetapi Soeharto masih cemas akan apa yang dianggapnya sebagai fanatisme Islam, dan menginginkan PNI sebagai imbangannya. Maka, Soeharto bukannya melarang, tetapi membersihkan PNI. Pada April 1966, dia mengatur kongres PNI dan menurunkan kepemimpinan orang-orang Sukarnois di bawah Ali Sastroamidjojo.

 

Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006) menyebutkan, di bawah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, presiden bertanggung jawab kepada MPRS. Sementara jumlah anggota MPRS berkurang akibat penahanan sekitar 180 anggotanya, dan sentimen anti-Sukarno meningkat di kalangan anggota MPRS yang tersisa. Maka itu, Soeharto merasa aman untuk mengundang MPRS bersidang pada Juni-Juli 1966.

 

MPRS meratifikasi Supersemar, melarang PKI, dan mengharamkan Marxisme sebagai doktrin politik. Selain itu, juga menuntut pemilu diadakan pada 1968, mendesak Sukarno untuk memberi penjelasan tentang pelanggaran susila, korupsi, mismanajemen ekonomi yang dilakukan pemerintahan Demokrasi Terpimpin, dan perihal peran Sukarno dalam usaha kudeta pada 1965. Gelar presiden seumur hidup yang dianugerahkan MPRS pada Mei 1963 ditanggalkan. Sukarno juga dilarang mengeluarkan keputusan presiden.

 

Meski Sukarno menolak tuntutan MPRS untuk memberikan penjelasan, tetapi terang sudah bagi semua orang bahwa era Sukarno sudah berakhir. Baru pada Januari 1967, Sukarno akhirnya mengatakan kepada MPRS, bahwa dia tidak mengetahui usaha kudeta itu sebelumnya--lihat Budi Setiyono dan Bonnie Triyana (eds.), Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara (2014).

 

Audrey Kahin dalam Rebellion to Integration, West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998 (1999: 361-3) menjelaskan, perpisahan dengan Demokrasi Terpimpin mulai terjadi pada pertengahan 1966 dengan dilepaskannya para tahanan politik yang terlibat PRRI dan Permesta.

 

Sumual, Simbolon, dan orang-orang militer lainnya yang dibebaskan memperoleh karier anyar dalam jagat bisnis. Sementara Sjafruddin, Natsir, dan warga sipil lainnya tidak mendapatkan peluang sebesar itu untuk berkarier, karena mereka kurang dipercaya oleh elite Orde Baru seperti halnya pada zaman rezim Sukarno.

 

Reformasi Ekonomi

 

Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam An Economic History of Indonesia, 1800-2012 (2012), ketika Orde Baru semakin mengendalikan negara dan peluang bangkitnya pendukung Sukarno menyusut, prospek Soeharto memperoleh bantuan keuangan dalam jumlah besar dari dunia Barat semakin meningkat pula.

 

Salah satu masalah pertama Soeharto adalah utang luar negeri yang begitu besar yang diwariskan pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Pada akhir 1965, jumlahnya mencapai US$ 2,36 miliar, 59,5% di antaranya merupakan utang kepada negara komunis (42% kepada Uni Soviet), 24,9% kepada negara Barat, dan sisanya utang kepada negara-negara nonkomunis lainnya. Jepang adalah kreditur terbesar di luar negara-negara komunis (9,8% dari total utang).

 

Walaupun utang ini sangat besar, namun jumlahnya lebih kecil daripada utang yang kelak diperoleh Orde Baru. Para kreditur nonkomunis setuju untuk bertindak bersama-sama dan akhirnya membentuk IGGI (Inter-Govermental Group on Indonesia) tahun 1967. Dari Juli 1966, mereka mulai menjadwal ulang pembayaran utang Indonesia. Bulan Oktober, Adam Malik juga menjadwal ulang sebagian pembayaran utang Indonesia kepada Uni Soviet.

 

Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi yang diberikan negara-negara Barat, pemerintahan Soeharto mengadopsi langkah-langkah reformasi yang terus-menerus dipuji oleh Bank Dunia dan IMF. Menurut Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968 (2008: 276-330), pelbagai langkah ini mendominasi kebijakan ekonomi pada 1970-an.

 

Strategi laissez-faire pintu terbuka untuk meningkatkan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi maksimum diiringi dengan pengendalian ekonomi intern nan tegas. Kebijakan-kebijakan baru ini didukung dengan hadirnya sekelompok ahli ekonomi Indonesia yang terdidik secara akademis seperti "mafia Berkeley". Karena mereka mampu berbicara dalam bahasa ekonomi internasional, maka menambah kredibilitas pemerintahan Soeharto di mata negara-negara Barat. Mereka juga tetap berpengaruh dalam rezim yang didominasi militer itu, meskipun terkadang ditentang oleh orang-orang yang lebih mendukung nasionalisme ekonomi yang lebih besar.

 

Menurut penulis biografi Suharto, R. E. Elson dalam Suharto: A Political Biography (2008), laporan pemerintah Indonesia bulan September 1966 kepada para krediturnya melukiskan tingkat bencana nasional yang dihadapi rezim anyar ini. Inflasi tahunan terhitung melebihi 600%, persediaan uang 800 kali lebih tinggi ketimbang angka pada 1955, dan defisit pemerintah 780 kali lebih banyak daripada tahun 1961.

 

Saat berkonsultasi dengan IMF, para teknokrat memperkenalkan pengendalian anggaran, tarif bunga tinggi, pengendalian ekspor yang lebih ketat, dan pelbagai langkah anti-korupsi yang akan dimulai pada Oktober 1966. Perusahaan-perusahaan Inggris dan AS yang sebelumnya disita negara, segera dikembalikan kepada pemiliknya. Bulan Februari 1967, undang-undang investasi anyar disahkan untuk mendorong investasi asing.

 

Akan tetapi, para teknokrat sesungguhnya hanya mampu mengendalikan sebagian ekonomi. Pengurangan drastis pada anggaran resmi militer tidak terlalu diperhatikan tentara, karena bisnis yang dijalankan oleh mereka sudah berkembang dengan baik dan mampu menutup kekurangan anggaran.

 

Perusahaan minyak sangat penting. Sejak 1963, Pertamina telah membuat kesepakatan pembagian keuntungan dengan Caltex dan Stanvac. Pada akhir 1965, Shell menjual semua sahamnya kepada Pertamina. Pemberian pendapatan utama lainnya adalah Bulog (Badan Urusan Logistik) yang dibentuk pada 1966 dan menangani terutama urusan beras (Ricklefs 2008: 573).

 

Kerajaan bisnis yang dijalankan oleh Chaerul Saleh dan pemimpin Orde Lama lainnya diambil alih oleh elite Orde Baru. Koneksi yang erat antara kepemimpinan Indonesia baru dan dunia modal swasta tercipta. Menurut David Jenkins dalam Suharto and His Generals: Indonesia Military Politics, 1975-1983 (1984), elite merasa beruntung bekerja sama dengan para cukong Tionghoa-- karena akses mereka pada modal, kecergasan dalam berdagang, dan ketidakberdayaan dalam politik.

 

Selama bertahun-tahun, kekayaan yang mengalir deras ke tangan elite Indonesia menciptakan kelas atas anyar: basis sosial tersohor rezim Soeharto. Sementara sebagian keluarga cukong juga menjadi kaya raya.

 

Parade Vonis Mati dan Pelantikan

 

Ketika reformasi ekonomi tengah berjalan, tekanan politik domestik mendekati puncaknya. Menurut John Roosa dalam Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia (2006), kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmillub menuduh Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965.

 

Subandrio dan Omar Dhani divonis mati, berturut-turut pada Oktober dan Desember 1966--namun kedunya tidak pernah dieksekusi. Bulan Desember 1966, Sudisman ditangkap; dia divonis mati. Pada bulan itu juga, Sjam ditangkap. Dengan demikian, Orde Baru mendapat sumber paling penting ihwal bagaimana rencana kudeta disusun.

 

Sjam ditahan dan diperiksa secara reguler untuk memperoleh informasi tentang kudeta itu, sampai akhirnya dia dieksekusi mati pada 1986. Mahasiswa, pengacara, dan hakim kini mulai menuntut agar Sukarno juga diseret ke pengadilan.

 

Kalakian, dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (2007: 248-72), Harold Crouch mendedahkan bahwa Soeharto melakukan langkah terakhirnya menuju kemenangan politik dalam negeri. Dia percaya bahwa inilah saat yang paling memungkinkan untuk menyingkirkan Sukarno.

 

Soeharto menunjuk anggota anyar parlemen (DPR-GR) untuk mengganti para anggota yang telah disingkirkan, dan menggelar sidang MPRS pada Maret 1967. Di tengah rumor bahwa KKO (Marinir) polisi, dan Divisi Brawijaya akan tetap setia mendukung Sukarno, serta 80.000 pasukan menduduki Jakarta, pada 12 Maret MPRS menanggalkan semua kekuasaan dan gelar Sukarno. Mereka selanjutnya mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden pada 27 Maret 1968, tepat hari ini 53 tahun lalu.

 

Menurut Michael R. J. Vatikiotis dalam Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order (1999), Soeharto diberi kekuasaan untuk menentukan apakah Sukarno harus dibawa ke pengadilan atau sebaiknya. Soeharto pada akhirnya tidak pernah menuntut pendahulunya itu karena khawatir akan memobilisasi sisa-sisa pendukung Sukarno.

 

Namun, Orde Baru melakukan de-Sukarnoisasi untuk memperkecil peranan dan kehadiran Sukarno dalam sejarah dan ingatan bangsa Indonesia. Sukarno pensiun dengan status sebagai tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor hingga wafat pada Juni 1970. Setelah itu, Soeharto benar-benar menguasai politik Indonesia secara mutlak. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar