Rabu, 24 Maret 2021

 

Berbenah Makna

 L Wilardjo  ;  Fisikawan, Pendekar Bahasa

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Dalam wawancara di TV-One, Rabu,  20 Desember 2020, Duta Besar Republik Indonesia di Selandia Baru Tantowi Yahya mengatakan (kira-kira): ”Ada desakan dari sektor bisnis agar Selandia Baru mengendurkan lockdown dan membuka pintu masuk/keluar, baik bagi WNA maupun bagi warga negaranya sendiri, tetapi pemerintah tidak bergeming.” Yang dimaksudkan Pak Dubes, pemerintah Selandia Baru bersikukuh tidak mau beringsut sedikit pun dari keputusannya memberlakukan lockdown.

 

Mungkin Tantowi Yahya salah-ucap. Maksudnya mau mengatakan ”bergeming”, tetapi keseleo-lidah menjadi ”tidak bergeming”. Bagi beliau, yang bertugas dan tinggal di Selandia Baru, salah-ucap tersebut wajar terjadi sebab dalam bahasa Inggris, orang yang ”tidak mau bergeser dari posisinya” itu doesn’t budge from one’s position, dan posisi di  sini bisa berarti ’tempat’, bisa pula berarti ’sikap’ atau ’keputusan'.

 

Dulu saya juga mengira bahwa ”bergeming” itu  to budge. Baru setelah membuka KBBI-IV, saya tahu bahwa ”bergeming”— dan bukan ”tidak bergeming”—yang berarti 'tidak beringsut’ atau ’tidak bergeser’.

 

Makna yang dibalik menjadi kosok-bali atau lawan katanya itu juga pernah terjadi pada kata ”semena-mena”. Semula, ”tidak semena-mena” berarti ”berat sebelah”, ”tidak mengindahkan hak orang lain”, atau ”semau-maunya sendiri saja”. Di KUBI-V (Balai Pustaka, 1976) masih tertulis begitu.  Namun,  di KBBI-IV, ”semena-mena” artinya sama dengan ”sewenang-wenang”. Jadi arti ”semena-mena” di KUBI-V (1976) sudah dibalik 180º di KBBI-IV (2008).

 

Penyesuaian arti dan pencantuman arti yang baru di dalam kamus standar itu mengikuti kebiasaan yang hidup dalam masyarakat pengguna bahasa. Dan itu—pada hemat saya—baik. Dalam hal kosakata kita sebaiknya bersikap deskriptif: masyarakat pengguna bahasa adalah raja!

 

Seandainya makna ”bergeming” dibalik, seperti ”semena-mena” yang sudah dibalik (di KBBI-IV), saya akan senang sebab sesuai dengan cita rasa atau selera berbahasa saya. Namun,  tentu saja saya tunduk kepada KBBI-IV. Mengikuti kehendak masyarakat adalah demokratis. Seperti telah saya katakan, tadi, dalam hal kosakata kita demokratis; kita bersikap deskriptif. Namun,  dalam hal tata bahasa kita preskriptif, mengikuti ”resep” atau preskripsi para munsyi yang memiliki otoritas, di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Dengan begitu kita tidak merusak bahasa kita.

 

Ada lagi kata yang perlu dipertimbangkan apakah maknanya sebaiknya dibalik atau tidak. Misalnya ”acuh”. Yang bersepadan/bersinonim dengan ”cuek” itu ”tak acuh”-kah, atau ”acuh”? Semula ”cuek” berarti ”tak acuh” atau ”tidak memedulikan”, tetapi belakangan banyak yang memakai ”acuh” sebagai padanan ”cuek”.

 

”Nyali” oleh masyarakat sekarang ini dimaknai sebagai ”keberanian”. Namun,  ”nyali” juga berarti ”ginjal”—kata Prof Dr Mien A Rifai (yang ada sumbangannya pada penyusunan dan penyuntingan/editing KBBI). Barangkali ini karena dalam bahasa Inggris ”keberanian” itu selain terjemahannya courage/valor/bravery juga ada ”slang”-nya, yakni gut(s). Dan gut juga berarti 'intestine', yang adalah ”organ-dalam”, ”jerohan”.

 

Sebaiknya ”nyali” yang berarti ”ginjal” kita jauhkan saja, atau bahkan kita buang. Kita lupakan saja. Biarlah ”nyali” berarti ’keberanian’ saja. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar