Minggu, 21 Maret 2021

 

Moeldoko

 Saur M Hutabarat ;  Dewan Redaksi Media Group

                                              MEDIA INDONESIA, 17 Maret 2021

 

 

                                                           

BERADA di dalam lingkaran kekuasaan presiden kiranya dapat membuat orang ingin pula berkuasa menjadi presiden. Rasanya itulah yang terjadi di dalam diri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ketika dia bersedia menjadi Ke­tua Umum Partai Demokrat dalam kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatra Utara.

 

Moeldoko tak hanya ‘bersedia’. Dia ditengarai turut menukangi KLB untuk menjatuhkan AHY, ketua umum de facto. De facto, karena mereka yang berkongres luar biasa tidak mengakui AHY sebagai ketua umum de jure.

 

Menurut SBY, Moeldoko bukan anggota Partai Demokrat. AHY pun ‘belum lama’ menjadi anggota partai itu (saya percaya dia punya kartu anggota) karena tentara dilarang berpartai. Terlepas AHY ialah anak SBY yang telah berhenti sebagai tentara, terlepas pula Moeldoko sebagai kepala staf kepresidenan (yang saya percaya dia tak punya kartu anggota Partai Demokrat), keduanya warga negara yang ‘dapat’ menjadi ketua umum sebuah partai--sepanjang dimungkinkan oleh AD/ART partai itu.

 

Moeldoko jelas seorang ambisius. AHY jelas pula seseorang yang dirancang sang ayah untuk menjadi pemimpin. Adakah yang salah di dalam dua perkara ini? Tidak. Konstitusi tak melarang orang untuk ambisius kekuasaan. Konstitusi pun tak melarang orang merancang masa depan anaknya. Akan tetapi, satu hal kiranya jelas. Kongres luar biasa lahir karena ada masalah, dan belum tentu menyelesaikan masalah. Dari optik ini jelas bahwa Moeldoko masuk ke dalam masalah, menjadi bagian di dalam masalah.

 

AHY pun bagian dari masalah, menurut penyelenggara KLB. Bedanya ialah AHY rakyat biasa, sedangkan Moeldoko penyelenggara negara. Bahkan, sebagai kepala staf kepresidenan, Moeldoko berada di lingkaran terdalam pusat kekuasaan pemerintahan. Inilah kritik terberat bagi Moeldoko; di dalam keduduk­annya sebagai kepala staf kepresidenan, dia bukan bagian dari solusi perkara kepartaian di negeri ini. Dia bagian dari persoalan. Dia turut serta menciptakan masalah kepartaian.

 

DI titik itulah orang bersuara agar Moeldoko dicopot dari jabatannya sebagai kepala staf presiden. Sejauh ini, Presiden Jokowi tak bicara sepotong pun mengenai urusan ini. Kenapa?

 

Jokowi kiranya bukan pemimpin penganut manajemen konflik. Dia cinta damai, seperti dia cinta produk dalam negeri. Dia benci produk luar negeri, seperti dia benci pertikaian. Mengatakan hal ini ialah mengatakan bahwa kiranya Jokowi tak punya urusan dengan ambisi Moeldoko sebagai person. Gerakan Moeldoko di dalam tubuh Partai Demokrat ialah gerakan dirinya sendiri sebagai warga negara. Apa yang terjadi di tubuh Partai Demokrat urusan internal. Itulah sebabnya surat AHY kepada Presiden mengenai gerakan Moeldoko tak ditanggapi Jokowi.

 

Sejauh ini, Jokowi konsisten tak punya urusan dengan kehebohan internal di tubuh Partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko sebagai pribadi, sebagai warga negara. Apakah Ini bermakna Presiden yakin betul terjadi pemisahan Moeldoko sebagai person dan Moeldoko sebagai kepala staf presiden? Jawabnya barangkali perlu mengambil referensi Jokowi sebagai pribadi, sebagai warga negara, yang berpandangan adalah wajar belaka anak dan menantunya sebagai warga negara menjadi calon wali kota yang berkompetisi di dalam pilkada. Tak ada urusan dengan dirinya sebagai presiden.

 

Baiklah sejenak melihat ke belakang. Pada mulanya Jokowi tak mengizinkan menteri merangkap jabatan sebagai pengurus partai. Pikiran itu berubah dengan diangkatnya Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menjadi menteri. Selanjutnya, di kabinet Jokowi jilid 2, sepenuhnya menteri bebas rangkap jabatan di kepengurusan partai. Hal ini pun kiranya terbuka buat pemangku jabatan kepala staf presiden. Dia pun bebas untuk menjadi pengurus partai, menjadi ketua umum sekalipun, melalui KLB sekalipun.

 

Jokowi tak pernah menjadi pengurus teras partai politik. Kedudukannya paling tinggi dibahasakan sebagai ‘petugas partai’. Rasanya di benaknya tak ada urusan kongres, apalagi kongres luar biasa. Sebagai presiden dia hadir dan berpidato atas undangan di pembukaan sebuah kongres partai -yakni kongres yang ‘biasa’. Dan memang biasa presiden memenuhi undangan kongres yang biasa itu sebagai courtesy.

 

Demikianlah Jokowi tak punya urusan dengan internal Partai Demokrat. Jokowi pun hemat saya tak punya urusan dengan ambisi Moeldoko sebagai warga negara, kendati di kongres luar biasa itu terdengar suara ‘Moeldoko untuk 2024’. Berdasarkan semua argumentasi itu kiranya tak akan terjadi Presiden Jokowi memecat Moeldoko dari jabatan kepala staf presiden.

 

Rasanya yang bakal terjadi ialah Jokowi menyerahkan sepenuhnya legalitas Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat ke ranah undang-undang. Bukan kepada menteri hukum dan HAM, yang notabene pembantu presiden. Menteri hukum dan HAM bukan pengadil perkara, bukan pengadil sengketa kepengurusan partai. Menurut undang-undang parpol, itu domain mahkamah partai.

 

Apa pun keputusan mahkamah partai, kiranya bukan penghalang seseorang untuk ambisius menjadi presiden. Silakan. Kiranya itu baik bagi kesehatan Moeldoko.

 

Seorang penggagas utama KLB menilai AHY sampai di puncak gunung, tanpa pernah mendaki gunung. Dalam hal puncak gunung kepartaian, apa bedanya Moeldoko dan AHY? Kapan Moeldoko mendaki gunung itu? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar