Rabu, 24 Maret 2021

 

Arah Komitmen Pengembangan Energi Baru Terbarukan

 Irine Handika  ;  Dosen di Fakultas Hukum dan Peneliti di Pusat Studi Energi (PSE) UGM)

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam Siaran Pers Nomor 051.Pers/04/ SJI/2020 menargetkan porsi energi baru terbarukan atau E(B)T sebesar 13,4 persen pada 2020 dan bertahap ditingkatkan menjadi 14,5 persen pada tahun ini. Angka itu merupakan target yang masih harus dikonfirmasi realisasinya.

 

Namun, paling tidak, terlihat bahwa jalan untuk mencapai target 23 persen porsi E(B)T dalam bauran energi primer (BEP) masih panjang. Pada kondisi itu, apakah pemerintah benar-benar memiliki komitmen? Pertanyaan itu penting karena jika ingin mencapai target 23 persen, strategi akselerasi harus dipilih, dan ini hanya dapat dilakukan jika pemerintah benar-benar punya komitmen.

 

Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan minimum 23 persen porsi E(B)T di 2025 dan minimum 31 persen di 2050. Ada sejumlah catatan penulis tentang target itu, ditinjau dari perspektif hukum.

 

Pertama, pendekatan yang mencampur energi baru (EB) dan energi terbarukan (ET) sedari awal sudah membingungkan. Ketelanjuran yang sepertinya berawal dari kebiasaan menggunakan istilah EBT yang terbawa hingga penyusunan regulasi. Manakala ditetapkan sebagai target nasional, berapakah persentase masing-masing?

 

Jika pada realitasnya yang dikembangkan adalah ET, dapatkah dikatakan target tercapai karena nyatanya EB tak menyumbang porsi. Lebih lanjut, definisi EB merujuk pada kebaruan teknologi yang terikat pada relativitas waktu.

 

Artinya, ada kenisbian yang dinormatifkan dalam KEN yang berlaku mengikat untuk jangka waktu panjang hingga 2050. KEN di sisi lain menetapkan jenis-jenis EB, seperti nuklir dan coalbed methane (CBM).

 

Patut dipertanyakan apakah sumber energi tersebut masih disebut EB jika sudah berhasil dikembangkan? Terlebih, jika sumber energi itu sudah dikembangkan sejak dulu di negara-negara lain, akankah kita tetap mempertahankannya sebagai sesuatu yang baru? Pada konteks pertama ini, sulit untuk mencapai target jika desain pengaturan tidak dibuat tuntas dan jelas.

 

Kedua, apakah KEN sungguh-sungguh dimaksudkan sebagai instrumen mencapai bauran energi? Pasal 9 KEN mendesain target BEP: E(B)T lebih dari 23 persen (2025) dan lebih dari 31 persen (2050), minyak lebih dari 25 persen (2025) dan lebih dari 20 persen (2050), gas lebih dari 22 persen (2025) dan lebih dari 24 persen (2050), dan batubara lebih dari 30 persen (2025) dan lebih dari 25 persen (2050).

 

Target tersebut memiliki kekuatan mengikat yang lemah, terlebih untuk E(B)T, yang akan dikembangkan sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Tuntutan yang sulit karena regulasi yang ada sekarang memaksa harga E(B)T bersaing dengan harga energi fosil, terutama batubara.

 

E(B)T yang memiliki tantangan pengembangan lebih, seperti eksplorasi-eksploitasi perut bumi, risiko kegagalan, kondisi intermiten, dan lain-lain, dipaksa bersaing dengan sumber energi yang bisa diambil dari permukaan bumi.

 

Artinya, ada ketidakseimbangan level playing field yang selalu akan menghambat keekonomian E(B)T. Masalahnya, keekonomian dijadikan indikator pengembangan oleh KEN. Bagaimana jika E(B)T dianggap tak ekonomis?

 

Target tak perlu dikejar, dan inilah ”guna” norma bersyarat di Pasal 9. Tidak terpenuhinya target E(B)T akankah menimbulkan gap pasokan energi nasional? Tidak, karena Pasal 9 KEN mendesain target yang fleksibel (norma minimum khusus) untuk batubara agar bisa mengisi kekosongan itu.

 

Atas nama kepentingan ketahanan energi, fleksibilitas itu mudah dimanfaatkan, dan diafirmasi juga oleh Pasal 11 Ayat (2) KEN yang menetapkan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional. Elaborasi di atas mengarahkan pada pertanyaan: pengembangan sumber energi apa yang sesungguhnya ditargetkan oleh KEN?

 

Dominasi batubara

 

Ketiga, ruang dominasi batubara semakin terbuka lebar berkat dukungan Undang-Undang Cipta Kerja di Pasal 128A Ayat (1) dan (2) yang memberi insentif berupa tarif royalti nol persen. Pemangkasan biaya di hulu dapat membuat harga di hilir semakin rendah.

 

Harga batubara di sisi lain berpengaruh terhadap keekonomian, terutama ET, karena Peraturan Menteri ESDM No 4 Tahun 2020 menetapkan harga ET maksimum sebesar 85 persen biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan setempat, yang di dalamnya dapat mencakup komponen harga batubara.

 

Semakin besar dominasi pemanfaatan batubara di suatu wilayah, terlebih yang harganya kompetitif, akan semakin menekan harga ET. Elaborasi tersebut menunjukkan bahwa regulasi eksisting, entah disadari atau tidak, telah menciptakan kesenjangan level playing field yang menyulitkan ET untuk bersaing.

 

Diskusi di atas sedikit banyak menggambarkan arah komitmen pemerintah dalam pengembangan E(B)T. Karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah quo vadis E(B)T Indonesia?

 

Kegamangan kondisi ini tak boleh menyurutkan optimisme. Dibutuhkan aksi konkret untuk mengakselerasi pengembangan, antara lain dengan membuat norma transisi energi yang memiliki kekuatan mengikat dan dituangkan dalam amendemen UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar