Memahami
Koreksi Waktu Subuh Susiknan Azhari ; Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta |
REPUBLIKA,
25 Maret
2021
Sejak adanya tulisan Syekh Mamduh Farhan
al-Buhairi berjudul “Salah Kaprah Waktu Subuh” dimuat Majalah Qiblati (2009)
secara bersambung, keraguan umat Islam soal awal waktu shalat Subuh tampak di
permukaan. Berbagai diskusi diadakan untuk mengkaji
ulang anggitan fajar yang selama ini sudah menyatu dalam keyakinan umat Islam. Sebetulnya, menurut catatan penulis,
sebelum Syekh Mamduh Farhan al-Buhairi mengoreksi anggitan fajar, yang
digunakan di Indonesia, Hanafi S Djamari menulis artikel “Menelaah Kembali
Awal Shalat Subuh” dan dimuat Harian Republika, 21 Mei 1999. Dalam uraiannya, Hanafi mengajak umat Islam
mengkaji ulang konsep ketinggian matahari awal waktu Subuh. Menurut dia,
ketinggian matahari awal Subuh yang relevan untuk masa kini adalah -18
derajat. Namun, respons umat Islam saat itu belum
begitu tampak. Soal itu, muncul lagi setelah tim Islamic Science Research
Network (ISRN) Universitas Prof Dr Hamka menyampaikan
temuannya di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta-Jakarta Islamic
Center, Senin 29 Zulkaidah 1438 H/21 Agustus 2017 M. Temuan ISRN UHAMKA ini menyebutkan, secara
statistik nilai rerata ketinggian matahari awal fajar adalah -13 derajat di
ufuk bagian timur. Hasil ISRN memperoleh respons beragam. Sebagian besar menganggap hasil ISRN
terlalu pagi (mundur sekitar 28 menit) dan masih perlu didialogkan dengan
pesan nas, baik Alquran maupun as-Sunah dan hasil riset lain. Kelompok lain
mendukung dan mengamalkannya. Sejatinya, dalam literatur studi astronomi
Islam, perbedaan pandangan dalam menentukan awal waktu Subuh bukan hal baru.
Al-Qaini berpendapat, ketinggian
matahari waktu Subuh -17 derajat. Menurut al-Biruni, -18 derajat. Begitu pula, di Indonesia. Misalnya, dalam
kitab Al-Khulashah al-Wafiyyah, karya Kiai Zubair Umar al-Jailani disebutkan,
awal Subuh ketika posisi matahari –18 derajat di ufuk timur. Kitab Ad-Durusul Falakiyah karya Muhammad
Ma’shum bin Ali dan Ilmu Falak dan Hisab karya Muhammad Wardan Diponingrat
menyebutkan, awal Subuh saat matahari -19 derajat di bawah ufuk bagian timur. Di Indonesia, awal Subuh dimulai saat
matahari -20 derajat di bawah ufuk hakiki dipengaruhi pemikiran Syekh Taher
Djalaluddin Azhari dalam bukunya Nukhbatu at-Taqrirati fi Hisabi al-Auqati
(1356 H/1937 M). Pemikiran Syekh Tahir Jalaluddin tentang
anggitan fajar ini, diwariskan dan dilanjutkan seorang murid kesayangannya,
Syekh Jamil Jambek, lalu dilanjutkan oleh Saaode’ddin Jambek. Konsep ini menjadi pedoman Badan Hisab
Rukyat (Kementerian Agama), dirujuk semua ormas Islam di Indonesia. Pemikiran
Syekh Tahir Jalaluddin ini juga dipraktikkan di Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam. Namun, sejak 1440 H/2019 M, Malaysia
meninggalkan konsep Syekh Tahir Jalaluddin dan mengubahnya jadi -18 derajat
berdasarkan hasil riset kerja sama Jabatan Kemajuan Islam Malaysia dan
peneliti berbagai universitas di Malaysia. Keputusan itu dilaksanakan bertahap.
Mula-mula Negeri Selangor pada 2 Rabiul Akhir 1441/29 November 2019, diikuti
wilayah persekutuan 3 Rabiul Akhir 1441/30 November 2019, dan Negeri Kelantan
pada 24 April 2020. Jadi, Malaysia merupakan negara pertama
anggota MABIMS, yang melakukan perubahan awal Subuh dengan menambah delapan
menit dibandingkan jadwal sebelumnya. Di Indonesia, kaji ulang anggitan fajar
sudah lama diwacanakan. Pada Musyawarah Nasional ke-27 Tarjih pada
1431 H/2010 M di Universitas Muhammadiyah Malang, wacana keinginan perubahan
sangat terasa ketika sidang komisi. Namun, saat itu belum ada data hasil
observasi dan argumentasi syar’i yang memadai, maka sidang memutuskan
melakukan riset terlebih dahulu dan mengkaji dalil syar’i secara
komprehensif. Sesuai amanat munas Tarjih tersebut, tim
pemburu fajar di lingkungan Muhammadiyah melakukan observasi di berbagai
tempat secara berkelanjutan, baik di dalam
maupun luar negeri. Dari hasil observasi, diperoleh data
lengkap. Selain itu, tim mengkaji aspek syar’i dan diperoleh dalil syar’i
memadai. Agar tak terjadi subjektivitas tinggi,
munas Tarjih mengundang astronom pihak
luar guna memberi masukan agar keputusan sesuai tuntutan syar’i dan sains
serta bermaslahat bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Setelah mempertimbangkan aspek hadlaratun
nash, hadlaratul ilm, dan hadlaratul falsafah sesuai manhaj Tarjih dan
kemaslahatan, Munas ke-31 Tarjih pada 14 Rabiul Akhir-5 Jumadil Awal 1442
H/29 November–20 Desember 2020 memutuskan, kriteria awal Subuh berdasarkan
acuan -20 derajat perlu dikoreksi menjadi -18 derajat. Keputusan ini akan ditanfiz dan rencananya
diberlakukan dalam pembuatan jadwal imsakiah Ramadhan 1442 H ini. Dengan kata
lain, Muhammadiyah akan mengubah jadwal waktu Subuh, dengan menambah delapan
menit dibandingkan jadwal yang selama ini dipedomani. Berdasarkan uraian di atas, penentuan awal
waktu Subuh adalah persoalan ijtihadi. Maka itu, perubahan adalah keniscayaan
menuju pemahaman lebih komprehensif agar sesuai tuntutan syar’i dan sains. Sikap terbuka dan saling memahami serta
mengapresiasi perlu diutamakan, agar tak terjadi ketegangan di arus bawah.
Perbedaan yang terjadi harus disikapi secara asertif dan menghindari truth
claim berlebihan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar