Rabu, 17 Maret 2021

 

Menjaga Keselarasan Hidup Bersama yang Berkelanjutan

 Argo Twikromo  ; Pengajar di Universitas Atama Jaya, Yogyakarta; Antropolog; dan Peneliti Mindset Institute

                                                        KOMPAS, 14 Maret 2021

 

 

                                                           

Dinamika kehidupan terus berkembang menjadi semakin beragam dan kompleks. Berbagai komponen kehidupan selalu bergerak tergantung dari konteks tempat, ruang, dan waktu.

 

Kehidupan global memang membuka ruang eksploitasi dengan kehadiran kompetisi atau persaingan yang mensyaratkan gerak cepat, individual, instan, dan orientasi pada wujud nyata dalam meraihnya.

 

Perkembangan ini telah memberikan ruang semakin lebar bagi pergerakan setiap individu atau kelompok dalam mewujudkan pencapaian hidupnya sendiri.

 

Kebersamaan menjadi semakin sempit dan terkotak-kotak. Setiap komponen kehidupan melepaskan rajutan eratnya dari komponen lain yang pada hakikatnya saling mendukung kehidupan bersama.

 

Dalam konteks ini, rajutan relasi selaras antarkomponen yang dapat mewujudkan ekosistem kehidupan harmonis secara holistik relatif menjadi terpinggirkan. Terlebih ketika tata kelola kehidupan bukan lagi bersumber pada konteks sosial-budaya bangsa sendiri.

Landasan kebijaksanaan bangsa (local wisdom) dalam pengelolaan kehidupan bersama yang telah diwariskan oleh leluhur bangsa ini relatif menjadi asing bagi kehidupan generasi saat ini.

 

Sesungguhnya keselarasan kehidupan menjadi suatu keniscayaan yang mengutamakan relasi selaras antarkomponen kehidupan. Keterpaduan relasi menjadi terputus manakala upaya mewujudkan suatu kehidupan bersama yang saling membutuhkan dan menghargai secara berkelanjutan terpinggirkan oleh kehadiran kompetisi atau persaingan.

 

Pergeseran relasi selaras

 

Tata kelola kehidupan bersama yang lebih mengedepankan relasi selaras antara manusia dan sesama, dengan alam, dengan Sang Pencipta, dan bahkan antarketiganya telah diwariskan oleh leluhur bangsa ini.

 

Koridor utama kehidupan selaras menjadi tata kelola dinamika internal ataupun perjumpaan dengan warna kehidupan lain secara eksternal. Berbagai perjumpaan, pergumulan, dan pergulatan dalam kehidupan relatif diberi koridor keselarasan.

 

Relasi selaras secara holistik ini telah membuka ruang kesadaran untuk saling memahami, menghargai, menghormati, menjaga, berbagi, melengkapi, menopang, dan bekerja sama dalam kehidupan bersama.

 

Tata kelola kehidupan semacam ini tanpa disadari justru berorientasi pada kehidupan jauh ke depan atau jangka panjang. Bahkan, mempunyai berbagai turunan padu serasi dalam segala aspek kehidupan yang ikut menopang atau bermuara pada perwujudan kehidupan harmonis secara lebih luas.

 

Keselarasan relasi kehidupan bersama lebih diutamakan ketika manusia relatif bergantung secara langsung pada alam yang disediakan oleh Sang Pencipta. Keberadaan manusia, alam, dan Sang Pencipta menjadi rajutan secara holistik dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.

 

Berbagai turunan relasi selaras terinternalisasi di hampir segala lini kehidupan dalam wujud narasi, tari, kepercayaan, simbol, personifikasi leluhur, mitos, serta segala bentuk sikap dan perilaku yang dalam logika berpikir saat ini justru sering kali dianggap irasional. Namun, ketika terajut secara holistik justru mengandung nuansa keselarasan kehidupan bersama.

 

Dinamika kehidupan pada masa lampau telah memberikan ruang bagi para penguasa untuk ikut andil dalam menata dan mengelola kehidupan ini. Para penguasa sering mengisyaratkan sebagai perwakilan Sang Pencipta—atau apa pun terminologinya—yang berada di dunia ini. Berbagai tafsir dapat diberikan dalam konteks pemikiran saat ini, seperti legitimasi politik dan kekuasaan.

 

Akan tetapi, terlepas dari penafsiran tersebut, isyarat itu juga bisa ditafsirkan bahwa personifikasi kekuasaan di dunia diupayakan agar mengarah dan lekat dengan kebijaksanaan atau hakikat kekuasaan Sang Pencipta. Walaupun harus dipahami tetap terkandung legitimasi lain dalam konteks kekuasaan masa lampau. Berbagai kepentingan sering kali ikut menggerogoti tata kelola kehidupan selaras yang ingin diwujudkan.

 

Perkembangan kehidupan modern ataupun global telah memberikan tawaran dan alternatif pengelolaan yang jauh berbeda. Manusia cenderung tampil sebagai pengelola utama dalam kehidupan.

 

Kompetisi mensyaratkan gerak cepat, individual, dan orientasi pada wujud nyata dalam meraihnya. Ruang eksploitasi semakin lebar, baik antara manusia dan sesama, dengan alam, maupun dalam konteks-konteks tertentu dengan memanfaatkan payung legitimasi Sang Pencipta.

 

Persahabatan, kedekatan, dan kebersamaan antara manusia dan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta dalam kehidupan relatif terkonstruksi dalam sekat-sekat perbedaan relatif tajam.

 

Setiap komponen kehidupan cenderung secara individu ataupun kelompok berjalan secara sendiri-sendiri dan sering kali menafikan keberadaan sesama dan alam yang dianggap kurang memberikan kontribusi secara langsung dalam kehidupan bersama.

 

Alam cenderung dieksploitasi secara kurang selaras demi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Keberadaan manusia terkonstruksi melalui sekat-sekat dengan sesama sehingga kebersamaan hidup di dunia ini menjadi relatif kerdil dalam ranah individu ataupun kelompok.

 

Berbagai upaya untuk memperkuat posisi kelompok di hadapan kelompok lain yang berbeda sekat terkadang muncul melalui eksploitasi atas nama Sang Pencipta sebagai landasan pembenaran.

 

Dalam konteks ini, relasi selaras antara manusia dan sesama, dengan alam, dengan Sang pencipta, dan bahkan antarketiganya menjadi tersekat-sekat dan kurang holistik lagi.

 

Persemaian kesadaran

 

Beragam alternatif tata kelola kehidupan dalam mencapai tingkat kehidupan tertentu sesuai dengan prinsip dan perspektif capaian hidup masing-masing relatif dominan dalam perkembangan kehidupan saat ini.

 

Ketimpangan terjadi di sana-sini karena masing-masing berkompetisi secara instan agar dapat meraih tingkat kehidupan yang ingin dicapainya. Koridor keselarasan kehidupan bersama relatif kurang dominan sebagai pertimbangan utama.

 

Dinamika kehidupan lebih mengedepankan capaian tingkat kehidupan secara individual ataupun kelompok sebagai turunan atau prasyarat yang lebih dapat menopang kompetisi atau persaingan.

 

Dalam konteks ini, keselarasan kehidupan bersama (secara holistik) menjadi relatif kurang terinternalisasi dalam hati sanubari bangsa ini. Bahkan, kurang menjadi kebanggaan atas karakter kebijaksanaan yang bersumber dari konteks sosial-budaya bangsa sendiri.

 

Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan kehidupan dominan dengan prasyarat gerak cepat, individual, instan, dan orientasi pada wujud nyata dalam meraihnya telah menggeser pertautan kehidupan selaras.

 

Penghayatan atas orientasi kehidupan jangka panjang ataupun pengutamaan relasi selaras antara manusia dan sesama dengan ruang hidup yang lain kurang memperoleh ruang yang memadai.

 

Berbagai kemajuan kehidupan memang harus diakui capaiannya. Namun, di sana-sini masih tetap menyisakan ketimpangan, ketidakmerataan, ketergantungan, dan pemarjinalan. Kondisi ini justru dapat menggugah kesadaran atas tata kelola keselarasan kehidupan bersama dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya.

 

Persemaian kesadaran dapat menjadi pijakan dalam merengkuh pengutamaan keselarasan sebagai tata kelola kehidupan bersama. Ruang padu serasi perlu dibuka agar dapat bersanding, bersilang sosial-budaya, bertautan, dan bertransformasi dalam konteks kehidupan saat ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar