Rabu, 17 Maret 2021

 

Tata Kelola Pertanahan Pasca-UU Cipta Kerja

 Maria SW Sumardjono  ; Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

                                                        KOMPAS, 16 Maret 2021

 

 

                                                           

Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dalam tata kelola pertanahan merupakan pilihan, bukan keharusan. Tolok ukurnya, kesesuaiannya dengan maksud dan tujuan UU Cipta Kerja (UUCK).

 

Peraturan Pemerintah (PP) No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah merangkum tata kelola pertanahan sejak terjadinya, peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas tanah; hak atas tanah atau Hak Pengelolaan (HPL) pada Ruang Atas dan Ruang Bawah Tanah; dan Satuan Rumah Susun (sarusun).

 

PP ini memberikan penegasan atas hal-hal yang belum jelas penyelesaiannya di masa lalu berkaitan dengan pengaturan tentang "tanah musnah" (Pasal 66: pengertian, proses, dampak); rumah-toko dan rumah-kantor yang dapat dipunyai dengan hak milik (Pasal 94); penyelesaian permasalahan terkait tanah reklamasi menyangkut hak atas tanah yang dapat diberikan (Pasal 17); dan kedudukan tanah swapraja dan bekas swapraja, kecuali yang diatur menurut UU, terkait status hak atas tanahnya dan penyelesaiannya (Pasal 48).

 

Ke depan, penghapusan alat bukti hak lama dan menetapkan fungsinya sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah diharapkan dapat memutus mata rantai sengketa tanah bekas hak Barat (Pasal 95). Sejalan dengan hal ini, berbagai surat keterangan atas penguasaan dan pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat juga berlaku sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah (Pasal 97).

 

Pengaturan tentang hak atas tanah atau HPL pada Ruang Atas Tanah (RAT) dan Ruang Bawah Tanah (RBT) di Pasal 74-83 secara komprehensif mengatur tentang restriksi, jenis hak yang dapat diberikan dan isi kewenangannya, serta hapusnya. Sayang sekali, pengaturan terkait sumber daya pemanfaatan ruang di masa depan ini tak meliputi pengaturan tentang hak atas tanah pada Ruang Bawah Air yang tak kalah penting.

 

Pertama, berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) UUPA, ruang lingkup hak atas tanah itu meliputi tanah, tubuh bumi dan air, serta ruang yang ada di atasnya. Kedua, pembangunan resor di bawah laut sudah bukan merupakan hal baru (misalnya Atlantis the Palm, Dubai; Resort Manta, Tanzania; Hilton-Conrad, Maldives; dan lain-lain). Pemberian hak atas tanahnya bisa ditempuh sejalan dengan pemberian hak atas tanah di wilayah perairan yang dilaksanakan berdasarkan izin dari kementerian teknis terkait (Pasal 65).

 

"Negaraisasi" tanah ulayat

 

UUCK tak mengatur tentang kedudukan masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-haknya. Penyebutan MHA sebatas sebagai obyek ketika tanah dalam wilayah MHA diperlukan untuk berbagai kegiatan/usaha. Karena kedudukan tanah ulayat yang strategis dan rentan memicu konflik kepentingan itu, PP ini mengatur tentang tanah hak ulayat melalui pendekatan praktikal, dan bukan konseptual. Caranya? Dengan menetapkan hak ulayat menjadi HPL.

 

Bahkan penetapan HPL itu diklaim sebagai "bentuk pengakuan" kepada MHA (Penjelasan Pasal 4). Benarkah demikian? Labelisasi HPL atas tanah ulayat itu justru menegaskan tentang bentuk pengingkaran kedudukan tanah ulayat dalam konsepsi Hak Menguasai Negara ketika berbicara tentang hubungan antara negara dengan tanah yang melahirkan tiga entitas tanah, yakni tanah negara, tanah ulayat, dan tanah hak (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA).

 

Masing-masing entitas punya kewenangan yang melekat pada karakternya. Menetapkan hak ulayat menjadi HPL itu sejatinya mereduksi kewenangan MHA yang inheren/melekat pada dirinya, menjadi “sebagian kewenangan negara yang dilimpahkan” kepada MHA. MHA tak memerlukan pelimpahan kewenangan negara!

 

Menyamakan MHA sebagai Badan Penguasa adalah kekeliruan mendasar. Dalam menjalankan kewenangannya yang hakiki, MHA memandang tanah ulayat sebagai kepentingan bersama (hak kolektif), berbeda dengan HPL yang berciri individualistik!

 

MHA berwenang memberikan hak atas tanah di atas tanah ulayatnya, sebagaimana diamanatkan Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria (Permenag)/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti dalam RUU Pertanahan (RUUP).

 

Pengaturan itu menunjukkan bahwa, tanpa penetapan HPL atas tanah ulayat, MHA punya kewenangan memberikan hak atas tanah di atas tanah ulayat secara langsung tanpa harus dilepaskan terlebih dulu agar jadi tanah negara. Namun dalam pembahasan RUUP pasca Juni 2019, substansi itu dihilangkan seiring kian menguatnya usulan tentang pembentukan Lembaga Bank Tanah.

 

RUUP dihentikan pembahasannya pada 23 September 2019. Sejauh mana PP ini mengakui keberadaan MHA? Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) menunjukkan, pengakuan MHA adalah pengakuan bersyarat yang memerlukan suatu penetapan. Dengan demikian klaim bahwa penetapan hak ulayat jadi HPL merupakan bentuk pengakuan kepada MHA, jadi kontradiktif. Labelisasi HPL bukan obat mujarab menyelesaikan semua masalah MHA dan hak ulayatnya.

 

Problematik

 

Pengakuan tentang hak atas tanah (Hak Guna Usaha/HGU, Hak Guna Bangunan/HGB, dan Hak Pakai) terkait dengan isi kewenangan, terjadinya, jangka waktu, dan hapusnya, sesuai dengan UUPA, dengan catatan bahwa pengaturan HGU yang dapat diberikan di atas HPL itu jelas bertentangan dengan UUPA. Pertimbangan hukumnya tak diketahui, karena gagasan itu tak disusun berdasarkan suatu naskah kebijakan.

 

Membaca sekilas Pasal 13 bahwa hak atas tanah di atas HPL dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, dialihkan, atau dilepaskan, tanpa menegaskan bahwa HPL termaksud bukan aset pemerintah pusat atau pemda, dapat menimbulkan salah tafsir. Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) PP menegaskan pembedaan itu. Secara sepintas, rumusan Pasal 13 nampaknya ditujukan pada HPL yang diberikan kepada Badan Bank Tanah (BBT).

 

PP ini juga mengisyaratkan kelak, tanah negara itu secara yuridis formal tak ada lagi. Hapusnya HPL dan hak atas tanah mengakibatkan tanah itu jadi tanah negara. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan keberadaan BBT, maka tanah-tanah yang telah ditetapkan jadi tanah negara oleh pemerintah, termasuk tanah yang haknya sudah hapus, menjadi aset BBT yang diberikan dengan HPL.

 

Oleh karena itu, pemberian kesempatan untuk mengajukan permohonan pembaharuan hak paling lama dua tahun setelah berakhirnya jangka waktu hak atas tanahnya (dan statusnya sudah menjadi tanah negara) itu, apakah pembaharuan haknya diberikan di atas tanah negara atau tanah HPL? Hal ini perlu ditegaskan karena mekanisme dan hubungan hukum yang timbul dari pemberian hak baru di atas tanah negara dan tanah HPL itu berbeda.

 

Ketentuan tentang pemilikan hunian bagi orang asing atas rumah tapak, sesuai UUPA, yakni status tanahnya Hak Pakai (Pasal 71 Ayat (1) huruf a). Namun, terhadap pemilikan hunian atas sarusun, orang asing diperbolehkan memiliki sarusun yang dibangun di atas tanah HGB (Pasal 71 Ayat (1) huruf b). Hal ini jelas melanggar UUPA. Pertimbangan hukumnya juga tak jelas, tetapi tampaknya alasan praktis lebih mengemuka.

 

Perusahaan pembangunan perumahan, termasuk rumah susun, lebih memilih HGB dibandingkan Hak Pakai. PP ini membatasi "penyimpangan" itu khusus untuk sarusun yang dibangun di kawasan ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan industri dan kawasan ekonomi lainnya.

 

Masalahnya, siapa bisa jamin ini tak akan diikuti di luar wilayah yang dibatasi itu, karena tak ada sanksi terhadap pelanggaran hukumnya, bahkan ini berpotensi membuka ruang "negosiasi".

 

Pengakuan MHA semestinya ditempuh melalui penuntasan penatausahaan tanah-tanah ulayat, dengan membuat peta dasar pendaftaran tanah dan mencatatnya dalam Daftar Tanah. Dokumen ini jelas memuat tentang keberadaan tanah ulayat beserta MHA-nya.

 

Penetapan tanah ulayat menjadi HPL, bukan jalan keluar permasalahannya tetapi merupakan penafikan kewenangan MHA atas wilayahnya. Penyelesaian klaim MHA terhadap hak atas tanah yang sudah hapus haknya, yang semula diberikan di atas tanah ulayat MHA melalui pelepasan kepada negara, dan ternyata MHA itu masih eksis, perlu ditempuh dengan menggunakan konsepsi kedudukan tanah ulayat sebagai entitas yang berdiri sendiri sesuai konsepsi hubungan hukum antara negara dengan tanah, dan menyerahkan tanah negara itu kepada MHA untuk dikuasai kembali sebagai hak ulayatnya.

 

Dalam situasi di mana MHA dan hak ulayatnya belum memperoleh perlindungan dan pemenuhan haknya oleh negara, diperlukan kebijakan untuk memenuhi keadilan dalam masa transisi.

 

Penyelenggaraan pendaftaran tanah secara elektronik seyogianya diarahkan untuk mengubah sistem publikasi negatif ke sistem positif. Kekuatan pembuktian sertifikat elektronik masih sama dengan sertifikat konvensional yang dapat berujung pada pembatalan hak.

 

Akurasi data yuridis dan data fisik merupakan keniscayaan bagi sistem publikasi positif karena pemerintah bertanggung jawab penuh atas keabsahan data dan pihak yang dirugikan akan menerima ganti kerugian yang dibayarkan lembaga asuransi (title insurance) yang khusus dibentuk untuk tujuan itu. Pengaturan pendaftaran tanah yang komprehensif agar segera disusun berdasarkan sistem publikasi yang positif. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar