Senin, 22 Maret 2021

Semangat Ubuntu dan Tat Twam Asi di Masa Pandemi

 Robert Sitorus  ;  ASN Kementerian Sosial RI

                                                        KOMPAS, 19 Maret 2021

 

 

                                                           

“A person with Ubuntu is open and available to others, affirming of others, does not feel threatened that others are able and good, based from a proper self-assurance that comes from knowing that he or she belongs in a greater whole and is diminished when others are humiliated or diminished, when others are tortured or oppressed.”

 

Kutipan di atas merupakan penjelasan Uskup Agung Desmond Tutu tentang 'ubuntu' dalam bukunya yang berjudul No Future Without Forgiveness. Kata ‘ubuntu’ merupakan kata yang berasal dari bahasa asli Afrika Selatan yang berarti ‘saya karena kita’.

 

Konsep dan filosofi yang terkandung dalam ubuntu sangat menekankan hubungan seseorang terhadap lingkungan sekitarnya baik keluarga maupun masyarakat. Setiap orang bertanggung jawab terhadap orang di sekitarnya. Keberadaan seseorang ditentukan oleh orang-orang di sekitarnya.

 

Ubuntu merupakan prinsip dalam mencapai solidaritas sosial dan upaya pemahaman akan keterhubungan sosial. Ubuntu menegaskan bahwa dalam dunia ini manusia terhubung satu dengan yang lain mulai dari cakupan keluarga, masyarakat, nasional, regional bahkan global. Sehingga apa yang terjadi dengan orang lain tidak terlepas dari peran kita. Ubuntu sangat terkenal karena sering digunakan oleh dua tokoh Afrika Selatan peraih Nobel Perdamaian yaitu Nelson Mandela dan Desmon Tutu.

 

Bangsa Indonesia sendiri memiliki warisan filosofi yang mempunyai makna sama dengan ubuntu yaitu ‘Tat Twam Asi’. Tat Twam Asi berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kamu adalah aku dan aku adalah kamu. Makna yang terkandung dalam semboyan ini adalah apa yang dirasakan oleh orang lain juga kira rasakan dan apa yang kita rasakan juga dirasakan oleh orang lain. Seluruh umat manusia saling terhubung satu dengan yang lain. Sehingga apa yang kita lakukan terhadap orang lain pada dasarnya kita lakukan terhadap diri sendiri. Semboyan ini mendorong kita untuk berbuat baik terhadap sesama manusia.

 

Filosofi ubuntu dan tat twam asi merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, terlebih pada masa pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, tidak memandang negara, ras, agama. Seluruh umat manusia terdampak pandemi Covid-19. Untuk mencegah penyebaran lebih luas Covid-19 maka pemerintah mengeluarkan aturan PSBB dan PPKM. Kegiatan sehari-hari masyarakat dibatasi dan dilakukan sebisa mungkin dari rumah baik bekerja, belajar maupun beribadah.

 

Pembatasan kegiatan masyarakat tersebut mengakibatkan roda perekonomian melambat dan pertumbuhan ekonomi menurun. Dampak langsung bagi masyarakat adalah menurunnya bahkan hilangnya penghasilan. Sejak pandemi Covid-19, banyak pekerja yang dirumahkan bahkan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 2,6 juta orang menjadi 9,7 juta orang pada tahun 2020.

 

Pekerja yang dirumahkan dan di PHK mengalami daya beli yang melemah. Melemahnya daya beli masyarakat membuat angka kemiskinan meningkat. Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa penduduk miskin bertambah 2,7 juta jiwa menjadi 27,5 juta jiwa penduduk miskin pada tahun 2020. Kejadian ini tidak hanya di alami oleh Indonesia namun hampir seluruh negara di dunia.

 

Dalam keadaan ini, kita diingatkan kembali oleh prinsip ubuntu dan tat twam asi. Prinsip tersebut dinyatakan dengan solidaritas sosial masyarakat untuk membantu sesama. Sejak pemerintah menyatakan pandemi Covid-19 di Indonesia, sejak saat itu juga mulai muncul semangat ubuntu dan tat twam asi.

 

Dimulai dari keprihatinan terhadap minimnya Alat Pelindung Diri (APD) bagi para tenaga kesehatan, masyarakat mengkoordinir bantuan APD kepada Satgas Covid-19. Satgas Covid-19 selanjutnya menyalurkan ke rumah sakit yang kekurangan APD.

 

Semangat ubuntu dan tat twam asi juga ditunjukkan masyarakat melalui pemberian nasi bungkus kepada pekerja sektor informal khususnya tukang ojek. Beberapa organisasi keagamaan dan kemasyarakatan memberikan bantuan sembako kepada warga yang terdampak pandemi Covid-19. Kita juga menyaksikan sifat kebersamaan masyarakat ketika ada warga yang positif Covid-19 dan isolasi mandiri di rumah. Para tetangga tanpa diminta membantu menyediakan kebutuhan pasien yang isolasi mandiri tersebut.

 

Ketika kekebalan kelompok ini dapat tercapai maka kelompok masyarakat yang tidak dapat divaksin juga dapat terlindungi. Jadi vaksinasi tidak bicara tentang diri sendiri tetapi juga sesama kita yang nasibnya tergantung kepada kita yang bisa di vaksin.

 

Kesadaran tentang pentingnya vaksinasi Covid-19 bagi terbentuknya kekebalan kelompok perlu intensif dilakukan. Seperti makna ubuntu yang mengatakan bahwa aku karena kita maka dalam masa Pandemi Covid-19 ini ubuntu bisa dimaknai ‘aku sehat karena kita divaksin’. Demikian juga makna tat twam asi bisa dimaknai jika kita ingin melindungi sesama kita maka kita harus mau divaksin.

 

Ketika program vaksinasi Covid-19 ini mulai disosialisasikan, beberapa anggota masyarakat menyatakan penolakannya dengan berbagai alasan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, WHO dan UNICEF memperlihatkan bahwa sebanyak 64,8% responden bersedia divaksin dan 7,6% responden menolak divaksin. Sedangkan yang masih ragu-ragu sebanyak 27,6%. Dari responden yang menolak divaksin sebanyak 52% alasannya adalah tidak yakin dengan keamanan dan kemanjurannya.

 

Mencapai kekebalan kelompok bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga tugas seluruh masyarakat Indonesia. Target pemerintah untuk vaksinasi 181,5 juta penduduk atau sekitar 70% penduduk Indonesia menjadi tanggung jawab setiap individu. Tidak tercapainya target vaksinasi tersebut akan mengancam tercapainya kekebalan kelompok. Tanpa kekebalan kelompok maka Indonesia tidak akan bergerak dari kondisi saat ini.

 

Cara yang dapat dilakukan setiap individu adalah meyakinkan orang-orang terdekat bahwa vaksin Covid-19 adalah aman dan halal. Kita juga menyadarkan orang-orang sekitar kita tentang betapa berartinya kita divaksin bagi orang lain dan bagi masyarakat. Seperti semboyan penggunaan masker mengatakan ‘Maskermu melindungi aku’ demikian juga dengan vaksinasi menegaskan ‘vaksinasi kamu mengebalkan aku’.

 

Prinsip ubuntu dan tat twam asi juga relevan dengan kenyataan bahwa negara-negara miskin kesulitan untuk mendapatkan vaksin. Perlu disadari bahwa kekebalan kelompok secara global tidak dapat tercapai jika ada negara yang tidak mendapatkan vaksin.

 

Kepala Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, mengatakan bahwa faktor yang menghambat kekebalan kelompok diantaranya adalah terbatasnya akses vaksin Covid-19 bagi negara berkembang. Semangat ubuntu dan tat twam asi mendorong negara-negara maju untuk membantu akses vaksin Covid-19 kepada negara berkembang.

 

Secara nyata ubuntu dan tat twam asi merupakan filosofi manusia dalam menjalani kehidupan sebagai bagian dari lingkungannya. Pada tahun ini, filosofi ubuntu menjadi tema peringatan Hari Pekerjaan Sosial Dunia (word social work day) pada tanggal 16 Maret. Semoga filosofi ubuntu dan tat twam asi memberikan kesadaran kepada kita semua akan tanggung jawab kita terhadap sesama. ●


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar