Senin, 22 Maret 2021

 

Kami (Tidak) Tahu ke Mana Panggung Musik Indonesia Kami Bawa

 Anas Syahrul Alimi  ;  Ketua Bidang Pengembangan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), CEO Prambanan Jazz Festival

                                                        KOMPAS, 21 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada circa 40-an, dengan jemawa, pelukis S. Soedjojono menulis dengan lantang: “Kami tahu ke mana seni lukis kami bawa". Di sana, terletup perasaan berapi untuk bisa keluar dari belenggu corak dan metode tertentu dalam mencurahkan pikiran dan perasaan di lanskap seni rupa. Dan, itu didorong dan dilambari revolusi yang berkobar-kobar.

 

Saya anggit kembali suara S. Soedjojono ketika di bulan ini kita memperingati dua momen sekaligus, Setahun Pandemi (2 Maret) dan Hari Musik (9 Maret).

 

Jika Soedjojono tampak menepuk dada dan mengacungkan kepalan tangan sembari berteriak bersama Chairil Anwar, “Ayo, Bung!”, bagaimana dengan orang-orang musik yang berada dalam palagan perang dingin melawan agresi virus?

 

Seperti halnya perang dunia, invasi virus telah meluluhlantakkan nyaris semua bidang. Musik tak terkecuali. Lebih spesifik lagi, dunia konser yang mengumpulkan banyak orang. Para samurai muda yang selama ini sangat yakin bisa membikin panggung apa saja, alih-alih bisa mengepalkan tangan, bersedekap saja tidak mampu.

 

Semuanya rebah, seperti para yogi yang kembali memeluk diri. Musisi kembali ke rumah, kembali ke keluarga, sementara para pendiri panggung musik berjalan gontai ke kantor yang sepi dan dengan mata nanar terus menatap kas yang bertumbuh ke bawah dengan segala utang yang temponya seperti belati jatuh dari langit.

 

Di masa normal, para promotor ini—istilah kerennya, sih, pegiat industri kreatif—digadang-gadang menjadi pelaku terdepan dalam industri kreatif.

 

Mereka dilihat mampu menghidupkan banyak elemen yang kerap tidak berhubungan langsung dengan buana musik. Sebut saja, penyewa venue, pengusaha tata suara dan lampu, para pedagang makanan dan cindera mata, jasa transportasi, dan hotel.

 

Ketika invasi virus ini masuk ke Indonesia, semua yang saya deretkan tadi langsung rebah. Sebab, merekalah yang berada di garda depan selama ini. Para pebisnis itu tiarap sambil berharap ini perang dengan time zone pendek. Ini seperti bencana biasa sebagaimana konsekuensi hidup di negeri yang dikepung cincin api.

 

Ternyata tidak, ini bukan bencana yang sebulan dua bulan. Ini pandemi. Ini perang panjang dengan limit waktu yang sulit ditentukan. Yang mula-mula di garda depan dipaksa mundur ke garis paling belakang, meninggalkan panggung dan gemerlap lampu kota. Tenaga kesehatan yang didorong berada di front, berperang siang dan malam dengan konsekuensi berguguran bersama ribuan rakyat.

 

Lamat-lamat kita dengar di garis belakang peperangan panjang ini, kita diminta beradaptasi dengan situasi. Format panggung mau tidak mau diubah, dari yang nyata ke yang maya. Mula-mula para penonton menggunakan kaki untuk sampai ke venue, kini dipaksa cukup dengan jempol saja.

 

Bisakah ini dilakukan? Tentu saja tidak semudah menyerukan agar tetap kreatif di medan apa pun. Termasuk, kreatif menciptakan tontonan.

 

Kini, dunia musik dihadapkan kepada situasi bisnis yang dulunya dihindari karena kalah telak di sana. Yaitu, dunia digital. Musisi dan pebisnis yang hidup di ekosistem ini tahu betul ekosistem digital musik kita sepenuhnya rimba raya.

 

Musisi tidak bisa hidup dari penjualan produk musik mereka karena pembajakan konten telah menjadi sebuah keniscayaan. Sejak era kaset, cakram, dan kini era YouTube, pelaku musik seperti disirep bahwa "pembajakan adalah salah satu cara mengapresiasi karya".

 

Ada yang melawan, tetapi itu sayup-sayup belaka. Satu ditangkap, seribu yang tumbuh.

 

Dihajar oleh praktik pembajakan yang sulit ditindak pemerintah, musisi seperti mendapatkan pelampung ekonomi kreatifnya lewat panggung. Di panggung yang bisnisnya diorkestrasi para promotor, musisi mendapatkan pembagian kue atas karya. Ranah digital pun hanya sekadar memperkenalkan karya agar saat tiba waktunya panggung berdiri, para penggemar berduyun-duyun datang ke venue.

 

Kini, pelampung itu lenyap. Panggung itu roboh. Dunia musik pun dipaksa ke habitat yang sesungguhnya sangat dihindarinya: ekosistem digital. Sebab, di sana, virus pembunuh ekosistem kreatif berdiam dan mengerat apa saja tanpa peduli kepada apa pun.

 

Dalam kejumudan seperti ini, awal tahun ini, Bang Haji Rhoma Irama, seperti historiografi musik kita yang lalu-lalu dan sayup, menggugat 1 miliar rupiah PT Sandi Record.

 

Rumah produksi yang berdomisili di Jawa Timur itu dengan sistematis dan terencana mengaransemen ulang lagu-lagu Bang Haji tanpa izin dan dengan kontrak yang disepakati bersama. Lagu-lagu itu kemudian dimonetisasi lewat kanal YouTube.

 

Kita patut mendukung usaha-usaha seperti ini, walau hanya sebatas fragmen dan letupan-letupan pemberi efek jera belaka seperti yang sudah-sudah.

 

Yang kita perlukan adalah penyehatan secara holistik dengan menegakkan hukum yang ada. Dengan begitu, panggung digital ini betul-betul seperti yang diharapkan oleh dunia penciptaan musik kita.

 

Apakah terlalu berlebihan harapan itu? Mari kita lihat ke depannya usai kita dipojokkan habis-habisan dalam perang pandemi ini.

 

Anggap saja penyehatan ekosistem digital adalah harapan jangka panjang. Poin terdekat yang kita inginkan adalah bagaimana dunia panggung musik live dalam bentuk festival dan konser tidak betul-betul mati. Hal ini memantik saya dan teman-teman yang bergiat di bisnis keramaian kreatif ini menyurati pemerintah.

 

Kita semua tentu saja menginginkan bahwa keselamatan manusia di atas segalanya. Tak ada tawar-menawar soal itu. Sebagai kelompok bisnis yang terlatih dalam mengelola para pesohor dunia musik, tidakkah sebaiknya kami dilibatkan dalam kampanye melawan pandemi ini lewat jalan yang kami tekuni selama ini, yakni musik.

 

Sekali lagi, kami mengelola banyak sekali pesohor musik dengan lapisan fan yang sangat besar. Kami juga cukup terlatih dari pengalaman belasan tahun mengelola event dalam berbagai skala.

 

Bukankah itu bisa menjadi bab pendahuluan yang bisa digunakan pemerintah untuk kampanye penyelamatan kesehatan masyarakat kita.

 

Program vaksinasi nasional, misalnya. Ini program yang tidak bisa dilakukan sebentar karena melibatkan ratusan juta masyarakat dan dihalangi bentang alam kepulauan.

 

Janganlah mereka yang bergerak di industri kreatif ini "hanya dimanfaatkan" saat pesta politik. Tenaga mereka bisa sangat potensial untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan sesuai tupoksinya.

 

Sinergisitas ini barangkali bisa menjadi titik berangkat memulihkan industri kreatif musik dengan pertama-tama menghidupkan tungku ekonomi dasarnya yang terkoreksi sangat dalam.

 

Sebab, meminjam frase S. Soedjojono, kami sesungguhnya tahu kemana industri musik ini kami bawa, tetapi kami membutuhkan sinergi yang sehat dengan pemerintah. Sebab, setahu-tahunya kami kemana dunia musik ini mau dibawa, jika pemerintah pasif, ya, hanya berjemur di halaman rumah sendiri alias tidak ke mana-mana.

 

Selamat hari musik, para pencinta musik Indonesia. Jangan lupa terus berdoa dan berikhtiar agar lolos dari maut yang ditebar pandemi ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar