Kamis, 25 Maret 2021

 

Wacana Revisi Pasal Karet UU ITE

 Eddy OS Hiariej ;  Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI

                                                        KOMPAS, 24 Maret 2021

 

 

                                                           

“Semangat awal Undang-Undang ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika dan produktif. Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakdilan, maka undang-undang ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak”.

 

Demikian arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin, 15 Februari 2021. Pada kesempatan yang sama, Presiden pun menegaskan agar Polri lebih selektif dalam menangani kasus-kasus terkait pasal-pasal karet tersebut.

 

Dalam doktrin hukum pidana, suatu norma yang disebut sebagai pasal karet atau pasal yang multitafsir pada hakikatnya adalah aturan yang tidak memenuhi persyaratan asas legalitas bahwa suatu ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen, nulla poena sine lege certa) sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi yang sangat berbahaya bagi kepastian hukum.

 

Secara umum semua ketentuan pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dikatakan sebagai cyber crime atau kejahatan dunia maya.

 

Pemahaman kejahatan dunia maya

 

Dalam konteks global, istilah kejahatan dunia maya pertama kali dimunculkan dalam dokumen Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Havana, Kuba, pada tahun 1990. Ada dua istilah yang dikenal: cyber crime dan computer related crime. Penjelasan lebih lanjut terdapat dalam naskah pengantar (back ground paper) untuk lokakarya Kongres PBB X/2000 di Wina, Austria.

 

Istilah cyber crime dibagi dalam dua kategori. Pertama, cyber crime dalam arti sempit (in a narrow sense) disebut sebagai computer crime. Kedua, cyber crime dalam arti luas (in a broader sense) disebut computer related crime.

 

Masih menurut back ground paper, kejahatan dunia maya secara luas meliputi: 1) dalam sistem atau jaringan komputer (in a computer system or network), 2) terhadap sistem atau jaringan komputer (against a computer system or network) dan 3) menggunakan sarana-sarana dari sistem atau jaringan komputer (by means of a computer system or network).

 

Setahun kemudian, pasca-Kongres PBB di Wina, Austria, Majelis Eropa (Council of Europe) mengadakan Konvensi tentang Kejahatan Siber di Budapest, Hongaria pada tahun 2001.

 

Konvensi tersebut menghasilkan lima kata kunci sebagai inti dari cyber crime. Pertama, illegal access, yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak.

 

Kedua, illegal interception, yakni sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik ke, dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis.

 

Ketiga, data interference, diartikan sebagai sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan atau perubahan data komputer. Keempat, system interference, yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer. Kelima, misuse of devices, yakni penyalahgunaan perlengkapan komputer termasuk program komputer, password komputer, kode masuk.

 

Bila merujuk pada risalah pembentukan UU ITE, sebenarnya undang-undang a quo hanya dimaksudkan untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik. Oleh karena itu kriminalisasi terhadap berbagai perbuatan hanya dimaksudkan yang berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer (in a computer system or network) dan terhadap sistem atau jaringan komputer (against a computer system or network).

 

Hal ini terlihat jelas dalam undang-undang a quo yang mengadopsi lima kata kunci dalam konvensi kejahatan siber di Budapest, Hongaria.

 

Multitafsir dan urgensi revisi

 

Namun dalam perkembangan pembahasan undang-undang a quo, ada pemikiran untuk memasukkan berbagai kejahatan dalam buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menggunakan dunia maya sebagai media dalam UU ITE.

 

Artinya, yang diatur tidak hanya cyber crime dalam arti sempit atau computer crime melainkan juga cyber crime dalam arti luas atau computer related crime dengan menggunakan sarana-sarana dari sistem atau jaringan komputer (by means of a computer system or network). Tegasnya, komputer atau cyber space atau internet network berfungsi sebagai instrumentum delicti atau alat/sarana yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

 

Celakanya adalah ketika berbagai kejahatan yang tersebar di beberapa bab dalam KUHP (pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan/pengancaman, menimbulkan rasa permusuhan atau kebencian individu atau kelompok berdasarkan SARA, ancaman kekerasan atau menakut-nakuti) dimasukkan ke dalam UU ITE (Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29) tanpa disertai dengan bestandeelen delict (unsur-unsur delik) yang jelas dan tegas.

 

Sebagai misal, Pasal 27 UU ITE tentang penghinaan/pencemaran nama baik. Penjelasan menurut undang-undang a quo sudah jelas. Beberapa tahun kemudian terjadi perubahan UU ITE terhadap pasal a quo diberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 KUHP tentang menista dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah.

 

Padahal, penghinaan dalam KUHP tersebar dalam Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP. Artinya, yang diakomodasi oleh UU ITE hanyalah menista dan memfitnah sebagaimana dalam penjelasan, padahal masih ada bentuk penghinaan lainnya seperti penghinaan ringan, melapor secara memfitnah dan menuduh secara memfitnah.

 

Penjelasan pasal a quo justru membuat runyam substansi penghinaan itu sendiri. Selain itu, Pasal 27 UU ITE yang terdiri dari empat ayat, antara ayat satu dengan ayat yang lain memiliki sifat pembagian delik yang berbeda. Penghinaan adalah delik aduan, sedangkan perjudian bukanlah delik aduan.

 

Selanjutnya terkait Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Pasal a quo bersumber dari pasal-pasal penyebar kebencian (haatzai artikelen) yang terdapat pada Pasal 154 sampai dengan Pasal 157 KUHP. Menurut sejarahnya, pasal-pasal tersebut berasal dari Code British yang diberlakukan oleh penjajah Inggris di India. Ketika Inggris menguasai Belanda berdasarkan Traktat London, pasal-pasal itu kemudian diadopsi oleh Belanda dan diterapkan secara concordantie beginselen di daerah jajahannya, Indonesia.

 

Dalam perkembangannya, pasal-pasal tersebut ada yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menimbulkan komplikasi hukum tersendiri. Di satu sisi Pasal 28 UU ITE masih berlaku, namun di sisi lain sumber dari pasal tersebut dalam KUHP ada yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

 

Berdasarkan pemaparan di atas, revisi pasal karet dalam UU ITE menjadi suatu keniscayaan. Namun perlu juga diingat bahwa saat ini, pemerintah sedang menyosialisasikan Rancangan KUHP yang sudah berlangsung sejak 23 Februari 2021 dengan harapan dapat segera disahkan.

 

Dalam Rancangan KUHP, berbagai kejahatan dunia maya yang termuat dalam UU ITE sudah dimasukkan ke dalam Rancangan KUHP. Artinya, ketika Rancangan KUHP disahkan, maka dengan sendirinya berbagai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak lagi berlaku.

 

Bahkan, ancaman pidana dalam Rancangan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya telah disesuaikan dengan sanksi pidana pada umumnya, sehingga tidak terjadi disparitas antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Alasannya, pidana penjara dalam Rancangan KUHP bukanlah pilihan utama, namun masih ada alternatif pidana lainnya seperti pidana denda, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.

 

Pedoman pelaksanaan

 

Sembari menunggu revisi UU ITE atau pengesahan Rancangan KUHP, hal penting yang harus dilakukan adalah perlunya pedoman pelaksanaan pasal-pasal a quo yang dikeluarkan oleh Polri. Ini untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo bahwa Polri harus selektif dalam menangani kasus-kasus ITE.

 

Arahan tersebut mengandung kedalaman makna. Pertama, harus ada standar yang sama termasuk penafsiran terhadap pasal-pasal tersebut. Kedua, jangan ada tebang pilih dalam menangani kasus-kasus ITE. Ketiga, sedapat mungkin kasus-kasus ITE dapat diselesaikan tanpa proses hukum.

 

Polisi virtual yang dicanangkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo perlu diapresiasi sebagai pengejawantahan arahan Presiden Joko Widodo. Polisi virtual tidak hanya mengedepankan aspek pencegahan, tetapi juga mediasi bilamana kasus-kasus tersebut telah masuk pada proses hukum.

 

Hal ini sesuai dengan semboyan Kapolri Sigit yakni Polri yang PreSiSi: Prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Berkaitan dengan kasus-kasus ITE, Polri harus lebih bisa memprediksi berbagai kemungkinan kejahatan dunia maya, merespons berbagai kasus tersebut dan menyelesaikan secara adil dan transparan dengan memediasi pelaku dengan korban.

 

Hal ini pun sesuai dengan paradigma hukum pidana modern yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar