Senin, 22 Maret 2021

 

Kesusastraan Membangun Nasionalisme

 Apsanti Djokosujatno  ;  Guru Besar Ilmu Sastra, Mengajar di Universitas Indraprasta PGRI

                                                        KOMPAS, 20 Maret 2021

 

 

                                                           

Meskipun para dosen dan pejabat sudah mulai gemar berpuisi ria, ternyata banyak yang lupa dan tidak tahu bahwa sastra bisa digunakan untuk menanamkan kebangsaan.

 

Saya mencoba mengingatkan bahwa Rusia sebelum Perestroika, ketika masih dikuasai komunisme, pemuja materialisme dialektik versi Marx, menempatkan sastra pada jajaran suprastruktur. Oleh karena itu, negara tersebut begitu waspada mengontrol dengan ketat penerbitan karya sastra.

 

Novel epik Boris Pasternak yang selesai pada 1956, Dr Zhivago, dilarang terbit di negara sendiri karena dianggap tidak sejalan dengan ideologi partai. Italia kemudian berinisiatif menerbitkannya pada 1957. Boris Pasternak juga dilarang menerima Nobel dan nyaris diasingkan seandainya Perdana Menteri India Jawaharal Nehru tidak menelepon Krushchev, Perdana Menteri Rusia waktu itu, dan mengancam akan membentuk Komite Perlindungan Pasternak.

 

Novel itu kemudian menjadi bacaan wajib untuk siswa setara kelas VIII di Rusia, setelah Perestroika. Perancis, dari abad XVIII sampai perempat pertama abad XX, dengan kesusastraannya yang dikenal sebagai littérature bourgeoise, yang menanamkan ideologi, nilai, dan budaya kaum bourgeois Perancis, telah berhasil membangun masyarakat kelas menengah yang kuat. Begitu serunya negara itu menanamkan nasionalisme sampai kebablasan menjadi chauvinist.

 

Inggris, contoh yang juga nyata. Negara yang hanya terdiri dari dua pulau yang tak begitu besar berhasil membuat bangsanya menjadi pelaut ulung dan ”menguasai dunia”, dan mengibarkan moto ”Britain rules the waves”, berkat karya sastranya. Semua warganya yang berhasil di dunia maritim dijadikan legenda dan ikon melalui sastra, termasuk para bajak lautnya.

 

Jangan lupa, dari masa kanak-kanak, mereka sudah membaca Peter Pan yang gemar bertualang di kapal dan bertemu dengan bajak lautnya yang konyol tetapi menarik. Amat banyak contoh lain, juga dari negara-negara lain di Eropa dan Asia. Jadi, jelas bukan karena kekeliruan bila komite hadiah Nobel memberikan porsi hadiah untuk kesusastraan.

 

Sebagaimana diketahui, Nobel diberikan kepada mereka yang berhasil menciptakan sesuatu yang paling bermanfaat bagi kemanusiaan dalam bidang fisika, kimi, kedoteran, perdamaian, dan kesusastraan. Hadiah untuk kesusastraan mulai diberikan pada 1901. Nobel ekonomi baru diberikan pada 1969

 

Mata pelajaran kesusastraan menjadi bagian terpenting dalam kurikulum klasik Barat. Kurikulum itu telah melahirkan banyak peneliti hebat dan pengarang pemenang Nobel. Penelitian sastra bahkan berhasil menjadikan karya sastra sebagai sarana pengobatan gangguan kejiwaan, antara lain yang digagas oleh Bruno Bettleheim, seorang dokter psikiatri Amerika. Juga jangan lupa bahwa Pramoedya yang hanya bersekolah sampai kelas dua SMP adalah lulusan sekolah yang masih menggunakan kurikulum lama itu. Termasuk Soekarno yang kreatif dan berwawasan luas.

 

Membentuk watak tidak seperti membentuk pengetahuan eksak yang kognitif, yang bisa dijelaskan dan diterapkan seketika. Membentuk watak adalah masalah internalisasi yang panjang, makan waktu. Proses identifikasi pembaca pada tokoh yang disukainya memungkinkan terjadinya internalisasi. Pembaca merasa mengalami apa yang dialami ”tokoh idealnya”.

 

Maka, bila lulusan SMA kita tak tahu bagaimana menjadi orang Indonesia, itu tanggung jawab Kemendikbud, yang pernah menghapus pelajaran kesusastraan selama lebih dari 40 tahun, menjadikan Indonesia terkenal di dunia internasional sebagai satu-satunya negara yang tidak mengajarkan kesusastraan.

 

Agak terlalu lama kesalahan itu berlangsung. ”Untunglah” Kemendikbud telah mencantumkan kembali sastra dalam KTSP 2013 meskipun hanya sebagai tempelan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, menghilangnya sastra dari kurikulum selama puluhan tahun besar dampaknya.

 

Lulusan SMA dan perguruan tinggi yang sekarang harus mengajar sastra sudah telanjur tak mengenal sastra. Bahkan, saya menemukan satu dua guru yang seumur hidupnya tak pernah membaca sastra. Apalagi perekrutan guru dijalankan tanpa seleksi ketat.

 

Itu dimulai oleh Presiden Soeharto yang ingin semua mendapat pendidikan, lantas mendirikan sekolah yang serba inpres (instruksi presiden), sekolahnya, gurunya, buku pegangan murid. Sekarang, asal lulus tes pegawai negeri, yang standarnya sangat rendah, bisa menjadi guru, khususnya guru Bahasa Indonesia.

 

Banyak guru Bahasa Indonesia lulusan bidang ilmu eksakta dan semi-eksakta, yang cara berpikirnya sangat kaku dan eksak, tak punya bayangan bagaimana mengajar Bahasa Indonesia, apalagi kesusastraan. Sekolah Kristen dan sekolah swasta yang bebas menentukan kurikulumnya, umumnya masih mempertahankan unsur kurikulum lama itu dan bisa dikatakan cukup selektif dalam merekrut pengajarnya. Namun, berapa jumlah siswa yang beruntung bisa belajar di sekolah swasta, yang setelah lulus lebih suka bekerja di perusahaan swasta daripada menjadi guru.

 

Kritik lain, KTSP 2013 juga terlalu merinci, menekankan hal-hal yang tak perlu gara-gara prinsip diletakkan pada konsep keterampilan. Misalnya siswa (kelas VI, VI, VII, dan seterusnya) harus mampu menulis puisi, cerita pendek, drama. Kalau siswa banyak membaca, membaca dengan baik dan sungguh-sungguh, mereka akan bisa menulis dengan sendirinya. Cukuplah memberi latihan menulis biasa. Waktu lebih baik digunakan untuk membuat siswa membaca lebih banyak dan membuat laporan mengenai unsur yang menarik pada bacaannya.

 

Masalah lain adalah buku sastra yang harus dibaca siswa. Kemendikbud seyogianya memberi pilihan buku sastra wajib baca yang ditentukan oleh para ”pakar” sastra. Ada banyak guru yang saya ajar memberikan karangan remaja agar siswa senang. Bahkan, mereka menggunakan karangan dari internet yang isi dan bahasanya serba ”milenial”.

 

Sekolah bukan untuk bersenang-senang menikmati bahasa prokem, milenial atau apa pun sebutannya, yang mengunci siswa dalam euforia remaja. Itu bisa dan pasti mudah mereka lakukan di luar sekolah.

 

Pelajaran sastra harus dimanfaatkan untuk membangun jiwa, membuat siswa menjadi manusia Indonesia yang menghargai bahasa Indonesia yang standar, memperluas wawasan mereka tentang keragaman dan masa lalu bangsanya, yang berarti memberi akar pada generasi muda. Dengan sendirinya, mereka juga mendapat wawasan yang lebih luas tentang ruang dan waktu.

 

Kita mempunyai banyak novel bagus, lama dan baru, dari sejumlah daerah, yang patut diajarkan. Kita mempunyai cerita tentang pelaut-pelaut hebat dari Bugis, juga kisah tentang bajak laut yang pernah berjaya sampai abad XIX. Selain itu, Kemendikbud telah beberapa kali mengadakan lomba menulis novel bagi para guru.

 

Ada novel-novel pemenang dari sejumlah daerah yang bisa memperluas wawasan siswa mengenai keragaman fauna, flora ,dan tentu saja keragaman budaya di negara kita. Sebaiknya novel-novel pemenang itu dicetak ulang dan disarankan sebagai pilihan.

 

Masalah lain, karya sastra yang bagus tak pernah dipromosikan, juga jarang yang dicetak ulang, apalagi yang lama. Perpustakaan Nasional juga tak memberi dukungan publikasi. Media sosial, yang selalu mempunyai ruang dan waktu untuk hal-hal remeh-temeh menyangkut selebritas, tentu bisa membantu menghidupkan kembali sastra, dengan memperkenalkan karya sastra yang patut dibaca, yang baru maupun yang lama, yang mengandung kebijakan dan pengalaman para orang tua dan pini sepuh. Menggunakan selebritas pembaca sastra untuk mempromosikan karya sastra, pasti akan membantu menaikkan semangat baca dan literasi, dan tentu akan meningkatkan martabat selebritasnya.

 

Pelajaran sastra bukan sekadar masalah mengenal sastra dan literasi. Membaca karya sastra adalah kegiatan yang positif dan serba guna untuk membangun generasi muda. Karya sastra sekaligus menghibur, menambah pengalaman hidup, menambah pengetahuan, juga menjaga kesehatan otak, karena bekerja menguraikan berbagai jenis kode.

 

Barat juga percaya bahwa petualangan imajiner dalam sastra mengawali dan membuka jalan ke petualangan ilmiah. Namun, berhasil tidaknya pembelajaran sastra pada akhirnya terpulang pada pengajar yang mengampunya. Setidaknya ia harus mempunyai pengetahuan mengenai berbagai hal untuk mendukung mata pelajarannya, selain persiapan yang teliti dan matang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar