Tata
Kelola Pertanahan Pasca-UU Cipta Kerja Maria SW Sumardjono ; Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS,
16 Maret
2021
Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dalam tata kelola pertanahan merupakan pilihan, bukan keharusan. Tolok
ukurnya, kesesuaiannya dengan maksud dan tujuan UU Cipta Kerja (UUCK). Peraturan Pemerintah (PP) No 18 Tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah merangkum tata kelola pertanahan sejak terjadinya, peralihan,
pembebanan, dan hapusnya hak atas tanah; hak atas tanah atau Hak Pengelolaan
(HPL) pada Ruang Atas dan Ruang Bawah Tanah; dan Satuan Rumah Susun (sarusun). PP ini memberikan penegasan atas hal-hal
yang belum jelas penyelesaiannya di masa lalu berkaitan dengan pengaturan
tentang "tanah musnah" (Pasal 66: pengertian, proses, dampak);
rumah-toko dan rumah-kantor yang dapat dipunyai dengan hak milik (Pasal 94);
penyelesaian permasalahan terkait tanah reklamasi menyangkut hak atas tanah
yang dapat diberikan (Pasal 17); dan kedudukan tanah swapraja dan bekas
swapraja, kecuali yang diatur menurut UU, terkait status hak atas tanahnya
dan penyelesaiannya (Pasal 48). Ke depan, penghapusan alat bukti hak lama
dan menetapkan fungsinya sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah
diharapkan dapat memutus mata rantai sengketa tanah bekas hak Barat (Pasal
95). Sejalan dengan hal ini, berbagai surat keterangan atas penguasaan dan
pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat juga berlaku
sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah (Pasal 97). Pengaturan tentang hak atas tanah atau HPL
pada Ruang Atas Tanah (RAT) dan Ruang Bawah Tanah (RBT) di Pasal 74-83 secara
komprehensif mengatur tentang restriksi, jenis hak yang dapat diberikan dan
isi kewenangannya, serta hapusnya. Sayang sekali, pengaturan terkait sumber
daya pemanfaatan ruang di masa depan ini tak meliputi pengaturan tentang hak
atas tanah pada Ruang Bawah Air yang tak kalah penting. Pertama, berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) UUPA,
ruang lingkup hak atas tanah itu meliputi tanah, tubuh bumi dan air, serta
ruang yang ada di atasnya. Kedua, pembangunan resor di bawah laut sudah bukan
merupakan hal baru (misalnya Atlantis the Palm, Dubai; Resort Manta,
Tanzania; Hilton-Conrad, Maldives; dan lain-lain). Pemberian hak atas
tanahnya bisa ditempuh sejalan dengan pemberian hak atas tanah di wilayah
perairan yang dilaksanakan berdasarkan izin dari kementerian teknis terkait
(Pasal 65). "Negaraisasi"
tanah ulayat UUCK tak mengatur tentang kedudukan
masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-haknya. Penyebutan MHA sebatas
sebagai obyek ketika tanah dalam wilayah MHA diperlukan untuk berbagai
kegiatan/usaha. Karena kedudukan tanah ulayat yang strategis dan rentan
memicu konflik kepentingan itu, PP ini mengatur tentang tanah hak ulayat
melalui pendekatan praktikal, dan bukan konseptual. Caranya? Dengan
menetapkan hak ulayat menjadi HPL. Bahkan penetapan HPL itu diklaim sebagai
"bentuk pengakuan" kepada MHA (Penjelasan Pasal 4). Benarkah
demikian? Labelisasi HPL atas tanah ulayat itu justru menegaskan tentang
bentuk pengingkaran kedudukan tanah ulayat dalam konsepsi Hak Menguasai
Negara ketika berbicara tentang hubungan antara negara dengan tanah yang
melahirkan tiga entitas tanah, yakni tanah negara, tanah ulayat, dan tanah
hak (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA). Masing-masing entitas punya kewenangan yang
melekat pada karakternya. Menetapkan hak ulayat menjadi HPL itu sejatinya
mereduksi kewenangan MHA yang inheren/melekat pada dirinya, menjadi “sebagian
kewenangan negara yang dilimpahkan” kepada MHA. MHA tak memerlukan pelimpahan
kewenangan negara! Menyamakan MHA sebagai Badan Penguasa
adalah kekeliruan mendasar. Dalam menjalankan kewenangannya yang hakiki, MHA
memandang tanah ulayat sebagai kepentingan bersama (hak kolektif), berbeda
dengan HPL yang berciri individualistik! MHA berwenang memberikan hak atas tanah di atas
tanah ulayatnya, sebagaimana diamanatkan Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Menteri
Negara Agraria (Permenag)/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti
dalam RUU Pertanahan (RUUP). Pengaturan itu menunjukkan bahwa, tanpa
penetapan HPL atas tanah ulayat, MHA punya kewenangan memberikan hak atas
tanah di atas tanah ulayat secara langsung tanpa harus dilepaskan terlebih
dulu agar jadi tanah negara. Namun dalam pembahasan RUUP pasca Juni 2019,
substansi itu dihilangkan seiring kian menguatnya usulan tentang pembentukan
Lembaga Bank Tanah. RUUP dihentikan pembahasannya pada 23
September 2019. Sejauh mana PP ini mengakui keberadaan MHA? Penjelasan Pasal
5 Ayat (2) menunjukkan, pengakuan MHA adalah pengakuan bersyarat yang
memerlukan suatu penetapan. Dengan demikian klaim bahwa penetapan hak ulayat
jadi HPL merupakan bentuk pengakuan kepada MHA, jadi kontradiktif. Labelisasi
HPL bukan obat mujarab menyelesaikan semua masalah MHA dan hak ulayatnya. Problematik Pengakuan tentang hak atas tanah (Hak Guna
Usaha/HGU, Hak Guna Bangunan/HGB, dan Hak Pakai) terkait dengan isi
kewenangan, terjadinya, jangka waktu, dan hapusnya, sesuai dengan UUPA,
dengan catatan bahwa pengaturan HGU yang dapat diberikan di atas HPL itu
jelas bertentangan dengan UUPA. Pertimbangan hukumnya tak diketahui, karena
gagasan itu tak disusun berdasarkan suatu naskah kebijakan. Membaca sekilas Pasal 13 bahwa hak atas
tanah di atas HPL dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, dialihkan, atau
dilepaskan, tanpa menegaskan bahwa HPL termaksud bukan aset pemerintah pusat
atau pemda, dapat menimbulkan salah tafsir. Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) PP
menegaskan pembedaan itu. Secara sepintas, rumusan Pasal 13 nampaknya
ditujukan pada HPL yang diberikan kepada Badan Bank Tanah (BBT). PP ini juga mengisyaratkan kelak, tanah
negara itu secara yuridis formal tak ada lagi. Hapusnya HPL dan hak atas
tanah mengakibatkan tanah itu jadi tanah negara. Jika ketentuan ini dikaitkan
dengan keberadaan BBT, maka tanah-tanah yang telah ditetapkan jadi tanah
negara oleh pemerintah, termasuk tanah yang haknya sudah hapus, menjadi aset
BBT yang diberikan dengan HPL. Oleh karena itu, pemberian kesempatan untuk
mengajukan permohonan pembaharuan hak paling lama dua tahun setelah
berakhirnya jangka waktu hak atas tanahnya (dan statusnya sudah menjadi tanah
negara) itu, apakah pembaharuan haknya diberikan di atas tanah negara atau
tanah HPL? Hal ini perlu ditegaskan karena mekanisme dan hubungan hukum yang
timbul dari pemberian hak baru di atas tanah negara dan tanah HPL itu berbeda. Ketentuan tentang pemilikan hunian bagi
orang asing atas rumah tapak, sesuai UUPA, yakni status tanahnya Hak Pakai
(Pasal 71 Ayat (1) huruf a). Namun, terhadap pemilikan hunian atas sarusun,
orang asing diperbolehkan memiliki sarusun yang dibangun di atas tanah HGB
(Pasal 71 Ayat (1) huruf b). Hal ini jelas melanggar UUPA. Pertimbangan
hukumnya juga tak jelas, tetapi tampaknya alasan praktis lebih mengemuka. Perusahaan pembangunan perumahan, termasuk
rumah susun, lebih memilih HGB dibandingkan Hak Pakai. PP ini membatasi
"penyimpangan" itu khusus untuk sarusun yang dibangun di kawasan
ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan
industri dan kawasan ekonomi lainnya. Masalahnya, siapa bisa jamin ini tak akan
diikuti di luar wilayah yang dibatasi itu, karena tak ada sanksi terhadap
pelanggaran hukumnya, bahkan ini berpotensi membuka ruang
"negosiasi". Pengakuan MHA semestinya ditempuh melalui
penuntasan penatausahaan tanah-tanah ulayat, dengan membuat peta dasar
pendaftaran tanah dan mencatatnya dalam Daftar Tanah. Dokumen ini jelas
memuat tentang keberadaan tanah ulayat beserta MHA-nya. Penetapan tanah ulayat menjadi HPL, bukan
jalan keluar permasalahannya tetapi merupakan penafikan kewenangan MHA atas
wilayahnya. Penyelesaian klaim MHA terhadap hak atas tanah yang sudah hapus
haknya, yang semula diberikan di atas tanah ulayat MHA melalui pelepasan
kepada negara, dan ternyata MHA itu masih eksis, perlu ditempuh dengan
menggunakan konsepsi kedudukan tanah ulayat sebagai entitas yang berdiri
sendiri sesuai konsepsi hubungan hukum antara negara dengan tanah, dan
menyerahkan tanah negara itu kepada MHA untuk dikuasai kembali sebagai hak
ulayatnya. Dalam situasi di mana MHA dan hak ulayatnya
belum memperoleh perlindungan dan pemenuhan haknya oleh negara, diperlukan
kebijakan untuk memenuhi keadilan dalam masa transisi. Penyelenggaraan pendaftaran tanah secara
elektronik seyogianya diarahkan untuk mengubah sistem publikasi negatif ke
sistem positif. Kekuatan pembuktian sertifikat elektronik masih sama dengan
sertifikat konvensional yang dapat berujung pada pembatalan hak. Akurasi data yuridis dan data fisik
merupakan keniscayaan bagi sistem publikasi positif karena pemerintah
bertanggung jawab penuh atas keabsahan data dan pihak yang dirugikan akan
menerima ganti kerugian yang dibayarkan lembaga asuransi (title insurance)
yang khusus dibentuk untuk tujuan itu. Pengaturan pendaftaran tanah yang
komprehensif agar segera disusun berdasarkan sistem publikasi yang positif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar